Logo SitusEnergi
Sengketa Pajak Sebabkan Delusi 43,04 Persen Saham PGN Sengketa Pajak Sebabkan Delusi 43,04 Persen Saham PGN
Jakarta, situsenergi.com Sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara/PGN TBK membuat saham emiten berkode saham PGAS itu terdelusi hingga 40,94 persen. Ekonom Konstitusi Defiyan... Sengketa Pajak Sebabkan Delusi 43,04 Persen Saham PGN

Jakarta, situsenergi.com

Sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara/PGN TBK membuat saham emiten berkode saham PGAS itu terdelusi hingga 40,94 persen.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori berpendapat, penyelesaian sengketa pajak PGN hingga ke ranah hukum itu terbukti tidak tepat. Kedua institusi negara itu seharusnya menyelesaikan dengan duduk bersama, agar kerugian yang diakibatkan tidak semakin parah.

‘Apalagi, kerugian yang diderita oleh PGN dalam operasinya membuat hilangnya (delusi) sejumlah 43,04 persen saham yang dimiliki oleh publik/swasta dan asing sebagai konsekuensi adanya Penyertaan Modal Negara (PMN) oleh Pemerintah dalam membantu kesulitan keuangannya,” ujar Defiyan kepada situsenergi.com, Senin (1/3/2021).

Sebagaimana diketahui, keputusan sengketa pajak antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PGN dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di Mahkamah Agung (MA) telah berkekuatan hukum tetap. Pada halaman penjelasan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang disampaikan pada Hari Senin tanggal 4 Januari 2021, hasil sengketa ditingkat MA itu menetapkan bahwa PGN berada pada pihak yang kalah dan diharuskan memenuhi tuntutan Ditjen Pajak dengan membayar sejumlah Rp3,06 triliun.

BACA JUGA   Cegah Blakout Terulang Kembali, MKI, Pemerintah dan PLN Harus Tingkatkan Kehandalan Sistem

Namun, hasil akhir sengketa ini berbeda dengan keputusan vonis majelis hakim Pengadilan Pajak sebelumnya yang mengabulkan permohonan PGN pada Tahun 2019 atas upaya hukum banding yang diajukan oleh Ditjen Pajak. Walaupun kasus dan landasan hukumnya sama, yaitu merujuk pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 4 ayat (2) beserta penjelasannya, namun keputusan hukumnya berbeda.

Perbedaan hasil sengketa ini berasal dari  penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN, yang menyatakan: “Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat” dikenakan PPN.

Dilain pihak, penjelasan yang lebih rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012, pasal 1 ayat 1  menyatakan, bahwa gas bumi merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Cakupan soal gas bumi yang tidak dikenakan PPN adalah gas bumi yang dialirkan melalui pipa, liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG). Sementara dalam pasal 2 PMK tersebut dinyatakan, bahwa Liquified Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi masyarakat atau yang dikenal sebagai elpiji tidak termasuk dalam cakupan gas bumi yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

BACA JUGA   PLN Klaim Miliki SHGB Lahan Gardu Hubung Listrik A4, Kuasa Hukum Ahli Waris Pertanyakan Keabsahannya

“Rujukan peraturannya sama, mengapa keputusan hukum oleh hakim Pengadilan dan MA berbeda?,” ujar Defiyan.

Selain itu, kata Defiyan, sengketa pajak antara PGN dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terjadi atas objek bukan pajak yang dimiliki oleh perusahaan negara merupakan sebuah perbedaan penafsiran yang seharusnya tak ditempuh melalui langkah hukum.

“Apalagi terus dilanjutkan melalui Peninjauan Kembali (PK) ke MA, maka perlu dipertanyakan konstitusionalitas perselisihan 2 (dua) entitas lembaga negara ini,” pungkasnya. (SNU/RIF)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *