Logo SitusEnergi
Teknologi Kapal Tanpa Awak Rawan dari Sisi Keamanan Pelayaran Teknologi Kapal Tanpa Awak Rawan dari Sisi Keamanan Pelayaran
Jakarta, Situsenergi.com Teknologi kapal laut tanpa awak atau Marine Autonomous Surface Ships (MASS) saat ini sedang ramai dibahas. Sejumlah negara bahkan sedang getol melakukan... Teknologi Kapal Tanpa Awak Rawan dari Sisi Keamanan Pelayaran

Jakarta, Situsenergi.com

Teknologi kapal laut tanpa awak atau Marine Autonomous Surface Ships (MASS) saat ini sedang ramai dibahas. Sejumlah negara bahkan sedang getol melakukan ujicoba teknologi MASS. Diperkirakan dalam kurun sepuluh tahun ke depan teknologi yang diperkirakan akan dipakai angkutan laut di seluruh dunia akan berkembang pesat.

Namun menurut salah satu Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI), Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT., M.Mar,
yang perlu diperhatikan adalah dari sisi keamanan pelayaran mengingat MASS tak ada awak.

Capt Hakeng mempertanyakan soal keamanan terhadap serangan terorisme misalnya, atau pembajakan di tengah lautan. Pasalnya, Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Ekonomi maupun Kedaulatan Energi Indonesia sangat bergantung kepada Kapal-Kapal yang melayari wilayah Indonesia karena Indonesia terdiri dari 17.499 pulau.

“Peristiwa pembajakan kapal laut ketika sedang melakukan pelayaran sampai saat ini masih acapkali terjadi. Itu yang dibajak ada awak kapalnya. Bagaimana bila tidak ada awak kapalnya? Bagaimana nasib para penumpangnya nanti? Belum lagi bila terjadi hal yang tidak diinginkan misalnya kebakaran di kapal,” katanya kepada situsenergi.com di Jakarta, Minggu (26/9/2021).

‘Selain risiko dari serangan terorisme, hal lain yang bisa memunculkan kekhawatiran adalah aspek perdagangan orang (trafficking) dan smuggling (penyelundupan orang),” tambah Capt.Hakeng.

BACA JUGA   Keren, Pertamina Populerkan Bandrek Produksi Mitra Binaan Hingga Ke Belanda

Lebih jauh Hakeng mengatakan, bahwa perdagangan orang (trafficking) sebagaimana definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan.

Atau kata dia, bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.

“Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh,” ungkapnya.

Sementara itu, kata dia, Penyelundupan Manusia (Smuggling), menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara ilegal ke suatu bagian Negara dimana orang tersebut bukanlah warga Negara atau memiliki izin tinggal.

“Masuk secara ilegal berarti melintasi batas Negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu Negara secara legal. Bagaimana kita akan melakukan pencegahan terjadinya Traficking dan Smugling kedepannya, jika Kapal-Kapal yang melakukannya menggunakan Teknologi MASS?” cetus Capt. Hakeng.

MASS sendiri merupakan kapal yang dikendalikan dan dioperasikan dari lokasi lain, baik ada awak ataupun tanpa awak. Sistem operasi kapal mampu membuat keputusan dan tindakan secara otonom tanpa campur tangan manusia.

“Karena dijalankan secara otomatis dari jarak jauh, siapakah yang memiliki teknologi ini? Pusat kontrolnya ada dimana? Ini juga harus kita pertanyakan. Jangan sampai justru kita dijajah oleh teknologi itu, karena belum mampu mengoperasikan. Jangan sampai pula teknologi itu diretas kemudian dimanfaatkan oleh pihak lain untuk kejahatan. Akibatnya bisa mengganggu kedaulatan negara,” ujar Capt. Hakeng.

“MASS yang dikendalikan dari jarak jauh melalui operator di daratan secara tidak langsung akan menggusur keberadaan dari nahkoda dan anak buah kapal,” lanjutnya.

Sebagaimana data dari Kementerian Perhubungan per tanggal 8 Februari 2021, lanjut Capt Hakeng, ada hampir 1,2 juta pelaut Indonesia baik yang bekerja di kapal Niaga maupun kapal Perikanan. Dari jumlah tersebut, ILO (International Labour Organization) mencatat bahwa Indonesia adalah penyuplai pekerja perikanan No. 1 di Dunia.

“Selain itu penerimaan negara dari pelaut juga tidak bisa dikatakan sedikit. Tercatat potensi penerimaan negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp 151,2 triliun setahun. Perkiraan perhitungan itu didapat dari rata-rata gaji pelaut Indonesia di luar negeri sebesar USD 750 atau setara Rp 10,5 juta per bulan. Jumlah itu dikalikan jumlah pelaut sebanyak 1,2 juta orang per Februari 2021 dan dikalikan 12 bulan,” paparnya.

Namun Hakeng mengatakan, bahwa kehadiran tehnologi MASS ini bisa mengakibatkan munculnya masalah terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor kemaritiman. Pasalnya, Indonesia akan dihadapkan pada persoalan masa depan, yaitu bonus demografi pada 2030. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar.

BACA JUGA   Yayasan Bukit Asam Terima Bantuan Alkes dari Mitranya Ishara Charity Foundation

Unruk kata dia, Indonesia perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja.

“Dengan bonus demografi yang segera dinikmati Bangsa Indonesia. Maka semua pihak harus segera menyadari untuk bisa mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi, dan bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisir jumlah pekerja. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia,” tutup Hakeng.(SL)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *