Logo SitusEnergi
IRESS Sebut Pembahasan RUU Minerba Tak Prosedural dan Tabrak Aturan IRESS Sebut Pembahasan RUU Minerba Tak Prosedural dan Tabrak Aturan
Jakarta, Situsenergy.com Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara setuju jika Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang lama harus direvisi karena sudah tidak... IRESS Sebut Pembahasan RUU Minerba Tak Prosedural dan Tabrak Aturan

Jakarta, Situsenergy.com

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara setuju jika Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang lama harus direvisi karena sudah tidak kontekstual. Namun dalam proses merevisi perlu mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak menabrak aturan.

Ia menilai dalam pengesahan RUU Minerba belum lama ini, sarat dengan keganjilan dan terkesan ditutup-tutipi oleh DPR dalam pembahasannya. “Dalam 3 bulan di tengah banyak isu tapi DPR bisa selesai dalam rapat tertutup, sampai-sampai DPD tidak dilibatkan. Jadi sangat nyata pelanggaran terhadap konsitusi, adanya surat ke DPD setelah ada protes dari masyarakat,” kata Marwan dalam diskusi bertajuk “Revisi Minerba Untuk Siapa yang digelar Ruangenergi.com secara online di Jakarta, Selasa (19/8/2020).

Ia menuding, pembahasan RUU menjadi Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru penuh rekayasa dan agenda tersembunyi. Ia menduga kuat ada pesanan pihak tertentu, yang akhirnya bermuara pada penguasaan SDA di Indonesia secara “melanggar hukum” meski sekilas tetap taat UU.

“Masa ada RUU (Minerba) yang selesai dibahas hanya dalam waktu 2-3 bulan ? Anehnya lagi, pembahasan itu pas dengan menjelang berakhirnya Pemerintah pasangan Presiden dan Wapres yang berkuasa saat itu,” katanya.

BACA JUGA   Perusahaan Konstruksi Angkat Alat Berat di Proyek Gas JTB

Selain itu, aku Marwan, ada klausul  dalam UU tersebut yang memberikan opsi kepada PKP2B yang ada sekarang untuk diperanjang masa kontraknya. “Selain itu, area eksplorasi PKP2B yang semua 15.000 ha kini diperluas sampai 100 ribu ha. Selain itu, ada keistimewaan untuk investor tertentu dari negara tertentu,” aku Marwan.

Dia mengklaim masih banyak hal-hal yang menyimpang dan berpotensi merugikan keuangan negara dan rakyat khususnya warga sekitar tambang. “UU Minerba yang baru perlu direvisi. Bahkan, kini ada kelompok masyarakat tertentu  yang akan melakukan judicial review ke MK atas UU Minerba ini,” tandas Marwan.

Pihaknya setuju jika revisi UU Minerba perlu dilakukan karena banyak perkembangan yang terjadi. Hanya saja Marwan mempertanyakan RUU MInerba yang sebelumnya sudah ditargetkan dalam Prolegnas 2014-2019, tetapi baru banyak dibahas pada saat last minute jelang berakhirnya masa bakti DPR 2014-2019.

Ia menduga yang diakomodasi sebenarnya bukan kepentingan negara tetapi kepentingan dari tujuh kontraktor PKP2B yang kontraknya habis. “Kalau memang itu untuk negara dan kepentingan rakyat harusnya diserahkan ke BUMN,” tegasnya.

Di tempat yang sama, anggota Komisi VII DPR, Maman Abdurrahman menilai seluruh rangkaian proses untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah terpenuhi mulai kajian akademik, menganalisis daftar inventaris masalah (DIM) hingga sinkronisasi dengan berbagai regulasi. Pembahasan pun sudah lama dilakukan, bahkan sejak tahun 2015.

BACA JUGA   Kebijakan EBT Butuh Dukungan Kuat ESDM

“Kalau disebut pembahasan RUU ini diam-diam itu salah, jadi bukan hanya 3-4 bulan terakhir tapi ini sudah dimulai sejak 2015, carry over hanya menghilangkan mekanisme, tapi substansi dan DIM per pasal kita bahas semuanya. Jangan dipelintir seakan-akan ini diam-diam. Kita libatkan DPD, akademisi dan multi stakeholder kok,” ujarnya.

Ia juga membantah pengesahan RUU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dalam rangka memberikan karpet merah kepada tujuh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan mengesampingkan perusahaan BUMN. Dia juga menampik tudingan bahwa pengesahan RUU tersebut melanggar konstitusi khususnya Pasal 33 UU 45 ayat (3) karena kontrak pertambangan swasta atau asing diperpanjang. Dalam pasal itu tidak ada kata spesifik yang mengharuskan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan oleh BUMN.

Ditegaskan, bahwa pemerintah dan DPR sama sekali tidak memberikan hak istimewa kepada tujuh perusahaan tersebut. Namun karena mereka paling siap dan punya komitmen penuh untuk menjaga suplai batu bara untuk ketahanan energi nasional, maka dimungkinkan perpanjangan kontrak.

Ia menjelaskan apabila memang ada BUMN yang siap sedia meng-cover segala kebutuhan batu bara di dalam negeri, maka pemerintah dan DPR tidak segan-segan memberikan hak pengelolaannya kepada BUMN.

BACA JUGA   Freeport Segera Teken Komitmen Pendanaan untuk Smelter

“Kita senang kalau BUMN kita maju dan berkembang dengan memiliki aset yang besar tapi harus dilihat proporsionalitas dan kemampuan BUMN kita yang saat ini faktanya sangat terbatas. Semangat ke BUMN harus diberikan namun harus situasional dan harus dilihat fakta apakah BUMN mampu kelola 75 persen itu, jangan sampai ketika dipegang BUMN nanti turun sehingga menganggu energi kita dan menganggu penerimaan negara,” ujarnya.(mul/rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *