Oleh :
Gigih Guntoro
Pengamat ekopol
AEPI
Dalam situasi perekonomian global dan nasional yang belum membaik, masa depan petani sawit terus menerus mendapat ancaman keberlangsungan hidupnya.
Ancaman ini tidak hanya datang dari pasar global, melainkan juga datang dari pasar dalam negeri, mulai hulu hingga hilir berupa regulasi dan paket kebijakan yang tidak memberikan perlindungan utuh bagi nasib petani.
Kampanye hitam yang dilakukan pasar global beberapa waktu lalu dengan memberikan stigma produk sawit indonesia tidak ramah lingkungan, terjadinya pembakaran lahan baru/lama untuk perkebunan sawit sebagai penyumbang emisi gas karbon yang dilakukan korporasi besar hingga penolakan produk cpo indonesia di pasar eropa menjadi satu rangkaian sistematis yang berperan terhadap redupnya industri sawit indonesia.
Tragisnya, pada saat harga minya sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang rendah, Pemerintahan juga tak memberikan proteksi terhadap produk cpo dan para petaninya, makin terpuruknya industri sawit dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintahan No. 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden No.61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana perkebunan Kelapa Sawit. Kebijakan ini mewajibkan pungutan ekspor CPO sebesar USD 50/ton dan produk turunan ekspor cpo sebesar USD 30/ton yang dibebankan pada eksportir cpo_ pungutan eksport cpo tetap dibebankan pada petani terhadap penjualan Tandan Buah Segar Sawit.
Meskipun Perpres ini menjadi tonggak pentingnya percepatan penggunaan bahan bakar nabati (biodiesel), sekaligus sebagai bentuk komitmen pemerintahan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% hingga Tahun 2030, namun disisi lain kebijakan pemerintahan ini sangat berdampak pada penurunan pendapatan dan kemampuan pembayaran kredit para petani plasma sawit dan petani sawit mandiri, sementara hanya korporasi sawit berskala besar lah yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini. Karena korporasi besar ( eksportir cpo) akan membebankan pungutan ekspor pada petani, sementara dana pungutan cpo yang terkumpul-pun hampir 90 persen disalurkan untuk men-subsidi produsen biodiesel yang notabenenya juga dimiliki oleh korporasi sawit berskala besar, sementara 10 persen hanya untuk program replanting, riset, penguatan sumberdaya manusia.
Praktek ini juga dapat dibaca sebagai modus operandi korporasi besar untuk menguasai kebun-kebun sawit milik petani plasma dan mandiri. Menurut Ditjen Perkebunan, pada tahun 2013 lahan pekebun skala kecil seluas 5,8 juta ha dimana 4 juta ha kebun mandiri dan 1,8 juta plasma. Dengan rata-rata kepemilikan dua ha per keluarga, sementara pada tahun 2015 mengalami penyusutan sebesar 2,454 juta ha. Korporasi besar telah menciptakan sistem ketergantungan pasar bagi petani-petani kecil_ dalam hukum pasar, menjadi sah korporasi besar memakan petani kecil. Jika rantai pasar ini terus berlangsung, petani tidak mampu membayar kredit, akhirnya akan menjual kebun plasma ke pemilik kebun induk, maka petani hanya akan menjadi buruh tani perkebunan dengan upah murah.
Modus lain adalah melalui Permen ESDM No. 12 Tahun 2015 yang terus menambah persentase kewajiban penggunaan biodiesel pada bahan bakar minya (BBM) mulai dari 10%, 15% dan secara bertahap kewajiban penggunaan BBN sebesar 20% tahun 2016 dan tahun 2017 harus mencapai 30%. Permen ESDM ini tentu memiliki multiplayer effect, pertama menciptakan peluang pasar cpo dalam negeri dalam penggunaan Bahan Bakar Nabati melalui program mandatory biodiesel. Kebijakan ini memaksa Pertamina dan atau swasta untuk menjual produk biodiesel ke pasar. Kedua, produksi biodiesel mencapai 270 ribu KL dengan penyerapan di dalam negeri mencapai 200 ribu KL pada kwartal I Tahun 2016. Penyerapan produk biodiesel di pasar domestik akan terus naik karena ada pasar demand, namun kondisi ini tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan para petani sawit.
Ketiga, produsen-produsen biodiesel terus tumbuh sehingga dapat membuka lapangan kerja baru, saat ini sudah ada 11 produsen biodiesel skala besar dengan total pekerja sebesar 200 ribu an. Keempat, efek negatifnya adalah petani-petani plasma dan mandiri tidak/belum mendapatkan keuntungan/subsidi dari program CPO Fund bahkan posisinya mengalami tekanan berganda baik dari korporasi besar dan Pemerintahan. Kelima, korporasi besar menciptakan sistem ketergantungan kepada petani plasma/kecil, misalnya dengan ketiadaan akses pasar yang terbuka hingga mahalnya harga pupuk yang mengakibatkan pada ketidakseimbangan biaya pemeliharaan dengan harga buah yang terjual.
Belum sempat lepas dari jeratan pungutan eksport cpo yang membebani, seiring dengan kenaikan harga cpo di pasar global yang mencapai USD 781/ ton kini Pemerintahan memberlakukan kembali Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Eksport yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif bea Keluar. Jika harga referensi cpo tidak lebih dari USD 750/ton maka hanya dipungut dana perkebunan (CPO Fund), sementara jika harga referensi cpo lebih dari USD 750/ton maka dipungut dana perkebunan dan Bea Keluar.
Ditengah ketidakpastian pasar global dan munculnya isu kenaikan pungutan dana perkebunan (cpo fund) menimbulkan gejolak di petani dan masyarakat umum. Bagaimana tidak bergejolak, sampai saat ini pengelolaan cpo fund cenderung tidak transparan dan lebih dioptimalkan pada subsidi biodiesel yang dimiliki oleh korporasi besar. Sepanjang tahun 2015, dana cpo fund terkumpul 13 triliun dan per agustus tahun 2016 mencapai 7,19 triliun. Sebanyak 90% dana cpo fund telah digunakan untuk subsidi biodiesel pada tahun 2015 dan 71% dana CPO Fund telah digunakan untuk subsidi produsen biodiesel atau sebesar 10 – 11 triliun pada tahun 2016. Sejauh ini, petani plasma dan mandiri belum mendapatkan manfaat dari pungutan ekport cpo, seolah negara belum hadir ditengah penderitaan petani plasma akibat dari berbagai kebijakan yang berlaku.
Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) sebagai pengelola cpo fund seharusnya memberikan laporan terbuka ke publik karena sumber dana tersebut memang dihimpun dari publik ( eksportir cpo), tapi sejauh ini tidak dijalankan_ terkesan telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana cpo fund tersebut_( ada kesan terjadi praktek persekutuan jahat antara BPDP dengan korporasi besar dalam memanfaatkan cpo fund). Hal ini menimbulkan kekwatiran baru jika pungutan cpo dinaikan maka petani dan masyarakat akan sangat dirugikan, dan kepercayaan publik kepada penyelenggara kebijakan semakin turun.
Petani Sawit Tak Berhak Hidup Sejahtera?
Kebijakan yang ugal-ugalan semacam ini tentu memperlihatkan pada karakter pemerintahan yang pro terhadap korporasi besar. Bagaimana prilaku korporasi besar melakukan pembakaran lahan hanya untuk memperluas areal perkebunan, menyerobot lahan hingga berprilaku seperti tengkulak tidak mendapatkan punishmen dari pemerintahan, bahkan bebas dan diberikan karpet merah ke istana presiden atasnama investasi. Sementara nasib petani kecil dan menengah sebagai soko guru pembangunan dibiarkan bebas dimakan predator (korporasi besar) tanpa ada perlindungan apapun dari negara. Negara justru menjadi kaki tangan korporasi sawit berskala besar untuk menghancurkan petani sawit yang juga memiliki hak untuk hidup.
Industri sawit ini telah menjadi tumpuan hidup bagi jutaan petani dan keluarganya. Dan juga telah mengangkat derajat dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kini, petani sawit saat ini memang tidak memiliki posisi strategis untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan pemerintahan, ditambah lagi bahwa industri sawit sudah bukan menjadi komoditi primadona lagi pasca ketidakpastian pasar global.
Peran petani justru di kooptasi oleh korporasi besar yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dari semua kebijakan pemerintahan. Sedangkan petani/buruh tani, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh sistem yang tidak adil. Sementara itupula masyarakat adat (misal : anak suku dalam) dan masyarakat pedesaan yang hidup dari sistem bercocok tanam di hutan pada umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan ataupun dihambat proses produksinya. Jelas bahwa peran negara juga sangat penting dalam melakukan pengusiran kepada masyarakat adat dengan membuka seluas-luasnya investasi perkebunan dari korporasi besar.
*penulis adalah pengamat ekonomi politik asosiasi ekonomi politik indonesia
No comments so far.
Be first to leave comment below.