Logo SitusEnergi
MEWASPADAI RUNTUHNYA PERTAMINA AKIBAT KEBIJAKAN MEWASPADAI RUNTUHNYA PERTAMINA AKIBAT KEBIJAKAN
Oleh : Ferdinand Hutahaean  (Direktur Ekesekutif Energy Watch Indonesia) Pertamina sayang, Pertamina malang, mungkin ini kalimat pembuka yang pas untuk mengawali pembahasan dalam artikel... MEWASPADAI RUNTUHNYA PERTAMINA AKIBAT KEBIJAKAN

Oleh : Ferdinand Hutahaean 

(Direktur Ekesekutif Energy Watch Indonesia)

Pertamina sayang, Pertamina malang, mungkin ini kalimat pembuka yang pas untuk mengawali pembahasan dalam artikel singkat ini. Atau mungkin juga diganti dengan Pertamina tak disayang, Pertamina pun malang. Ungkapan singkat itu juga bisa menjadi awal yang akan membuka pemahaman kita terkait Pertamina dan mungkin juga hal yang sama sedang terjadi kepada BUMN lainnya. Namun kali ini kita fokus pada akan betapa malangnya nasib Pertamina tahun-tahun yang akan datang bila kebijakan keliru dari pemerintah terus dibebankan kepada Pertamina.

Publik tentu sangat paham dan sangat mengetahui bahwa Pertamina adalah BUMN terbesar saat ini yang dimiliki negara. Garis bawahi kata Milik Negara dalam Badan Usaha ini dan bukan milik pemerintah. Tentu penegasan tersebut perlu digaris bawahi mengingat BUMN adalah urat nadi ekonomi negara, dan bukan pemuas hasrat politik pemerintah. Inilah sifat dasar BUMN yang harus dipahami, bahwa BUMN bekerja untuk kemakmuran negara, bukan untuk kepentingan politik pemerintah.

Akhir-akhir ini ruang informasi publik disuguhi banyak berita tentang BUMN kita di bawah 3 tahun pemerintahan Pak Jokowi sebagai presiden. Hiruk pikuk berita tersebut berbagai macam, mulai dari Holding Company BUMN, kerugian BUMN, sinergi BUMN, perintah jual aset BUMN dan berbagai macam berita lain termasuk prestasi membanggakan pemerintah yaitu BBM 1 harga meski kebijakan tersebut menjadi buah simalakama bagi Pertamina. Mungkin Pertamina pun bingung bersikap terkait BBM 1 harga, apakah akan menangis karena menjadi beban, atau berbangga karena jadi prestasi. Semua itu menjadi gamang karena kebijakan yang tidak sayang kepada kepada Pertamina.

Kekuatan Pertamina sebagai BUMN terbesar perlahan namun menuju kepastian akan melemah bahkan patut diwaspadai adanya kepentingan kelompok atau kepentingan para kaum kapitalis yang ingin menguasai Pertamina dengan cara-cara yang tidak patut, dan bahkan patut diduga kepentingan inipun diakomodir oleh elit pajabat yang berwenang dalam mengeluarkan kebijakan. Akhirnya, Pertamina yang kuat, perlahan dilemahkan, dan setelah lemah dapat dipastikan akan diterkam dan dicengkeram oleh kelompok kekuatan pemodal ini. Siapa kelompok ini? Tentu menjadi pertanyaan yang harus kita bongkar bersama, dan kita waspadai bersama untuk menangkal upaya kooptasi kepada Pertamina. Hal ini tentu sebagai bentuk kecintaan kita kepada Negara, kecintaan kepada aset milik negara, karena Negara tidak akan pernah berlalu meski pemerintah akan silih berganti.

BACA JUGA   Menteri ESDM: Banyak Daerah Terluar Masih Gunakan Energi Fosil

Marilah kita lihat beberapa upaya yang harus kita waspadai sebagai upaya pelemahan bagi Pertamina, yang dampaknya sangat mungkin hanya dalam 2 tahun kedepan Pertamina akan tumbang dan diambil alih. Sumber utama masalah adalah kebijakan pemerintah yang tertompangi kepentingan kelompok pemilik modal dan kebijakan pemerintah yang tertompangi kepentingan citra politik. Ini Dua hal yang sangat berbahaya bagi kepentingan usaha Pertamina dan kepentingan eksistensi Pertamina kedepan.

Mari kita bahas yang pertama terkait Kebijakan Pemerintah yang tertompangi kebijakan pemilik modal. Kebijakan ini salah satunya adalah pada kewajiban Pertamina untuk mencampur Bio Diesel sebesar 20% kedalam Solar produk Pertamina sebagaimana diatur Permen ESDM No. 12 Tahun 2015. Hal ini tentu menjadi beban bagi Pertamina karena keuntungan hanya didapat oleh produsen Famme atau Biodiesel, sementara harga produk Solar akan menjadi lebih mahal dengan kualitas yang kurang bagus sebagai akibat dari pencampuran Famme sebesar 20%. Dan anehnya, Pertamina masih harus menanggung selisih harga dari harga keekonomian dengan harga penjualan Solar yang diatur oleh Pemerintah melalui Kementerian ESDM. Belum lagi adanya upaya baru sekarang untuk memasukkan Bio Ethanol sebagai BBM baru, tentu akan menambah beban bagi Pertamina karena harga selalu diatur oleh pemerintah dengan harga jual yang lebih rendah dari harga keekonomian, namun subsidinya tidak jelas dari pemerintah.

BACA JUGA   Pertamina Lubricants Borong 3 Penghargaan Bergengsi Di Ajang BUMN Branding & Marketing Award 2020

Kedua dalah Kebijakan  Pemerintah yang tertompangi kepentingan citra politik. Saat ini tidak sedikit beban yang ditanggung oleh Pertamina sebagai akibat dari kebijakan yang keliru, atau bahkan kebijakan yang tidak konsisten terhadap aturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah. Perpres 191 tentang formula harga dan evaluasi harga BBM triwulan pun tidak dijalankan. Kondisi saat ini, Pertamina menanggung beban selisih harga dari penjualan BBM yang harganya tidak kunjung direvisi oleh Pemerintah sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia. Dari Solar misalnya dan Premium, Pertamina hingga akhir tahun 2017 diprediksi bisa menanggung beban selisih harga hingga 30 trilliun sebagai akibat dari tidak direvisinya harga jual BBM. Sementara, tidak pernah ada kebijakan atau keputusan dari pemerintah untuk mengganti selisih harga tersebut sebagai subsidi, namun menjadi murni beban bagi Pertamina. Pemerintah takut menaikkan harga jual BBM demi menjaga citra politiknya, tanpa berpikir nasib Pertamina kedepan. Atau mungkin saja hal tersebut disengaja agar Pertamina menjadi lemah dan akhirnya bisa diambil alih oleh kekuatan swasta atau pemilik uang.

Tidak berhenti sampai di beban atas selisih penjualan harga BBM terutama soalar dan premium, Pertamina masih harus menanggung beban biaya distribusi BBM 1 harga yang diperkirakan kebih dari 3 Trilliun setiap tahunnya. Beban ini pun menjadi beban bagi Pertamina yang seharusnya tidak akan menjadi beban andai kebijakan Pemerintah terkait selisih harga jual Solar dan Premium ditanggung oleh pemerintah sebagai subsidi.

Selain itu, hutang Pemerintah yang mencapai sekitar 40 Trilliun kepada Pertamina pun tidak kunjung jelas nasibnya apakah akan dibayarkan atau tidak. Tentu semua ini akan menjadi beban keuangan yang berpotensi mengganggu arus uang Pertamina. Berpotensi menggerus kas Pertamina dan akan berdampak negatif kepada cash flow Pertamina. Sementara beban cash flow Pertamina setia harinya sangat besar.

BACA JUGA   Pertamina Tambah 4 Unit Pertashop di Pelosok Desa

Kondisi memprihatinkan ini belum berhenti sampai di beban-beban seperti diatas. Masih ada beban keuangan terhadap proyek-proyek pengembangan kilang minyak Pertamina yang butuh dana segar. Seperti Proyek RDMP Cilacap dan Balik Papan sebesar USD 1,2 Miliar, Proyek GRR Tuban dan Bontang sebsar USD 1,7 Miliar, Proyek JTB PEPC sekitar USD 1,4 Miliar dan Bond jatuh tempo Pertamina sekitar USD 1,5 Milliar.

Semua ini beban yang tidak kecil bagi Pertamina. Kebijakan yang keliru dan kebijakan yang tidak sayang kepada Pertamina hanya akan menjadikan Pertamina lemah, krisis dan bisa berujung pada kebangkrutan. Disinilah pintu masuk para pemilik modal untuk kemudian bisa mengambil alih Pertamina. Maka itu, kita menagih janji Presiden Jokowi untuk membesarkan Pertamina, dan agar Presiden mewaspadai adanya upaya-upaya terselebung melemahkan pertamina yang berujung pada pengambil alihan Pertamina. Pemerintah harus melepaskan segala kepentingan politik dari Pertamina, biarkan Pertamina melakukan sauhanya secara mandiri tanpa  intervensi politik dan tanpa intervensi kepentingan apapun, maka Pertamina akan besar dan memapu bersaing dikancah global.

 

Jakarta, 18 Oktober 2017

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *