Anggota Komisi VII DPRRI Curiga Ada Titipan Pasal Klausul Power Wheeling Dalam Draft RUU EBET
ENERGI TERBARUKAN August 1, 2024 Editor SitusEnergi 0
Jakarta, situsenergi.com
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mencurigai adanya titipan pasal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) khususnya pasal yang memuat klausul Power Wheeling.
Sebab pasal ini berpotensi diloloskan dalam sidang paripurna yang tinggal tersisa sekali lagi pada Agustus 2024 ini.Power Wheeling merupakan skema transfer energi listrik dari pembangkit swasta masuk ke fasilitas operasi / jaringan yang dimiliki PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Dalam skema ini, IPP (Independent Power Producer) atau swasta bisa menjual listrik secara langsung kepada konsumen tanpa dengan memanfaatkan jaringan PLN.
Mulyanto menilai power wheeling ini merupakan DIM (daftar inventarisasi masalah) yang sama sekali bukan usulan dari DPR melainkan dari pemerintah. Sementara RUU EBET (dulu RUU EBT) adalah inisiatif dari DPR.
Menurutnya apabila RUU EBET ini disahkan dan di dalamnya terdapat pasal power wheeling, maka PLN dan masyarakat dipastikan akan merugi karena nantinya harga listrik akan ditentukan oleh pemilik pembangkit (swasta). Padahal listrik sebagai sektor strategis yang seharusnya dikuasai oleh negara dengan harga diatur oleh pemerintah, pada akhirnya berpotensi akan disetir oleh perorangan.
Hal ini secara gamblang telah melanggar mandat dari konstitusi.”Kalau ini berlaku, maka IPP bisa menjual listriknya sendiri, nah demikian ini merupakan upaya liberalisasi sektor kelistrikan karena PLN tidak bisa memonopoli lagi,” kata Mulyanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (1/8).
Dikatakan bahwa sektor-sektor strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat, sesuai pasal 33 UUD 1945 adalah menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian skema power wheeling dalam sektor ketenagalistrikan ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanah UUD 45. Oleh sebab itu Mulyanto secara tegas menolak klausul Power Wheeling yang ada di dalam RUU EBET tersebut.
“Kami di PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pks mengkhawatikan kedepan harga listrik akan semakin sulit dikendalikan. Jadi kami menolak pasal terkait dengan power wheeling,” kata Mulyanto.
Sementara itu Pengamat Energi dari Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan skema power wheeling melanggar prinsip natural monopoly BUMN khususnya PLN sebagaimana amanat dari Pasal 33 UUD 1945. Pelanggaran ini terbukti dari Putusan MK atas dua kali judicial review UU Kelistrikan (No.20/2002 dan No.30/2009 dangan Putusan MK No.1/2003 dan No.111/2015) namun tetap diabaikan oleh pemerintah.
“Kita tidak menolak RUU EBET ini kalau konsisten dengan konsitusi dan kepentingan negara hingga konsumen listrik Indonesia. Ini harus jadi patokan utama bagaimana DPR dan pemerintah bersama-sama membahas perjalanan revisi undang-undang itu,” kata Marwan.
Oleh karena itu, Marwan mendesak pemerintah dan DPR untuk menjamin prinsip-prinsip dan azas keterbukaan dalam pembahasan RUU EBET yang akan segera diparipurnakan.
Menurutnya pasal yang memuat power wheeling ini sarat moral hazard dari kalangan tertentu karena ada upaya melegalkan upaya pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Kita ingatkan jangan sampai target – target pemerintah ini terkesan dipaksakan dengan membuat aturan yang merugikan BUMN dan rakyat. Kita perlu ingatkan hal itu,” kata Marwan.
Sementara itu Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI), Sofyano Zakaria menyatakan keprihatinannya terkait potensi beban tambahan PLN kedepan apabila pasal soal power wheeling ini disahkan DPR.
Sebab pasal ini membuka ruang bagi IPP untuk menjual listrik tanpa membangun jaringan distribusi. Terlebih saat ini PLN sudah terbebani oleh kebijakan take or pay yang mengharuskan PLN membeli listrik dari swasta meski sudah kelebihan pasokan.
Dengan kebijakan baru yang dimuat dalam pasal power wheeling tersebut, beban PLN dipastikan semakin bertambah.”PLN saat ini sudah menanggung beban akibat kelebihan produksi dan beban ini tidak akan terselesaikan jika pemerintah menyetujui adanya Power Wheeling,” ujarnya.
Menurut Sofyano PLN juga terancam oleh rencana kebijakan PTLS Atap yang memberikan ruang bagi siapapun menginjeksi listrik jaringan listrik milik PLN.
Oleh sebab itu kedua skema baik power wheeling ataupun PLTS Atap sama-sama akan merugikan PLN sebagai BUMN yang memegang kendali utama terhadap kebutuhan listrik nasional.
“Jika hal semacam ini tidak diperhatikan oleh pemerintah, maka beban yang dipikul PLN dipastikan akan berdampak pula ke konsumennya, yakni masyarakat negeri ini,” pungkas Sofyano.(DIN
No comments so far.
Be first to leave comment below.