

Trade-Off Penambangan Nikel di Kepulauan Raja Ampat: Antara Ekonomi, Sosial, Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan
ENERGI June 9, 2025 Editor SitusEnergi 0

Oleh : Andi N Someng
Ketika nikel menjadi primadona energi masa depan, tak ada wilayah di Indonesia yang benar-benar luput dari bidikan investasi tambang—termasuk Kepulauan Raja Ampat. Surga biodiversitas laut yang namanya dikenal hingga mancanegara kini menghadapi ancaman baru: eksploitasi sumber daya mineral.
Dengan kekayaan nikel yang tersembunyi di bawah tanah Papua Barat, pemerintah dan investor melihat peluang besar. Namun, kita perlu bertanya: seberapa bijak keputusan untuk menambang di kawasan yang justru menjadi simbol keberhasilan konservasi dan pariwisata berkelanjutan Indonesia?
Trade-off antara ekonomi, sosial, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan kini menjadi ujian nyata bagi arah kebijakan negara.
Ekonomi: Janji yang Tidak Selalu Tuntas
Argumen ekonomi hampir selalu menjadi narasi dominan dalam setiap pembukaan wilayah baru untuk pertambangan. Peningkatan pendapatan daerah, pembukaan lapangan kerja, hingga pembangunan infrastruktur menjadi janji utama. Di atas kertas, ini adalah solusi instan bagi wilayah tertinggal.
Namun, pengalaman dari banyak wilayah lain di Indonesia menunjukkan bahwa realitas tidak selalu seindah narasi. Keuntungan lebih banyak mengalir ke perusahaan tambang dan segelintir elite lokal, sementara masyarakat adat—yang lahannya dikorbankan—sering kali hanya mendapatkan kompensasi seadanya.
Apalagi, dalam konteks Raja Ampat, struktur ekonomi masyarakat sangat bergantung pada sektor kelautan dan pariwisata. Sektor yang bersifat berkelanjutan ini justru bisa hancur jika tambang masuk tanpa kontrol dan pendekatan kehati-hatian.
Sosial: Ketika Komunitas Dipecah
Penambangan bukan hanya urusan tanah dan mineral. Ia juga membawa konsekuensi sosial yang kompleks. Ketika perusahaan tambang masuk ke suatu wilayah, mereka tak hanya membawa alat berat, tapi juga membawa perubahan sosial yang cepat dan sering kali tak sejalan dengan budaya lokal.
Di Raja Ampat, masyarakat adat hidup dengan nilai-nilai kearifan lokal yang kuat, termasuk hubungan spiritual dengan tanah dan laut. Masuknya tambang berpotensi memicu konflik horizontal antarwarga, keretakan struktur sosial, hingga marginalisasi komunitas adat yang tidak memiliki posisi tawar kuat dalam negosiasi.
Kita patut bertanya: benarkah pembangunan harus mengorbankan kohesi sosial dan identitas budaya?
Lingkungan: Ancaman pada Sistem yang Rapuh
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Raja Ampat adalah “Galapagos-nya Indonesia”. Kawasan ini memiliki lebih dari 75 persen spesies karang dunia dan menjadi pusat keragaman hayati laut. Sekali rusak, ekosistem ini sulit—jika bukan mustahil—dipulihkan.
Penambangan nikel berskala besar menimbulkan dampak ekologis serius: deforestasi, sedimentasi ke laut, polusi air dan udara, serta gangguan terhadap habitat satwa. Bila ekosistem laut Raja Ampat terganggu, bukan hanya sektor wisata yang akan kolaps, tetapi juga mata pencaharian masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada laut.
Ini bukan sekadar isu lokal. Kerusakan lingkungan di Raja Ampat adalah kerugian global.
Pembangunan Berkelanjutan: Jalan Tengah yang Terlupakan?
Sejak era pasca-pandemi, Indonesia menggaungkan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Namun dalam praktiknya, keberlanjutan masih sering dikesampingkan saat bertemu dengan kepentingan investasi jangka pendek. Tambang di Raja Ampat adalah salah satu contohnya.
Pembangunan berkelanjutan bukan hanya jargon. Ia mensyaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Pembangunan yang meminggirkan suara masyarakat adat, merusak ekosistem laut, dan menciptakan ketimpangan sosial, tidak bisa disebut berkelanjutan.
Di sisi lain, Raja Ampat telah menjadi contoh keberhasilan konservasi berbasis masyarakat dan ekowisata yang lestari. Mengapa tidak memperkuat model ini ketimbang menggantinya dengan model industri ekstraktif yang penuh risiko?
Menimbang Ulang Arah Kebijakan
Raja Ampat adalah simbol. Keputusan yang diambil hari ini akan menjadi preseden bagi banyak kawasan lain yang menghadapi dilema serupa. Pemerintah harus menunjukkan bahwa pembangunan Indonesia bukan hanya soal pertumbuhan angka-angka ekonomi, melainkan juga tentang menjaga masa depan bumi dan generasi yang akan datang.
Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), peta jalan konservasi, partisipasi masyarakat adat, dan penilaian dampak sosial-ekologis harus menjadi prasyarat mutlak dalam setiap keputusan tambang. Bukan sekadar formalitas administratif, tapi sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Menjaga Surga, Menjaga Martabat Bangsa
Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam transisi energi hijau dunia. Namun, itu hanya akan bermakna jika prosesnya dilakukan dengan etika, tanggung jawab, dan komitmen pada keberlanjutan. Menambang nikel untuk baterai mobil listrik tapi menghancurkan ekosistem laut tropis paling kaya di dunia adalah kontradiksi besar.

Kita tidak bisa mengorbankan surga demi logam. Karena jika Raja Ampat rusak, bukan hanya Papua yang kehilangan, tapi dunia. [•••] uhh uhh
No comments so far.
Be first to leave comment below.