Logo SitusEnergi
Keruntuhan Migas dan Batubara, Ambruknya Buffer Politik Pemerintah Keruntuhan Migas dan Batubara, Ambruknya Buffer Politik Pemerintah
Jakarta, situsenergy.com Pengamat Ekonomi, Salamuddin Daeng menilai, ambruknya harga minyak yang bersamaan dengan rontoknya harga batubara, adalah kondisi harga dua energi fosil paling buruk... Keruntuhan Migas dan Batubara, Ambruknya Buffer Politik Pemerintah

Jakarta, situsenergy.com

Pengamat Ekonomi, Salamuddin Daeng menilai, ambruknya harga minyak yang bersamaan dengan rontoknya harga batubara, adalah kondisi harga dua energi fosil paling buruk yang pernah terjadi.

“Ini adalah kondisi harga dua energi fosil paling buruk yang pernah terjadi. Harga minyak mendekati 20 dolar per barel, dan harga batubara mendekati 30 dolar per ton, dan ini akan menyebabkan tidak satupun perusahaan migas dan batubara yang tidak sekarat,” kata Salamuddin kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (21/3).

Menurut dia, kondisi harga minyak dan batubara ini tidak hanya mengancam perusahaan perusahaan migas dan batubara raksasa, namun semua lembaga pembiayaan dan perbankan yang menopang mereka. “Ini adalah bagian yang paling serius dari wabah global  yang sedang berlangsung dalam sektor migas dan keuangan,” ujarnya.

Salamuddin mengungkapkan, bahwa yang terjadi di Indonesia menjadi lebih berantakan lagi karena bank-bank nasional telah memompa uang terlalu banyak dalam sektor migas, batubara dan tambang pada saat bersamaan. “Ironisnya uang bank-bank nasional ini diperoleh dari pinjaman asing,” sesalnya.

“Ini akan menjadi persoalan bank nasional baik swasta maupun BUMN, karena akan mengalami pukulan keras dari kredit macet sektor pertambangan dan dampak buruk pada bank yang membiayainya yakni kehilangan kemampuan untuk membayar utang pada bank global,” tambah dia.

BACA JUGA   Energy Watch: Akuisisi MCTN Langkah Baik Jaga Produksi Blok Rokan

Lebih jauh ia mengatakan, sejak kesepakatan Paris diadopsi 2015, selanjutnya antar 2016-2019, bank swasta global telah memompa uang ke dalam sektor minyak dan batubara lebih dari 2,7 triliun dolar. Dana yang melibatkan 35  bank global ini disalurkan ke dalam proyek proyek migas dan batubara di seluruh dunia. “Mereka melawan secara terbuka kesepakatan iklim. Bank dari negara negara ekonomi besar yakni termasuk USA, Jepang dan China terlibat dalam skandal iklim ini,” ungkapnya.

Menurutnya, bank-bank besar AS seperti JPMorgan Chase, Wells Fargo, Citi, dan Bank of America, kemudian Bank of japan MUFG dan Bank of China adalah yang paling agresif dalam membiayai energi fosil. Sementara di Indonesia yang paling agresif dalam menyalurkan kredit ke sekror fosil adalah bank-bank BUMN, termasuk menyalurkan pinjaman yang diperoleh Bank BUMN dari luar negeri untuk disalurkan pada taipan batubara, minyak. “Belum lagi kredit yang disalurkan kepada taipan dalam rangka mengambil alih perusahaan tambang asing di Indonesia yang berakhir masa kontraknya,” ujarnya.

Ironisnya, lanjut Salamuddin, perusahaan minyak dan batubara di Indonesia melihat hal ini sebagai peluang. Mereka mencari landing proyek atas dana utang dengan rekayasa proyek-proyek fiktif di bidang tambang, emas, logam, minyak batubara maupun pembangkit. “Semua dijadikan talangan bagi uang derivatif. Demikian kredit perbankkan secara besar-besaran menyalurkan uang ke sektor pertambangan migas dan batubara,” bebernya.

BACA JUGA   Literasi EBT Diperlukan Untuk Membangun Kedaulatan Energi Nasional

Itulah mengapa sektor ini sanggup menjadi bandar dalam pemilu 2019 lalu, bandar bagi pemilu legislatif dan pilpres. “Rasio kredit bermasalah sektor pertambangan (non-performing loan/NPL) mencapai 7,8 % pada akhir  tahun 2019 lalu. KPK mensinyalir pertambangan menjadi modus utama pencairan kredit bank di wilayah-wilayah tambang yang masif,” ujarnya.

Ambruknya harga migas dan batubara akan berdampak memburuknya keuangan perusahaan migas dan batubara. Hal ini bisa mengakibatkan bank-bank yang menyalurkan kredit ke sekror ini akan rubu, dan bisa berakibat pada penyitaan perusahaan migas dan batubara oleh perusahaan keuangan global.

“Masalah bagi presiden Jokowi adalah keuangan resmi penerintah yakni APBN berasal dari migas dan batubara, Demikian uang yang tidak resmi yang selama ini menjadi buffer politik berasal dari batubara, minyak dan pembangkit listrik. Artinya, keuangan perusahaan, bank dan APBN tiga-tiganya bisa amblas. Mudah mudahan masih ada jalan keluarnya,” pungkasnya.(adi)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *