Logo SitusEnergi
Indef: Pajak Karbon Jangan berdampak Negatif pada Proses Pemulihan Ekonomi Indef: Pajak Karbon Jangan berdampak Negatif pada Proses Pemulihan Ekonomi
Jakarta, Situsenergi.com Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berharap, pungutan pajak karbon yang akan dimulai pada 1 April 2022... Indef: Pajak Karbon Jangan berdampak Negatif pada Proses Pemulihan Ekonomi

Jakarta, Situsenergi.com

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berharap, pungutan pajak karbon yang akan dimulai pada 1 April 2022 mendatang tidak sampai berdampak negatif terhadap proses pemulihan ekonomi nasional dari Covid-19.

“Pajak karbon mesti diutamakan untuk mengarahkan masyarakat kepada aktivitas yang lebih ramah lingkungan,” kata Abra dalam diskusi daring “Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon” yang dipantau di Jakarta, Jumat (22/10/2021).

Namun demikian, kata dia, pemerintah sebaiknya juga mulai memperkirakan berapa target pendapatan negara dari pajak karbon karena akan memengaruhi peta jalannya.

“Kita semua menanti-nanti target penerimaan dari pajak karbon itu karena itu menjadi gambaran ke depan seberapa besar potensi penerimaannya dan seperti apa arah pengembangan pajak karbon ke depan,” paparnya

Namun lanjut dia, penerapan pajak karbon mesti berhati-hati karena beberapa negara maju baru menerapkan kebijakan yang ramah lingkungan setelah pembangunan ekonomi ataupun industri telah mencapai titik optimal, sementara Indonesia dinilai belum mencapai titik itu.

“Secara historis pertumbuhan industri manufaktur kita dan porsinya terhadap PDB (produk domestik bruto) justru mengalami tren penurunan, artinya kita belum sampai di titik optimum tapi sudah diperkenalkan pajak karbon untuk mengurangi dampak negatif usaha terhadap lingkungan. Karena itu pajak ini harus diterapkan secara hati-hati,” paparnya.

Sementara Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya pada kesempatan yang sama juga merokemendasikan adanya upaya percepatan perluasan pungutan pajak karbon dari 2025 menjadi 2024.

BACA JUGA   Rakyat Lebih Butuh Stabilitasi Harga BBM Bukan Ketidak Pastian Turun Naiknya

“Karena tahun 2025 sudah pemerintah baru. Ada kekhawatiran apakah pemerintahan yang akan datang mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah sekarang tentang pajak karbon,” kata Berly.

Sebelumnya, pemerintah melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan mulai memungut pajak karbon terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada 1 April 2022.

Selanjutnya, dalam peta jalan yang dibuat pemerintah, pemerintah akan memperluas pungutan pajak karbon ke sektor industri lain seperti kehutanan dan transportasi mulai 2025.

Padahal, Berly memperkirakan perekonomian nasional pada 2024, termasuk industri nasional, telah pulih dari dampak COVID-19. Di samping itu, pada saat itu, Indonesia juga sudah memiliki pengalaman menerapkan pajak karbon selama satu setengah tahun.

“Kita punya PR (Pekerjaan Rumah) besar untuk meraih target NDC (Nationally Determined Contribution) dan NZE (Net Zero Emisision),” ujarnya.

“Sekarang pemerintah masih menargetkan Indonesia NZE pada 2060 dan belum masuk dokumen resmi seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan UU, sementara negara lain sudah masuk dokumen resmi legalnya,” tambah dia

Meskipun perluasan penarikan pajak karbon perlu dipercepat, menurut Berly, tarifnya bisa disesuaikan bergantung pada evaluasi yang dilakukan setiap tahun.

BACA JUGA   Agar Program B30 Bisa Jalan Presiden Perlu Tetapkan Agregator BBM Non Subsidi

Selain dengan pajak karbon, untuk menurunkan emisi karbon, pemerintah juga bisa melanjutkan moratorium sawit dan mengurangi emisi dari transportasi.

“Kita bisa mengurangi diesel dan mendorong penggunaan transportasi publik, serta mengembangkan kendaraan listrik. Ini kunci agar pajak karbon menjadi bagian dari puzzle yang lengkap,” katanya.

Ia juga menyarankan kepada pemerintah untuk mengubah pola pikir bahwa hutan atau ruang hijau baru bisa produktif ketika telah diubah menjadi pertambangan atau kebun kelapa sawit.

“Pemerintah bisa bekerja sama dengan negara lain agar konservasi hutan dapat menjadi sumber pendapatan tersendiri” pungkasnya.(Ert/Rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *