Jakarta – situsenergy.com | Direktur Eksekutif Indonesia Resourcea Studies (Iress) Marwan Batubara meminta Pemerintah untuk tidak tergantung dengan pihak swasta (Independent Power Producer/IPP) dalam pembangunan pembangkit listrik untuk mewujudkan target peningkatak kapasitas listrik 35.000 MW.
Menurut Marwan, sebagai gantinya, seharusnya Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi PT PLN (Persero) selaku perusahaan pelat merah untuk berperan besar dalam mewujudkan pembangkit listrik 35.000 MW dengan lebih memberikan porsi kepada PLN ketimbang IPP.
“Kan ada di dalam APBN bahwa subsidi listrik yang tidak tepat sasaran, itu bisa juga dialihkan. Itu yang bisa digunakan untuk membangun itu (Pembangkit listrik) PLN dengan APBN,” kata Marwan dalam diskusi yang digelar Serikat Pekerja (SP) PLN di Jakarta, Rabu (11/1).
Ia mengatakan, dengan peran perusahaan BUMN yang lebih dominan dalam penyediaan listrik di Indonesia, maka harga listrik bisa menjadi lebih murah dibanding dengan yang terjadi saat ini, terutama dengan skema Take or Pay yang mengharuskan PLN membeli listrik dari pihak swasta/IPP. “Ini harus ada keberanian dan konsistensi dari pemerintah. Jangan malah PLN itu dibuat tidak mampu dan memberi kepada swasta untuk membangun,” tuturnya.
Menurut Marwan, skema take or pay sebenarnya sah-sah saja sepanjang itu diterapkan secara obyektif dan tidak merugikan salah satu pihak.
“Tetapi yang terjadi pada kasus PLTU Bukit Asam itu harus ditolak dengan tegas, karena hal itu sangat merugikan dan mengerdilkan peran PLN sebagai perusahaan milik negara. Seharusnya Pemerintah membatasi peran swasta dan lebih memperhatikan PLN,” lanjutnya.
Ia menegaskan, seharusnya swasta diarahkan untuk tidak membangun pembangkit di daerah-daerah yang sudah ada pembangkit PLN, apalagi dengan menerapkan skema take or pay 100 persen karena hal itu pasti akan mengorbankan PLN.
“Kalau take or pay 60 atau 70 persen masih oke, tapi kalau 100 persen jangan harus ditolak karena ujung-ujungnya nanti malah rakyat yang menanggung bebannya,” tukasnya.
Sementara pengamat kelistrikan dari Universitas Indonesia Prof Dr Iwa Garniwa menambahkan, bukan hanya persoalan take or pay yang menjadi masalah kelistrikan saat ini. Terlalu banyaknya porsi swasta di proyek listrik dikhawatirkan juga akan mempengaruhi harga listrik bagi masyarakat.
“Dalam proyek pembangkit 35 ribu megawatt pembangunan yang dlakukan swasta lebih banyak dibanding PLN, ini berbahaya. Jangan sampai pertumbuhan beban listrik yang diharapkan tidak sesuai, sehingga pembangunan pembangkit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan demand,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Serikat Pekerja (SP) PLN, Jumadis Abda mengatakan, PLN sebenarnya mampu untuk mengemban tugas utama dalam pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Menurutnya, setelah dilakukan revaluasi aset, kemampuan PLN dari sisi finansial sebenarnya sudah sangat mumpuni untuk diberikan porsi utama dalam proyek strategis keliatrikan nasional tersebut.
“Kemampuan PLN dalam membangun pembangkit itu tidak diragukan lagi, kecuali sebelum adanya revaluasi aset karena kita tidak bisa lagi pinjam. Setelah revaluasi aset, aset kita sekarang sekitar Rp1.200 triliun, maka PLN sangat mampu untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan, apalagi kalau ada PMN dari Negara,” pungkasnya.(syariefl/red)
Sumber Foto : www.katadata.co.id
No comments so far.
Be first to leave comment below.