Logo SitusEnergi
Salah Kaprah DPR Soal Power Wheeling? Salah Kaprah DPR Soal Power Wheeling?
Oleh : Salamuddin Daeng Pemerintah telah membatalkan sistem power wheeling dalam RUU Energy Baru Terbaharukan (RUU EBT), namun tampaknya DPR “memaksakan” sistem ini, mungkin... Salah Kaprah DPR Soal Power Wheeling?

Oleh : Salamuddin Daeng

Pemerintah telah membatalkan sistem power wheeling dalam RUU Energy Baru Terbaharukan (RUU EBT), namun tampaknya DPR “memaksakan” sistem ini, mungkin maksudnya adalah membuat terobosan agar swasta atau investor atau lembaga pembiayaan akan tertarik untuk masuk ke dalam investasi EBT di Indonesia.

Atau boleh jadi DPR ini punya kepentingan lain yang jauh lebih dalam. Dikarenakan banyaknya kepentingan yang mendompleng dalam RUU EBT misalnya kepentingan pengusaha batubara dan energy fosil yang ingin tetap eksis dalam tekanan issue transisi energy. Kepentingan itu sangat terasa misalnya dengan masuknya hasil olahan batubara sebagai energi terbaharukan. Jelas ini adalah penyimpangan dikarenakan transisi energi secara internasional telah menempatkan batubara sebagai musuh nomor satu.

Perdebatan tentang issue power wheeling dalam sistem ketenagalistrikan di Indonesia memang merupakan issue lama. Munculnya issue isu ini tidak terlepas dari peran internasional atau investor global dalam berpartisipasi di industry keteranaglistrikan Indonesia.

Pada tahun 2016 lalu Japan International Cooperation Agency (JICA) Tokyo Electric Power Company Holdings, Inc. Tokyo Electric Power Services Co., Ltd. bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian ESDM dan PT. PLN menerbitkan final report tentang Data Collection Survey on New Power Supply Scheme by Using Power Wheeling in Indonesia. Dalam dokumen ini dikatakan bahwa power wheeling diperlukan oleh Indonesia karena dua alasan yakni :

  1. Dalam mensukseskan mega proyek 35 ribu megawatt (tahun 2015) pemerintah berencana untuk meningkatkan investasi swasta di sektor pembangkit listrik dan 25.000MW dari catu daya 35.000MW dialokasikan ke produsen listrik independen yang biasanya didanai oleh perusahaan swasta. Kebijakan investasi sektor swasta ini bertujuan untuk memanfaatkan ambisi investor swasta dalam sektor pembangkit listrik untuk mengkompensasi kekurangan anggaran perluasan jaringan PT.PLN (Persero) yang merupakan sarana umum yang dibiayai oleh pemerintah.
  2. Di sisi permintaan listrik, pelanggan industri bertegangan tinggi dan pelanggan skala besar sekarang menuntut kualitas pasokan listrik yang tinggi, mengeluh tentang kualitas pasokan listrik yang rendah saat ini: pasokan listrik yang tidak dapat diandalkan, tegangan pasokan rendah, dan tarif listrik yang direvisi dinaikkan pada tahun 2014, diidentifikasi sebagai risiko bisnis mereka. Secara khusus, pembenahan kualitas pasokan listrik daya rendah cukup penting bagi pemerintah, karena sudah menjadi masalah kritis yang harus dipecahkan guna mempertahankan adalah lingkungan investasi yang tepat di pasar Indonesia, dan sebagai konsekuensinya kunci untuk kelanjutan pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA   Transisi Energi Jalan Terus, Greenflation Diantisipasi- PLTS Atap Jangan Jadi Beban BUMN

Awalnya dasar dari ide power wheeling yakni Undang-undang ketenagalistrikan yakni UU No. 30/2009 (sebelum dibatalkan MK) yang memungkinkan entitas swasta lainnya menyediakan layanan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik. Selain itu, undang-undang memungkinkan PLN untuk menyewakan sebagian dari sistem transmisi dan distribusinya kepada swasta dan keperluan lain. Dikatakan bahwa UU tersebut memberikan peluang yang luas bagi investor swasta untuk masuk ke semua sektor bisnis pasokan listrik Indonesia.

Menghadapi tantangan saat itu baik dari sisi penawaran dan permintaan jaringan listrik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (selanjutnya ESDM) mengeluarkan peraturan menteri pada bulan Januari 2015 untuk memungkinkan pengenalan skema wheeling untuk pelanggan tegangan tinggi dengan membuka sebagian transmisi Indonesia dan jaringan distribusi (ref. Permen ESDM No. 1 Tahun 2015). KESDM menjelaskan bahwa skema power wheeling ini tidak menderegulasi jaringan listrik Indonesia sepenuhnya, dan terbatas pada kontrak pasokan untuk pelanggan tegangan tinggi skala besar, seperti pabrik manufaktur di kawasan industri.

Meskipun diakui bahwa, peraturan menteri ESM tersebut dan dokumen terkait belum mencakup sistem tarif wheeling, prosedur standar untuk memperoleh lisensi power wheeling, persyaratan teknis untuk interkoneksi ke jaringan Indonesia, atau prosedur penyelesaian sengketa yang diperlukan. Padahal swasta memerlukan sebuah standar prosedur operasi dan aturan perhitungan tarif wheeling charge yang dirancang secara adil, transparan, dan terbuka untuk umum. Sehingha untuk realisasi sistem wheeling terkait teknis persyaratan dan prosedur operasional masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Bertentangan Dengan Konstitusi

Intinya sistem power wheeleing belum dapat dioperasikan dikarenakan belum cukupnya peraturan yang ada yang memungkinkan ivestor dapat menjual listrik sendiri memiliki pelanggan sendiri dari pembangkit yang mereka buat. Hambatan utama yang mendasar dari sistem power wheeling adalah konstititusi Indonesia yakni pasal 33 UUD 1945 ayat 1, 2 dan 3 yang mengharuskan pengelolaan listrik sebagai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian maka listrik harus dikelola secara terintegrasi untuk menjamin dan memudahkan penguasaan negara melalui badan usaha milik negara.

BACA JUGA   Dukung Transisi Energi, Anak Usaha Waskita Lakukan Ini

Sementara sistem power wheeling adalah semacam unbundling sector ketenagalistrikan yang memisahkah bagian bagian dalam sistem rantai pasok ketenagalistrikan yang memungkinkan bagian bagian tersebut dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat, swasta, asing untuk keperluan investasi dan bersifat komersial. Unbundling refers to the separation of the activities potentially subject to competition (such as production and supply of energy) from those where competition is not possible or allowed (such as transmission and distribution – for in the EU, transmission and distribution of electricity and gas are regulated monopolies).

Atas dasar konstiusional Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2016 mengabulkan gugatan pegawai PLN atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Dalam amar putusan MK dinyatakan bahwa segala macam dan bentuk unbundling termasuk power wheeling dilarang menurut regulasi Indonesia. Adapun amar putusan MK tersebut adalah :

• Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tersebut diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai oleh negara.

• Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tersebut dimaknai hilangnya prinsip “dikuasai oleh negara”;

Salah Kaprah

Usaha DPR untuk mamasukkan kembali sistem power wheeling dalam RUU EBT jelas salah kaprah. Tampaknya DPR masih menganggap bahwa power wheeling dikehendaki oleh para investor global dan memiliki signifikasi dengan usaha mengatasi masalah ketenagalistrikan di Indonesia. Salah kaprah DPR ini disebabkan tiga hal yakni.

  1. Sistem power wheeling ini lahir atau dilatarbelakangi usaha pemerintah untuk meningkatkan investasi ketenagalistrikan dalam rangka mengatasi kelangkaan pasokan dan kelangkaan jaringan. Jadi masalah power wheeling tidak ada kaitannya dengan usaha mengembangkan energy baru terbarukan.
  2. Secara kondisi obyektif Indonesia saat ini malah tengah mengalami over supply listrik. Hal ini telah diakui oleh pemerintah dan oleh direktur utama PLN sendiri. PLN usaha mengatasi over supply tentu tidak ada kaitannya dengan usaha menambah pasokan EBT. Jelas usaha menambah pasokan EBT akan semakin meningkatkan kapasitas listrik tersedia. Sebagaimana diketahui sekarang ini beban puncak listrik nasional hanya 38 GW, sementara listrik tersedia atau kapasitas terpasang yang terpaksa dibayar PLN mencapai 72 GW.
  3. UU EBT seharusnya diselaraskan dengan berbagai perjanjian internasional yang ditandatangani pemerintah yakni COP 26 Paris dan Undang-undang (UU) No. 16 Tahun 2016 Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Perjanjian ini mesti diselaraskan dengan agenda nasional. Selain itu pemerintah Indonesia telah bergabung dalam kemitraan Just Energy Transition Partnershif (JETP) dan telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi dan terutama komitmen menutup pembangkit batubara.
BACA JUGA   ADPMET: Sebaiknya Dana JETP Untuk Mendanai Pendidikan dalam Bidang EBT
Binis Parasit Solar Campuran Minyak Sawit

Jadi jangan salah kaprah lagi, ingat bahwa system power wheeling bukan bagian dari rezim EBT, jika sudah memahami ini maka lanjutkan melakukan pembahasan RUU EBT menurut kaidah yang benar jangan sampai disusupi terus sama bandar batubara dan sawit, serta ingatlah bahwa Indonesia masih ada UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta putusan MK nomor 111/PUU-XIII/2015 yang melarang unbundling.[•]

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *