Logo SitusEnergi
IRESS: Tolak Rencana Revisi PP No.23 Tahun 2010 IRESS: Tolak Rencana Revisi PP No.23 Tahun 2010
Jakarta, Situsenergy.com Diektur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menegaskan, rencana revisi PP No.23/2010 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar sumber daya alam... IRESS: Tolak Rencana Revisi PP No.23 Tahun 2010

Jakarta, Situsenergy.com

Diektur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menegaskan, rencana revisi PP No.23/2010 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar sumber daya alam dikuasai negara dan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi, pengelolaannya harus dijalankan BUMN. Sehingga akan diperoleh manfaat pemilikan SDA minerba bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Menurutnya, jika revisi PP No.23/2018 tetap terjadi, maka manfaat bagi kemakmuran rakyat berkurang dan pihak yang paling diuntungkan adalah para kontraktor tambang batubara, yang selama ini telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari kekayaan milik negara. “Ketidakadilan ini harus dihentikan,” tegas Marwan dalam keterangan resminya yang dirterima Sentananews.com di Jakarta, Kamis.

Ia menegaskan, rencana revisi PP No.23/2010 juga bertentangan dengan sejumlah ketentuan UU No.4/2009 tentang Minerba, yakni Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171. “Menurut Pasal 83, luas maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15.000 ha,” ujarnya.

Lebih jauh ia mengungkapkan, di samping berkewajiban untuk menyesuaikan ketentuan dalam KK dan PKP2B dengan ketentuan dalam UU Minerba, pemegang kontrak KK dan PKP2B tidak mempunyai hak sama sekali untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir, walaupun bentuk kerja samanya berubah menjadi IUPK. UU Minerba tidak mengenal adanya perpanjangan KK/PKP2B.

“Setelah berakhirnya masa berlaku suatu kontrak (KK atau PKP2B), pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak. Seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara,” paparnya.

Menurut dia, negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR. “Namun, sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis negara, dan terutama guna menjamin ketahanan energi nasional, maka sudah seharusnya pengelolaan atas WPN tersebut dilakukan oleh BUMN,” tukasnya.

BACA JUGA   Dirjen Migas: Januari Harga BBM Nonsubsidi Turun

Masih menurut Marwan, pengelolaan WPN hasil dari PKP2B yang kontraknya berakhir harus dilakukan oleh suatu BUMN khusus yang 100% sahamnya milik negara, dan dapat digabungkan menjadi salah satu anggota Holding BUMN Tambang.

“Dengan demikian, pasokan energi batubara untuk PLN dan industri dalam negeri akan lebih terjamin, bertarif khusus dan berkelanjutan, serta bebas potensi penyelewengan dan praktik-praktik tidak prudent yang rawan terjadi seperti selama ini,” paparnya.

Ia menambahkan, rencana revisi PP No.23/2010 ditengarai bertujuan untuk mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batubara oleh pengusaha PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun mendatang.

Perpanjangan pengelolaan akan dilakukan melalui penerbitan izin/IUPK. Kontraktor-kontraktor tersebut antara lain adalah PT Tanito Harum (2019), PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Indonesia (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan PT Berau Coal pada tahun 2025,” ungkapnya.

Sebelumnya, Kementrian ESDM mengatakan perubahan PP No.23/2010 dilakukan guna memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang KK dan PKP2B. Selain itu dikemukakan pula potensi penurunan pendapatan negara jika WK-WK tambang tersebut dikelola BUMN.

Nemun menurut Marwan, argumentasi dan alasan yang dikemukakan tersebut sangat absurd dan mengada-ada, dan jelas sarat dengan kepentingan untuk mengakomodasi agenda sempit para pengusaha dan kepentingan oligarki penguasa-pengusaha.

Padahal, kata dia, jika WK-WK pertambangan tersebut dikembalikan kepada negara, maka negara akan mendapat pemasukan keuangan ratusan triliun rupiah, tanpa harus membayar 1 Rp pun. “Sangat ironis, di saat ingin memiliki 51% saham Freeport, pemerintah bersedia membayar sangat mahal dan berlebihan, hingga US$3,85 miliar,” ujarnya.

BACA JUGA   Memalukan, 72 Tahun Merdeka Masih Banyak Desa Yang Belum Kenal Listrik

Menurut Marwan, PT Inalum juga sulit menerbitkan surat hutang atau mendapatkan dukungan pemberi hutang. “Bagaimana mungkin pemerintah bersikap layaknya sontoloyo melewatkan kesempatan yang sangat besar di depan mata, sambil terlibat aktif merekayasa revisi peraturan dan memfabrikasi kebohongan publik,” ketusnya.

IRESS, lanjut dia, sangat yakin bahwa rencana revisi PP No.23/2010 sarat dengan prilaku moral hazard dan dugaan KKN oleh oknum-oknum penguasa dan pengusaha, sehingga berpotensi merugikan negara ratusan triliun rupiah. “Rente yang beredar untuk memuluskan rencana busuk tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang berkuasa untuk menjadi sumber logistik guna memenangkan Pemilu dan Pilpres 2019,” bebernya.

Oleh sebab itu, pihaknya mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk melakukan perlawanan yang berkesinambungan. “Kita RAKYAT INDONESIA bukanlah para sontoloyo yang akan diam jika terus ditipu dan dizolimi,” ujarnya.

IRESS juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk mematuhi amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta konsisten dengan visi-misi Nawacita dan Trisakti yang diusung.

“Tidak seharusnya visi-misi hanya dijadikan slogan saat berkampanye untuk meraih dukungan publik, namun setelah berkuasa, menjadi slogan kosong yang nihil manfaat dalam praktek, akibat sikap yang pragmatis oportunis,” ketusnya.

“Pemerintah harus menjamin dan membersihkan diri dari para genderuwo yang bergentayangan untuk merekayasa perubahan peraturan di sektor minerba guna meraih rente dan keuntungan sempit para oknum oligarki,” tambah marwan.

Ia menambahkan, SDA minerba adalah kekayaan negara yang menjadi milik rakyat, bukan milik pemerintah. Sehingga praktek pengelolaan SDA yang tidak adil selama ini, yang telah menciptakan kesenjangan kaya-miskin yang sangat lebar, indeks Gini yang lebih dari 0,47, dan hal ini harus segera diakhiri.

BACA JUGA   Wamen ESDM Sebut, Program B20 Jalan 47,4 Persen

“Jika revisi PP No.23/2010 tetap dilanjutkan, maka ketidakadilan akan terus berlangsung, sebab manfaat terbesar SDA milik rakyat tersebut akan terus dinikmati oleh para pengusaha dan oknum-oknum penguasa yang menjadi komponen oligarki,” tukasnya.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, IRESS juga menghimbau kepada seluruh kalangan masyarakat untuk melakukan segenap daya dan upaya agar rencana revisi PP No.23/2018 tidak akan pernah terjadi.

“Tidak hanya itu, partai-partai yang ada, terutama yang menjadi oposisi pemerintah atau pun yang tergabung dalam pemerintahan, jika berkenan juga sudah sepantasnya melakukan langkah konkret untuk membatalkan rencana tersebut. Mari bergabung bersama rakyat untuk menegakkan amanat konstitusi dan meningkatkan ketahanan energi nasional,” tandasnya.

“Kepada semua pihak terkait, termasuk pemimpin pemerintahan berikut jajarannya, para pengusaha, serta siapa pun yang sering mengaku “Saya NKRI” atau “Saya Pancasila”, sekaranglah saatnya untuk menunjukkan siapa jati diri anda sebenarnya: Apakah pro rakyat atau pro oligarki. Apakah akan bersikap adil sesuai Pancasila atau bersikap zolim. Apakah akan mampu mengendalikan diri atau menghalalkan segala cara. Mari menggunakan hati nurani dan kaidah-kaidah moral yang diajarkan dalam sila-sila Pancasila,” pungkasnya.(adi)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *