Logo SitusEnergi
Apakah Pertamina Korban dari Buruknya Tatakelola Industri Penerbangan? Apakah Pertamina Korban dari Buruknya Tatakelola Industri Penerbangan?
Oleh : Gigih Guntoro, Direktur Eksekutif Indonesian Club Publik merasa kaget melihat reaksi Presiden Jokowi atas mahalnya harga tiket pesawat yang belakangan telah menjadi... Apakah Pertamina Korban dari Buruknya Tatakelola Industri Penerbangan?

Oleh : Gigih Guntoro, Direktur Eksekutif Indonesian Club

Publik merasa kaget melihat reaksi Presiden Jokowi atas mahalnya harga tiket pesawat yang belakangan telah menjadi polemik yang sangat serius. Presiden Jokowi merasa “kaget” setelah mendengar laporan bahwa penjualan avtur di bandara Soekarno Hatta dimonopoli Pertamina menyebabkan mahalnya tiket penerbangan sehingga akan mengganggu industri Penerbangan di tanah air. Bahkan Presiden Jokowi seolah memberi Warning keras kepada Pertamina untuk memberikan harga yang sama dengan harga internasional, jika tidak bisa maka Presiden akan memasukan kompetitor lain agar terjadi kompetisi.

Sebelumnya, tudingan kepada Pertamina datang dari Kementrian ESDM, Menteri Perhubungan, Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) yang notabene nya adalah Dirut Garuda Indonesia karena telah melakukan monopoli penjualan avtur dengan harga tinggi di seluruh Indonesia yang menyebabkan mahalnya biaya tiket penerbangan.

Tentu publik bertanya-tanya, seolah tidak ada mekanisme lain. Mengapa Pemerintah gemar mengumbar konflik terbuka dengan Pertamina? sebenarnya apa yang terjadi atas polemik tingginya harga pesawat sampai Presiden, Menteri ESDM, Menteri Perhubungan, INACA beramai-ramai menuding Pertamina menjadi biang kerok mahalnya tiket pesawat selama ini. Meskipun tudingan ke pertamina terlalu dini, namun tudingan ini seakan memperlihatkan ada persoalan krusial tatakelola di Pertamina, ataukah ada kepentingan lain untuk mengkerdilkan Pertamina sebagai BUMN Strategis.

Konflik terbuka ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya pernah terjadi Menteri ESDM dengan Pertamina terkait pembukaan SPBU swasta “Vivo” yang menjual BBM subsidi lebih murah dengan Pertamina di wilayah Jakarta Timur. Justru pada Februari 2019 SPBU Vivo menjual BBM Ron 90 lebih mahal daripada yang dijual Pertamina.

BACA JUGA   Universitas Pertamina Siap Berikan Pendidikan Berkualitas

Pertamina masih menjadi operator tunggal pemasok avtur untuk maskapai penerbangan di dalam negeri dengan menerapkan harga yang kompetitif dengan pasar internasional. Memang diakui bahwa Pertamina melakukan kerjasama dengan maskapai penerbangan secara bussiness to bussiness dilakukan sebagai bagian dari kepentingan bisnis corporate. Begitupun juga tuduhan bahwa Pertamina melakukan monopoli penjualan avtur di dalam negeri juga tidak berdasar karena sampai saat ini belum ada produk hukum yang melarang penjualan avtur selain dari Pertamina. Maka logika yang dibangun dengan mahalnya harga avtur menyebabkan naiknya harga tiket pesawat dan juga naiknya biaya cargo pesawat adalah logika menyesatkan.

Berdasarkan Data yang kami himpun dari berbagai sumber menyebutkan bahwa komponen dasar atau unsur-unsur biaya operasional maskapai. Pertama biaya pembelian Bahan Bakar Avtur mencapai 35-40 persen. Kedua biaya Acquisition Costs (Depresiasi/Leasing) yang didalamnya ada komponen harga pesawat, bunga bank, PPN dan PPH mencapai 25-30 persen. Ketiga biaya maintenance pesawat mencapai 20-25 persen. Keempat biaya awak pesawat dan bandara/ground handling masing-masing mencapai 5-10 persen. Sisanya biaya marketing dan lain-lain. Keempat faktor tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan salah satunya dibebankan kepada customer dalam bentuk harga tiket pesawat. Meskipun beban terbesar maskapai dari pembelian BBM, maka tidak tepat jika seolah-olah semua kesalahan menumpuk karena tingginya harga avtur.

BACA JUGA   RUPTL Jadi Pedoman Pengembangan Sistem Tenaga Listrik PLN 10 Tahun ke Depan

Jika kita melihat kasus diatas, memang kita lebih aware mempersoalkan hal remeh temeh, tapi tidak pernah membahas substansialnya apalagi membongkar akar persoalan. Maka yang terjadi adalah persoalan yang sama akan muncul kembali. Kita harus berani membongkar tuduhan Pertamina menjual avtur 20 persen lebih mahal dibandingkan dengan pasar internasional. Siapa aktor-aktor yang terlibat sebagai pemasok hingga menentukan harga tersebut sehingga dianggap mahal. Maka Pertamina sebagai operator dan pemasok tunggal harus berani transparan membuka price list harga avtur di seluruh indonesia agar publik paham.

Demikianpun dengan biaya Acquisition Cost dimana skema operate lease yang dijalankan hampir maskapai termasuk Garuda Indonesia sangat menjadi beban tersendiri. Hampir 90 persen Garuda Indonesia memanfaatkan operate lease dari 27 lessor seperti Boeing, Airbus, Bombardier, ATR, dll atau hanya 22 pesawat dari 202 pesawat yang ada. Skema ini dijalankan secara turun temurun, artinya ada mentalitas jangka pendek dari direksi BUMN seperti Garuda Indonesia sehingga mewariskan beban dan biaya jangka panjang serta aset salah beli ke direksi berikutnya. Beban inilah yang menumpuk menjadi lilitan hutang Garuda Indonesia yang mencapai peningkatan Rp. 3 triliun per tahun nya dari total hutang Rp. 42 triliun, salah satunya tunggakan avtur dari Pertamina sebesar Rp. 3,2 triliun.

BACA JUGA   APLSI Tuntut Pemerintah Tak Ubah Program 35.000 MW

Kemudian beban biaya Bandara dan Ground Handling yang meliputi layanan pengangkutan penumpang, bagasi, kargo, sampai menggerakan pesawat menuju area Parkir atau menuju landasan pacu yang dikelola PT Angkasa Pura yang dibebankan kepada maskapai termasuk Garuda Indonesia juga terlalu tinggi 20 persen dibandingkan Bandara Changi Singapura.

Jika kita cermati maka ada tiga persoalan krusial terkait tatakelola penjualan avtur dari pertamina yang dianggap tidak transparan, ada persoalan manajemen di Maskapai termasuk Garuda Indonesia yang menggunakan skema operate lease dalam melakukan penggadaan pesawatnya, dan persoalan pengelolaan Bandara dan Ground Handling yang dianggap terlalu tinggi. Ketiga persoalan tersebut telah mendorong buruknya tatakelola industri penerbangan dalam negeri. Maka Pemerintahan seharusnya mampu mengurai akar persoalan dan mencari jalan keluar dari ketiga persoalan daripada ikut larut menyalahkan satu pihak yakni Pertamina.(•)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *