Laba Pertamina Turun, Pengamat: Dirut Terkesan Cuci Tangan
ENERGI August 21, 2017 Editor SitusEnergi 0
Jakarta, situsenergy.com
Sejatinya peningkatan harga minyak mentah dunia dapat mendongkrak sektor hulu dan bisa memberikan kontribusi laba lebih besar bagi sebuah perusahaan minyak dan gas (Migas) daripada sektor hilir. Namun yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) tidak demikian.
“Dirut Pertamina terkesan hendak membuang badan dan terkesan cuci tangan atas anjloknya laba perusahaan energi plat merah ini di semester 1 tahun 2017. Pertamina mengalami penurunan laba hingga 25% atau US$ 430 juta setara Rp 5,7 triliun (kurs Rp 13.335),” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam keterangan persnya kepada wartawan, di Jakarta, Senin (21/8).
Anjloknya laba Pertamina ini telah disampaikan oleh Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Elia Masa Manik. Dalam keterangan persnya, Elia Masa Manik di depan para wartawan pada Rabu (16/8) memaparkan turunnya laba Pertamina di semester 1 tahun 2017 yang hanya US$ 1, 4 miliar. Padahal keuntungan perusahaan di semester 1 tahun 2016 mencapai US$ 1, 83 miliar. Angka penurunan laba menembus 25% atau US$ 430 juta, atau setara Rp 5,7 triliun (kurs Rp 13.335).
Menurut Elia Masa Manik, pendapatan perusahaan semester 1 tahun 2017 meningkat 19% yaitu US$ 20,5 miliar dibandingkan pendapatan semester 1 tahun 2016, yang hanya US$ 17,2 miliar. Sedang EBITDA Pertamina turun dari US$ 4,1 miliar pada semester 1 tahun 2016 menjadi US$ 3,16 miliar pada semester 1 tahun 2017. Peningkatan pendapatan ini banyak disumbang oleh penjualan produk BBM non subsidi.
Elia Masa Manik juga berkilah bahwa anjloknya laba Pertamina karena meningkatnya harga minyak mentah dunia pada 2017 (rata- rata kenaikan 69 %) dibandingkan harga minyak mentah dunia pada tahun 2016. Selain itu, kata Elia Masa Manik, faktor tidak naiknya harga jual solar subsidi dan harga Premium penugasan sampai September 2017 dan kondisi lingkungan eksternal serta tren harga minyak dunia terus meningkat.
Menurut Yusri, kesimpulan yang dibangun Elia Masa Manik agak terlalu pagi dengan mengemukakan argumen tersebut diatas. “Sejak awal Januari 2017 sampai saat ini BBM Premium hampir langka disejumlah daerah Indonesia. Untung saja keluaran produk Pertalite dan Dexlite yang harganya tidak jauh beda dengan Premium dan Solar sudah menyumbang banyak bagi laba perusahaan Pertamina,” ungkap Yusri.
Oleh karena itu, lanjut dia, argumen Masa Manik bisa benar bagi negara produsen migas, seperti Exxon Mobil, British Petroleum, Saudi Aramco dan negara-negara di Teluk yang terpuruk labanya dan banyak melakukan PHK.
“Faktanya berbeda dengan Pertamina. Sejak tahun 2015 dan 2016, saat harga minyak rata rata dibawah US$ 40 per barrelnya, secara mengejutkan Pertamina bisa menempatkan perolehan labanya diurutan nomor 3 dari perusahaan migas dunia,” tandasnya.
Untuk itu, imbuh Yusri, Elia Masa Manik tidak perlu malu belajar dari mantan Direksi lama yang berkinerja baik dan sangat fantastis berhasil melakukan inovasi-inovasi baru dan kebijakan efisiensi melalui program break trough project (BTP) yang bisa menghemat USD 360 juta setiap tahunnya.
“Bila perlu diantara mereka usulkan saja duduk sebagai Komisaris Pertamina, ketimbang komisaris yang kinerjanya kurang bermanfaat bagi Pertamina. Bahkan bisa jadi beban saja dan banyak rangkap jabatan,” kata Yusri. (Fyan)
No comments so far.
Be first to leave comment below.