Logo SitusEnergi
FORKAMI: Nasib Nelayan Indonesia di Tengah Sulitnya Mendapatkan BBM Solar FORKAMI: Nasib Nelayan Indonesia di Tengah Sulitnya Mendapatkan BBM Solar
Jakarta, Situsenergi.com Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, bahwa meski Indonesia mempunyai wilayah perairan yang sangat luas atau sekitar... FORKAMI: Nasib Nelayan Indonesia di Tengah Sulitnya Mendapatkan BBM Solar

Jakarta, Situsenergi.com

Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, bahwa meski Indonesia mempunyai wilayah perairan yang sangat luas atau sekitar 6.4 juta km2 dan mencakup 70% dari seluruh wilayah Indonesia, namun belum bisa mengangkat nasib nelayan Indonesia. 

“Padahal, sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia sangat berlimpah antara lain perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Dengan kekayaan sumber daya kelautan yang melimpah itu, ternyata belum sepenuhnya mengangkat nasib nelayan Indonesia,” kata Capt. Hakeng dalam keterangan persnya yang dikutip, Senin (01/8/2022).

Menurut dia, ada beberapa masalah yang dihadapi nelayan Indonesia, salah satu hal yang sering dikeluhkan para nelayan adalah persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Karena patut diduga masih ada pemanfaatan solar oleh pihak yang seharusnya tidak berhak.

“Disamping ketersediaan solar subsidi, disparitas harga solar subsidi dan nonsubsidi pun ikut mempengaruhi nelayan untuk pergi melaut mencari ikan. Lonjakan harga dari Rp 8.000 menjadi Rp 18.000 ikut mempengaruhi perhitungan biaya melaut para nelayan,” ujar Capt. Hakeng. 

Ia mengatakan, ketersediaan dan harga solar yang melambung menurut Capt. Hakeng, sebetulnya tidaklah juga menjadi kendala utama para nelayan untuk tidak melaut. Tapi ada hal lain, yakni penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2021 yang ditenggarai menjadi biang keladinya. 

BACA JUGA   Jokowi Janji Tak Akan Naikkan Harga Pertalite & LPG

“Peraturan tersebut  dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen dirasa sangat memberatkan. Padahal Aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen,” tukasnya.

“Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP,” lanjut Wasekjend Bidang Maritim Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini.

Ia menduga, peraturan itu telah menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah.

Hal lain yang menjadi perhatian, kata dia, adalah rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil.

“Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP),” katanya.

BACA JUGA   2022 PIS dan PWP Kembali Berkolaborasi dalam Program TJSL

Artinya, lanjut dia, nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika diterapkan.

“Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Karena sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya,” papar Capt. Hakeng.

Oleh sebab itu tidak ada salahnya KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia.

“Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil,” imbuhnya.

Hambatan lain yang dihadapi nelayan untuk penangkapan ikan adalah mengenai retribusi atau pungutan izin daerah dalam pengurusan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).

“Akibat dari pungutan yang ada dalam pembuatan dokumen tersebut, nelayan menjadi terbebani dengan tambahan biaya non operasional yang bertambah. Selain itu persoalan lokasi pendaftaran dokumen SIPI dan  SIKPI yang tidak berdekatan dengan lokasi tempat tinggal nelayan juga menjadi masalah,” jelasnya.

BACA JUGA   ReforMiner Minta Komitmen Pemerintah Dukung Optimalisasi Gas Domestik

Karena, kata dia, untuk l surat-surat tersebut terkadang tidak dapat selesai dalam satu hari saja. Tentunya hal itu ikut menghabiskan waktu yang dimiliki oleh para nelayan yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk menangkap ikan.

“Dampaknya banyak kapal nelayan kecil yang memilih tidak mendaftarkan kapalnya. Mereka melaut tanpa ada kelengkapan surat-surat tersebut,” jelasnya. 

Untuk mengatasi masalah tersebut, Capt. Hakeng menyarankan agar prosedur pengurusan dokumen nelayan untuk penangkapan ikan perlu dipermudah.

“Lokasi layanan untuk pengurusan dokumen juga sebaiknya berada sedekat mungkin dengan pemukiman nelayan. Begitu pula dengan akses lokasi pengisian BBM yang patutnya berada dekat dengan lokasi kapal-kapal nelayan tersebut ditambatkan,” pungkasnya.(SL)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *