Logo SitusEnergi
Harga Pertalite Tak Naik, Pemerintah Harus Beri Dana Kompensasi Untuk Pertamina Harga Pertalite Tak Naik, Pemerintah Harus Beri Dana Kompensasi Untuk Pertamina
Jakarta, Situsenergi.com Kebijakan pemerintah menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite memang perlu diapresiasi. Pasalnya, BBM jenis ini konsumsinya lebih dari 50 persen... Harga Pertalite Tak Naik, Pemerintah Harus Beri Dana Kompensasi Untuk Pertamina

Jakarta, Situsenergi.com

Kebijakan pemerintah menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite memang perlu diapresiasi. Pasalnya, BBM jenis ini konsumsinya lebih dari 50 persen dari total konsumsi BBM nasional.

Namun menurut pengamat ekonomi Bhima Yudhistira Bhima karena Pertalite bukan BBM penugasan maka Pertamina sebagai badan usaha harus mendapatkan dana kompensasi tambahan dari Pemerintah.

“Keputusan pemerintah menahan harga Pertalite untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah melambungnya sejumlah harga pangan akhir-akhir ini sudah tepat. Hanya saja Pertamina harus mendapat dana kompensasi tambahan dari pemerintah karena Pertalite bukan BBM penugasan,” kata Yudhistira dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (12/3/2022).

Pasalnya, kata dia, saat ini harga keekonomian Pertalite diperkirakan di atas Rp 11.500 per liter. Jika dijual di harga Rp 7.650 per liter, Pertamina harus menanggung selisih Rp 3.850 per liternya.

Seperti diketahui, kendati harga minyak dunia terus mengalami kenaikan, BBM jenis Pertalite yang mayoritas dikonsumsi masyarakat memang masih dijual dengan harga lama. Pertamina selaku badan usaha hanya menaikkan harga tiga BBM jenis yakni Pertamina Turbo, Pertadex dan Dexlite pada pekan lalu.

BACA JUGA   Pertagas Jalin Kerjasama Dengan Chandra Asri Terkait Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi

Kenaikan tersebut, sebagai respons atas melonjaknya harga minyak dunia yang di akhir pekan ini mencapai 109 dolar per barel, setelah sempat melonjak hingga 126 dolar AS per barel.

Untuk BBM jenis nonsubsidi seperti Pertalite, menurut Yudistira tinggal mengalokasikan saja dana kompensasi melalui skema APBN yang bisa diperoleh dari windfall atau keuntungan booming-nya harga komoditas.

“Sejauh ini berdasarkan kajiannya, ketika harga minyak mentah mencapai di atas 127 dolar AS per barel, ada tambahan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 192 triliun,” tukasnya.

“Ini artinya pendapatan (negara) langsung naik, jadi APBN punya ruang untuk menahan kenaikan harga Pertalite. Bahkan Pertamax juga bisa ditahan kenaikan harganya, meski harga minyak mentah sedang liar,” kata dia.

Namun lanjut Yudistira, jika pemerintah merasa kesulitan untuk menambal selisih harga keekonomian dan harga jual BBM, maka bisa dilakukan dengan realokasi dana infrastruktur.

“Menurut saya, antara pembangunan IKN (ibu kota negara) dengan jaga stabilitas harga di masyarakat pasti lebih prioritas jaga stabilitas harga,” pungkasnya.

BACA JUGA   Apresiasi Gelaran EBTKE ConEX 2023, PGE Siap Jalin Berbagai Kerjasama Strategis

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, keputusan pemerintah mempertahankan harga Pertalite di tengah gejolak harga minyak dunia dengan tujuan untuk menjaga daya beli masyarakat cukup realistis dan tepat.

“Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahun harus terus disubsidi,” ujar Josua dalam keterangan di Jakarta, Jumat (11/3/2022).

Menurut dia, kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi Covid-19.

“Menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite,” ujarnya.

Namun jika kebijakan subsidi BBM ini dilakukan setiap tahun maka akan menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat hal itu merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah.

“Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya,” kata Josua.(SL)

BACA JUGA   Gencarkan Bisnis Ramah Lingkungan, Pertamina Raih Penghargaan Sebagai Perusahaan Green Business

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *