Logo SitusEnergi
Revisi Aturan PLTS Atap Disoal, Mantan Anggota DPD RI Kirim Surat Ke Jokowi Revisi Aturan PLTS Atap Disoal, Mantan Anggota DPD RI Kirim Surat Ke Jokowi
Jakarta, Situsenergi.com Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih menjadi perbincangan hangat di kalangan komunitas energi di Indonesia. Bukan tidak baik, PLTS Atap sebenarnya... Revisi Aturan PLTS Atap Disoal, Mantan Anggota DPD RI Kirim Surat Ke Jokowi

Jakarta, Situsenergi.com

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih menjadi perbincangan hangat di kalangan komunitas energi di Indonesia. Bukan tidak baik, PLTS Atap sebenarnya merupakan salah satu jalan untuk mencapai target bauran Energi Bar Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen di tahun 2025. Namun demikian, ada salah satu aturan yang dinilai berpotensi menimbulkan kerugian bagi PLN, yang pada ujungnya nanti tentu akan memberatkan keuangan negara. 

Kementerian ESDM, tengah merevisi Permen ESDM No.49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PLN. Permasalahannya adalah, revisi itu akan merubah tarif ekspor-impor listrik kepada PLN dari yang semula tarifnya 0,65:1 menjadi 1:1. Hal ini dinilai akan merugikan negara/PLN dan puluhan juta pelanggan PLN. 

Berangkat dari persoalan itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), yang juga mantan Anggota DPD RI Periode 2004-2009, mewakili DKI Jakarta, DR Marwan Batubara menuliskan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang intinya meminta agar revisi tarif ekspor-impor listrik yang berpotensi merugikan PLN dan memberatkan keuangan negara itu dihentikan. 

Demikian isi surat kepada Presiden Jokowi, yang dikirimkan tertanggal 1 September 2021 kemarin. 

Kepada Yth.

Presiden RI/Ketua Dewan Energi Nasional, Bapak Joko Widodo

Perihal: Menyoal Rencana Revisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PLN

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Dengan hormat,

Surat ini kami sampai menyikapi rencana Pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk merevisi Permen ESDM No.49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PLN. Sikap ini merupakan masukan kepada Bapak Presiden dalam rangka pelaksanaan Perpres No.68 Tahun 2021 yang mewajibkan setiap menteri/kepala lembaga untuk memperoleh persetujuan Presiden sebelum menetapkan suatu rancangan peraturan.

Kementerian ESDM telah menggagas revisi Permen No.49 Tahun 2018 sejak awal tahun 2021. Sambil menunggu Persetujuan Presiden RI, Kementerian ESDM tampaknya cukup yakin revisi Permen dapat segera ditetapkan dan diterbitkan. Karena itu, naskah revisi Permen telah dikirim kepada Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) untuk proses harmonisasi.

Kami menilai pembahasan naskah revisi Permen belum melibatkan seluruh stakeholders terkait. Kementerian ESDM cenderung hanya mengakomodasi kepentingan kalangan tertentu. Sehingga, Kementerian ESDM dapat dianggap gagal memenuhi syarat pembentukan peraturan seperti diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh sebab itu naskah revisi belum layak untuk segera ditetapkan sebagai peraturan, terutama terkait dengan perubahan tarif ekspor-impor listrik antara pelanggan PLTS Atap dengan PLN.

Revisi Permen ESDM No.49/2018 memang memuat berbagai hal baik dan bermanfaat bagi negara, PLN dan pelanggan. Hal-hal tersebut meliputi perpanjangan periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan, mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, perluasan perizinan pemasangan PLTS Atap kepada pelanggan non-PLN, efisiensi waktu perizinan, dan pendirian pusat pengaduan. Namun khusus tentang tarif ekspor-impor listrik, yakni merubah tarif ekspor-impor dari 0,65:1 menjadi 1:1, kami nilai akan merugikan negara/PLN dan puluhan juta pelanggan PLN. 

BACA JUGA   Naiknya Harga CPO Jadi Penyebab Naiknya Harga Migor

Berbagai kerugian tersebut kami uraikan berikut ini.

Pertama, untuk memanfaatkan energi dan pelayanan listrik PLTS yang andal, sarana yang dibutuhkan pelanggan PLTS Atap bukan hanya sarana penghubung ke jaringan listrik PLN. Tetapi diperlukan berbagai fasilitas milik PLN, berupa jaringan transmisi, distribusi, gardu dan storage guna mencegah putusnya pasokan listrik (intermitten) saat cuaca mendung atau sinar matahari tidak optimal.

Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tersebut tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik. Dalam hal ini pemilik PLTS Atap menikmati berbagai fasilitas milik PLN secara gratis tanpa harus membayar kompensasi. Hal ini tentu saja merugikan negara dan pelanggan lain.

Kedua, sistem kelistrikan Jawa Bali mayoritas ditopang PLTU yang harus beroperasi kontinu. Namun karena adanya PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, pasokan operasi PLTU harus diturunkan. PLTU yang biasa beroperasi dengan beban 70-80%, karena ada PLTS Atap, bebannya turun menjadi 50-60%. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi turun pula. Karena efisiensi PLTU turun, maka Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik naik. Maka, operasi PLTS Atap sebagian kecil pelanggan yang mendapat fasilitas “tarif istimewa” 1:1 mengakibatkan sekitar 70 juta pelanggan PLN akan menanggung kenaikan tarif (BPP). Artinya, pelanggan non PLTS dan tidak mampu mensubsidi pelanggan mampu. Hal ini jelas tidak adil dan bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.

Ketiga, kenaikan BPP di atas bisa saja tidak dikenakan kepada pelanggan, tetapi disubsidi APBN. Kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih BPP PLTS sekitar Rp 1400/kWh dangan BPP PLTU sekitar Rp 900/kWh. Jika demikian, maka negara mensubsidi para pelanggan mampu dalam kondisi keuangan negara sarat utang. Dalam kondisi fiskal terbatas, subsidi tersebut semakin mengurangi kemampuan negara membantu masyarakat miskin, sehingga jurang kaya-miskin (Gini Ratio) semakin lebar.

Keempat, motif utama di balik tarif ekspor-impor 1:1 adalah kepentingan investasi dan bisnis kelompok pelanggan tertentu, dibanding upaya untuk menggalakkan penggunaan energi bersih, mitigasi perubahan iklim dan target bauran EBT 23%. Skema tarif 1:1 akan mendorong masyarakat untuk berbisnis dengan PLN tapi tidak diperlakukan sebagai entitas bisnis. Hal ini akan memicu menjamurnya independent power producer (IPP) mikro yang berbisnis tanpa kaidah dan “term and condition” yang adil dan layak seperti berlaku untuk listrik IPP. Sehingga akan menghambat pelayanan listrik yang merata dan berkelanjutan ke seluruh wilayah NKRI.

Terkait motif investasi dan bisnis di atas, kami berharap Pemerintah menjamin tegaknya prinsip prinsip good governance dalam proses pembuatan kebijakan dan peraturan oleh seluruh pejabat negara terkait. Pemerintah harus bersikap adil bagi seluruh pelanggan dan stakeholders. Kami juga berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengawasi dan mencegah terjadinya moral hazard dalam proses penetapan kebijakan dan peraturan tsb.

BACA JUGA   Mamit Setiawan: Bauran EBT 23 Persen di 2025 Sulit Tercapai

Kelima, tarif liberal 1:1 seolah ingin segera diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi supply demand listrik PLN yang saat ini sangat berlebihan. Beban keuangan PLN sudah sangat bermasalah akibat skema take or pay (TOP) listrik IPP dan akibat kesalahan perencanaan proyek listrik 35.000 MW.

Kesalahan asumsi pertumbuhan ekonomi (dan pertumbuhan kebutuhan listrik) memang dapat diperbaiki dengan pengunduran waktu pembangunan pembangkit IPP. Namun sebagian besar sarana transmisi, distribusi dan gardu sebagai pendukung pembangkit IPP tersebut telah terlanjur dibangun PLN, yang menyebabkan naiknya beban biaya. Jika konsep ekspor-impor liberal 1:1 tetap dipaksakan, maka beban keuangan PLN semakin berat.

Keenam, saat ini reserve margin atau cadangan pembangkitan daya listrik Jawa-Bali telah cukup tinggi, mencapai 60%-an, dan Sumatera mencapai 50%-an. Padahal reserve margin ideal yang efisien berkisar 20%-30%. Dengan reserve margin sangat tinggi, maka biaya operasi PLN saat ini tidak efisien. Jika PLN harus menyerap ekspor listrik swasta yang umumnya pelanggan kalangan industri (kapasitas 200 kVA–20 MVA) melalui tarif liberal 1:1, maka biaya operasi semakin tinggi, sehingga BPP/subsidi tarif listrik juga naik.

Ketujuh, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40%. Jika penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar (photo voltaic, PV) domestik sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri. Selain itu, impor solar PV yang tinggi akan meningkatkan defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (CAD). 

Selama ini Bapak Presiden sangat prihatin atas besarnya defisit perdagangan dan CAD akibat impor migas dan BBM. Kondisi defisit ini akan diperparah oleh meningkatnya impor komponen utama PLTS, yakni solar PV.

Kedelapan, saat ini industri solar PV global sedang mengalami over supply, termasuk akibat pandemi Covid-19. Selain itu, produksi solar PV yang saat ini memanfaatkan teknologi silicon-based, sedang berada pada persimpangan jalan menuju pengembangan teknologi baru yang lebih murah. Indonesia harus bersikap mandiri agar terhindar dari tempat pembuangan kelebihan produk asing yang sedang di obral, terutama melalui aturan tarif liberal 1:1, tanpa memperhatikan TKDN, pengembangan industri PLTS nasional dan keberlanjutan pelayanan PLN. Momentum perubahan teknologi solar PV harusnya dimanfaatkan Indonesia untuk membangun industri PLTS nasional, terutama segera mendirikan BUMN khusus PLTS.

Berbagai negara menerapkan tarif ekspor listrik PLTS Atap berbeda. Tidak seperti usulan Kementerian ESDM (tarif ekspor 100% TTL), umumnya tarif ekspor lebih rendah dibanding tarif impor dan/atau pelanggan pun wajib membayar biaya koneksi. Misalnya di Thailand dan Filipina tarif ekspor lebih rendah dibanding TTL plus biaya koneksi; di Singapura, tarif ekspor 75% terhadap TTL; di Malaysia dan AS berlaku biaya koneksi. Oleh sebab itu, wajar jika Pemerintah mempertahankan tariff 0,65:1 seperti berlaku sekarang.

BACA JUGA   Pemerintah Ajak Millenials Berbisnis EBT

Dalam kondisi reserve margin tinggi saat ini, pemerintah bukan saja harus membatalkan rencana penetapan tarif ekspor-impor 1:1 PLTS Atap, tetapi juga membatalkan kontrak listrik IPP yang sebagian besar menggunakan skema take or pay (TOP) yang membuat BPP listrik naik. 

Pada kesempatan ini kami meminta Bapak Presiden menegosiasi ulang seluruh kontrak IPP skema TOP atas dasar keadaan memaksa (force majeure) akibat pendemi Covid-19. Mestinya di NKRI tidak ada kontraktor yang kebal perubahan kontrak akibat force majeure. Jika tidak dilakukan, pelanggan listrik dan subsidi APBN lah yang harus menanggung.

Kami mengapresiasi upaya pemerintah merevisi Permen No.49/2018 guna mencapai berbagai tujuan ideal energi nasional. Namun, berbagai target ideal harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konstitusional, legal, keadilan, kebersamaan, keberlanjutan pelayanan publik dan berbagai kepentingan strategis nasional. Sejauh ini kami menilai, dengan memaksakan skema tarif 1:1 rencana revisi Permen lebih dominan untuk memenuhi kepentingan ekonomi, bisnis dan perburuan rente dibanding berbagai tujuan ideal.

Sehubungan dengan berbagai fakta dan pertimbangan di atas, dengan segala hormat kami meminta Bapak Presiden untuk menolak usul perubahan Permen No.49/2018, terutama terkait dengan ketentuan tarif ekspor-impor listrik skema 1:1. Tarif skema 0,65:1 yang berlaku saat ini, ditambah berbagai perubahan ketentuan lain yang diusulkan, sudah cukup memadai untuk memenuhi target konsumen menghemat biaya listrik dan menggunakan energi bersih sebagai life style, serta sekaligus meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional.

Demikian masukan kami dengan harapan dapat dipertimbangan Pemerintah dalam menetapkan kebijakan sektor energi dan kelistrikan nasional yang sesuai Pancasila, prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, keterbukan, good governances, bebas moral hazard, dan keberlanjutan pelayanan listrik di Indonesia. NKRI membutuhkan pemimpin yang independen, berkeinginan kuat dan konsisten membangun ketahanan, kemandirian dan industri energi nasional bagi seluruh rakyat.

Atas perhatian dan perkenan Bapak Presiden kami ucapkan terima kasih.

Salam Hormat,

DR. Marwan Batubara

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS).

Pernah menjadi Anggota DPD RI Periode 2004-2009, mewakili DKI Jakarta.

Wassaalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Tembusan:

1. Menteri ESDM, Bapak Arifin Tasrif

2. Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani

3. Pimpinan KPK – Bidang Pencegahan dan Monitoring.

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *