Logo SitusEnergi
Menyoal Kebijakan Harga BBM Menyoal Kebijakan Harga BBM
Oleh: Marwan Batubara, IRESS Kementerian Energi dan Sumber Mineral (KESDM) telah meminta pelaku usaha penjual BBM nonsubsidi untuk menurunkan harga BBM, karena harga minyak... Menyoal Kebijakan Harga BBM

Oleh: Marwan Batubara, IRESS

Kementerian Energi dan Sumber Mineral (KESDM) telah meminta pelaku usaha penjual BBM nonsubsidi untuk menurunkan harga BBM, karena harga minyak dunia telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dirjen Migas Djoko Siswanto telah bertemu dengan Pertamina, Shell Indonesia, AKR, Vivo Energy dan Total Indonesia untuk membahas penurunan harga BBM tersebut. “Komitmen menurunkan harga mulai pekan depan. Paling lambat Januari‎ (2019),” kata Djoko di Pertamina Energy Forum di Jakarta, Kamis (29/11).

Berdasarkan situs Bloomberg (1/12/20118), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) pada 30 November 2018 adalah US$50.93 per barel, sedangkan minyak Brent adalah US$58.71 per barel. Harga minyak mentah tersebut sudah turun sekitar 30% dibanding sebulan yang lalu (3 Oktober 2018), yakni US$75 per barel (WTI) dan US$86 per barel (Brent). Dengan demikian, harga keekonomian BBM non-subsidi pun telah turun signifikan dibanding sebulan yang lalu. Karena itu wajar jika harga eceran BBM pun juga turun.

Namun sesuai mekanisme penetapan harga BBM oleh Pertamina misalnya, penurunan harga minyak dunia tersebut tidak bisa segera diberlakukan terhadap harga eceran BBM. Perlu jeda waktu. VP Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan Pertamina melakukan evaluasi tren minyak tiap tiga bulan sekali. “Saat harga minyak naik, kita juga tidak langsung naik, ada evaluasi dulu. Kalau masalah turun pasti lah, karena kami berdasarkan minyak dunia, tapi kapannya kita belum dipastikan”, kata Adiatma (29/11/2018).

Seperti diatur dalam Pasal 14 dan 15 Perpres No.191/2014 (dan Perpres No.43/2018), harga indeks pasar BBM dan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis BBM tertentu (solar dan minyak tanah) dan jenis BBM khusus penugasan (premium) ditetapkan oleh Menteri. Sedangkan harga indeks pasar BBM dan harga indeks pasar BBN yang dicampurkan ke dalam jenis BBM umum ditetapkan oleh Badan Usaha dan dilaporkan kepada Menteri.

Dengan demikian, jika menyangkut harga BBM umum non-subsidi, sebenarnya Badan Usaha memang cukup melaporkan perubahan harga yang diusulkan kepada Menteri ESDM. Memang Pasal 14 Perpres No.191/2014 mengatur bahwa harga BBM ditetapkan oleh Menteri ESDM. Namun dalam Perpres No.43/2018, Menteri tidak lagi berperan menetapkan harga BBM non-subsidi. Sehingga Badan Usaha dapat saja menetapkan harga eceran BBM non-subsidi sesuai perubahan harga minyak dunia dan nilai tukar Rp terhadap US$, dengan catatan tetap melakukan pelaporan dan kordinasi dengan KESDM.

BACA JUGA   Pertamax Turbo Kini Hadir di Tiga SPBU Kepulauan Babel

Kita menyambut baik sikap proaktif KESDM yang meminta seluruh badan usaha untuk menurunkan harga BBM non-subsidi akibat turunnya harga minyak dunia. Apalagi hal tersebut memang sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, sikap tersebut perlu diberi beberapa catatan. Pertama, sikap yang diambil perlu mempertimbangkan aspek ketahanan  energi yang berkelanjutan. Harga eceran BBM perlu diatur agar berada pada level yang wajar jika dibandingkan dengan harga-harga komoditas lain (misalnya air dalam kemasan), mengingat biaya perolehan BBM jauh lebih besar dibanding harga perolehan produk-produk lain tsb.

Dalam hal ini pemerintah perlu segera menerapkan skema dana stabilisasi guna mengakumulasi dan menyimpan dana saat harga minyak dunia rendah dengan menetapkan harga eceran BBM lebih tinggi (harga wajar) dari harga keekonomian. Saat harga minyak dunia naik signifikan, akumulasi dana stabilisasi yang tersimpan dapat digunakan untuk menahan harga eceran BBM lebih rendah (harga wajar) dari harga keekonomian. Harga wajar BBM tersebut dapat diterapkan dengan menentukan harga batas atas dan batas bawah.

Kedua, harga BBM yang mengikuti batas atas dan bawah juga harus ditetapkan sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya energi baru terbarukan (EBT), termasuk bahan bakar nabati (BBN). Jika harga BBM terlalu rendah, sementara biaya produksi EBT umumnya jauh lebih mahal dibanding energi fosil, maka tanpa subsidi yang signifikan, produksi EBT akan jalan di tempat, tidak akan mampu menyubstitusi produksi migas yang terus menurun. Subsidi pengembangan EBT yang signifikan merupakan hal yang berlaku umum di seluruh dunia. Dalam hal ini Indonesia melakukan dua penghambat pengembangan EBT sekaligus, yakni subsidi minim dan harga BBM yang terlalu rendah.

Ketiga, harga BBM mestinya tidak ditetapkan atas pertimbangan yang didominasi oleh faktor kepentingan pencitraan politik. Kita bisa melihat sikap pemerintah yang seenaknya melanggar peraturan yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi sendiri, yaitu ketentuan Pasal 14 Perpres No.91/2014. Meskipun pemilu/pilpres masih akan berlangsung 3 tahun berselang, pemerintah telah membekukan harga eceran BBM penugasan dan BBM tertentu sejak April 2016. Padahal dalam kurun waktu tersebut harga minyak dunia telah naik rata-rata sekitar 40% dan nilai tukar Rp telah turun sekitar 30%!

Demi citra politik, pemerintah pun telah merusak kredibilitas tata pemerintahan yang baik dan berwibawa, dengan membatalkan kenaikan harga premium dari Rp6550 per liter menjadi Rp7000 per liter hanya dalam waktu sekitar 1 jam. Hal ini terjadi pada tanggal 10 Oktober 2018 yang lalu. Baik rencana kenaikan, maupun pembatalan kenaikan harga premium tersebut dilandasi oleh pernyataan yang sama: “Sesuai arahan bapak Presiden”.

BACA JUGA   Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, Cabut Subsidi BBM Pada Pelni dan PTKAI

Keempat, kebijakan penyediaan BBM mestinya pro pelestarian lingkungan dan bebas dari kepentingan mafia pemburu rente. Keputusan pemerintah memperluas penjualan premium hingga mencakup seluruh wilayah Indonesia dengan memasukkan Jawa, Madura dan Bali (Pasal 3 Perpres No.43/2018) yang sebelumnya tidak tercakup, jelas tidak konsisten dengan upaya penggunaan BBM ramah lingkungan dan upaya terwujudnya subsidi tepat sasaran. Akibatnya kuota premium meningkat sekitar 5 juta kiloliter. Kenaikan kuota ini jelas menambah kesempatan bagi oknum-oknum mafia memperoleh rente lebih besar dari jenis BBM yang tidak punya rujukan harga internasional ini. Namun di sisi lain, hal tersebut menjadi beban tambahan kerugian bagi BUMN karena sifat “penugasan” (PSO) yang harga jualnya di bawah harga keekonomian.

Kelima, kebijakan harga BBM mestinya memperhatikan aspek ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan yang sangat terkait dengan kebijakan energi yang berkelanjutan. Faktanya, dengan terus menurunnya produksi migas dan tidak berkembangnya EBT sebagai substitusi migas, Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan (current account defisit, CAD). Impor minyak dan BBM merupakan penyebab utama CAD, dan hal ini semakin membesar terutama saat harga minyak dunia semakin tinggi.

Kebijakan BBM yang populis sarat pencitraan telah menyebabkan CAD terus melebar, nilai tukar rupiah yang terus turun melampaui Rp 15.000 per US$, dan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin memburuk. Akibat kebijakan populis ini terlihat pada penurunan kurs rupiah saat Jokowi dilantik Oktober 2014, dari rata-rata Rp 11.500 per US$ menjadi rata-rata Rp 14.500 per US$ pada 2018, atau turun sekitar 26%. “Prestasi” ini telah membuat hutang negara pada 2014 yang besarnya US$ 161 miliar atau Rp1851 triliun, otomatis naik menjadi Rp2334,5 triliun, tanpa Indonesia membuat atau memperhitungkan hutang  baru!

Keenam, kebijakan subsidi energi perlu dijalankan pemerintah secara konsisten. Jokowi pernah mengkritik SBY karena menghabiskan anggaran subsidi hingga Rp340 triiun dan tidak mampu mengatur harga BBM yang seragam di seluruh Indonesia. Ternyata Jokowi pun melakukan hal yang sama. Subsidi energi era Jokowi memang turun sekitar 70 persen lebih selama tiga tahun pertama. Tetapi hal ini terjadi karena harga minyak dunia sedang rendah, di bawah US$ 45 per barel. Sedangkan pada 5 tahun pemerintahan ke-2 SBY, harga minyak dunia adalah US$94 per barel. Sehingga wajar jika anggaran subsidi sangat besar.

BACA JUGA   Sebanyak 176 Perusahaan Nikmati Harga Gas Murah

Ternyata, saat harga minyak kembali di atas US$50 per barel, Jokowi pun bersikap populis seperti SBY, harga BBM tidak dinaikkan karena disubsidi. Akan tetapi, kebijakan itu dijalankan dengan memindahkan beban anggaran subsidi dari APBN ke Pertamina. Begitu pula dengan kebijakan BBM satu harga yang berstatus PSO, di mana seharusnya dampak finansialnya harus ditanggung APBN, tetapi faktanya beban tersebut harus ditanggung oleh Pertamina, sehingga akibatnya keuangan BUMN bermasalah yang berdampak pada ketahanan energi nasional yang semakin menurun.

Berbagai kebijakan energi dan BBM yang diambil pemerintah di atas, minimal telah melanggar beberapa peraturan. Tetapi dampak yang lebih serius adalah pengelolaan energi nasional menjadi tidak berkelanjutan dan terbukti telah berdampak buruk terhadap ekonomi nasional, terutama akibat dari CAD yang terus membengkak dan kurs rupiah yang terus turun. CAD yang terus naik, terutama karena defisit perdagangan migas, tidak cukup hanya diatasi dengan kebijakan mandatori B20, kewajiban TKDN dan kewajiban penjualan crude bagian kontraktor di dalam negeri. Penanganannya harus sistemik dan terencana.

Karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan energi dan BBM yang berkelanjutan antara lain dengan cara meminimalkan faktor politik populis, menerapkan subsidi tepat sasaran dan menerapkan harga BBM yang wajar dengan batas atas dan bawah, serta memberlakukan skema dana stabilisasi. Pengalaman menunjukkan turunnya harga BBM tidak berpengaruh pada ikut turunnya harga barang dan jasa lain, kecuali jika yang terjadi sebaliknya. Dengan demikian, harga BBM non-subsidi yang rencananya akan diturunkan, dapat saja dipertahankan tetap atau berada pada level tertentu yang bersifat bekelanjutan.. Namun jika faktor politik yang menjadi pertimbangan dominan, bisa saja harga BBM tertentu dan penugasan pun justru akan diturunkan. Jika itu terjadi, maka ke depan bersiaplah untuk hidup dalam lingkup ketahanan energi dan kurs rupiah yang semakin terpuruk.[]

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *