[Marwan Batubara, IRESS] – Menteri ESDM Sudirman Said bulan lalu menetapkan harga baru BBM yang didalamnya termasuk pungutan dana ketahanan energi (DKE) sebesar Rp 200 per liter untuk premium dan Rp 300 per liter untuk solar (23/12/2015). Dengan demikian, sesuai formula harg BBM yang tercantum dalam Perpres No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Ecerean BBM yang menganut skema harga keekonomian, harga baru premium adalah Rp 7.150 dan solar Rp 5.950. Harga baru BBM yang ditetapkan secara periodik per 3 bulanan tersebut mulai berlaku 5 Januari 2015.
Menteri ESDM menjelaskan dasar pemberlakuan pungutan DKE adalah Pasal 30 UU Energi No.30/2007, sedang skema pemanfaatan DKE dilaksanakan sesuai Pasal 27 PP tentang KEN No.79/2014. Ternyata rencana tersebut telah menimbulkan kontroversi dan menuai protes. Alasannya, kebutuhan dana penelitian energi baru terbarukan (EBT) dalam Pasal 30 UU Energi tersebut harus berasal dari APBN, APBD dan swasta. Sementara penganggaran dana tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR atau DPRD.
Selain itu, tidak ada norma dalam Pasal 30 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah melakukan pungutan langsung kepada konsumen BBM. Padahal, setiap pungutan yang dikenakan kepada publik masuk dalam kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang lebih dulu harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal 30 UU Energi memang menegaskan ketentuan lebih lanjut tentang biaya penelitian EBT diatur dengan PP. Sementara itu, hingga saat ini PP yang dibutuhkan tersebut belum ditetapkan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan DKE tidak mungkin segera dijalankan karena harus dianggarkan dalam APBN/APBD dan disetujui DPR/DPRD lebih dulu, dan PP dasar pungutan pun perlu ditetapkan dahulu. Kondisi seperti ini tentu saja mengganggu rencana pemerintah, karena dengan begitu harga baru BBM tidak dapat segera diberlakukan, dan program pengembangan EBT melalui DKE tidak dapat segera diimplementasikan. Untuk itu IRESS menawarkan beberapa langkah korektif seperti diuraikan berikut ini.
Secara umum negara-negara penghasil migas dunia mengadopsi skema dana migas (petroleum funds) yang digunakan untuk keberlanjutan fiskal dan keadilan antar generasi. Petroleum fund masing-masing diimplementasikan dalam bentuk stabilization funds yang bertujuan mengurangi dampak volatilitas harga minyak, serta saving funds yang bertujuan untuk menyimpan kekayaan yang exhaustible bagi generasi mendatang. Merujuk kedua jenis dana tersebut, guna mengatasai masalah yang ada pemerintah bisa mengambil langkah paralel berupa penerapaan dana stabilisasi untuk penetapan harga BBM dan skema DKE untuk pengembangan EBT dan eksplorasi migas.
Dana Stabilisasi: Stabilization Funds
Terkait penetapan harga BBM, pemerintah harus menghilangkan istilah pungutan menjadi dana stabilisasi. Penggunaan istilah pungutan sejak semula merupakan blunder besar. Tujuan dana stabilisasi bukan untuk kepentingan pengembangan EBT atau pencarian sumber cadangan migas baru, tetapi untuk menjaga stabilitas harga BBM, terutama saat harga minyak dunia naik kembali. Landasan hukum penerapan dana stabilisasi dapat dapat dipenuhi dengan penerbitan Perpres. Untuk itu formula perhitungan harga BBM dalam Perpres No.191/2014 dapat direvisi dengan menambah satu komponen (harga) baru, yakni dana stabilisasi.
Dalam pelaksanannya pemerintah dapat memberlakukan batas bawah dan batas atas harga BBM. Jika harga keekonomian sesuai formula perpres (baru) lebih rendah dari harga batas bawah BBM, maka selisihnya disimpan dalam satu akun rekening. Sebaliknya jika harga keekonomian lebih tinggi dari harga batas atas BBM, maka dana dalam akun rekening tersebut digunakan untuk menurunkan harga ke batas atas harga BBM. Dalam Perpres baru tersebut pemerintah harus menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana. Untuk itu, akun rekening perlu dimilki bersama oleh Pertamina dan KESDM. Selain itu perlu diatur kewajiban melaporkan secara rutin (misalnya dwi-mingguan) perkembangan harga keekonomian BBM sesuai perubahan harga minyak, dan akumulasi dana stabilisasi yang telah terkumpul.
Dana stabilisasi sangat mendesak diterapkan, pertama karena subsidi BBM telah dihapus dari APBN. Kedua, rendahnya harga minyak dunia biasanya tidak berlangsung lama, sehingga harga BBM pun berpotensi naik kembali. Ketiga, sikap pemerintah dapat saja tidak taat azas dengan peraturan yang dibuat, terutama karena kepentingan pencitraan, sehingga memaksa BUMN untuk menanggung kerugian dengan mempertahankan harga BBM yang seharusnya naik. Hal ini terbukti pada saat harga minyak dunia naik mendekati US$ 70/barel medio Mei-Agustus 2015, harga BBM tidak dinaikkan sesuai formula harga Perpres No.191. Akibatnya, Pertamina harus merugi sekitar Rp 15 triliun.
Dana stabilisasi sangat penting disiapkan terutama harga minyak dunia berpotensi kembali ke level US$ 80-90/barel, dimana harga premium bisa naik mencapai Rp 9000-10.000/liter. Dengan memanfaatkan dana stabilisasi, kenaikan tersebut bisa ditekan menjadi Rp 8000-9000/liter, meskipun efektivitasnya tergantung pada akumulasi dana yang terkumpul dan lamanya periode harga minyak dunia rendah. Dengan begitu gejolak harga dan dampak kenaikan harga BBM terhadap harga barang dan jasa lain dapat diredam.
Memang cukup banyak tuntutan harga BBM diturunkan sesuai harga keekonomian, tanpa penerapan pungutan/dana stabilisasi. Permintaan ini relevan jika pemerintah bisa melakukan intervensi dan menjamin harga-harga barang dan jasa lain juga ikut turun. Selain itu pemerintah pun harus mengatur kewajaran indeks harga BBM terhadap harga barang dan jasa lain. Jika setahun lalu perbandingan harga 1 liter air dalam kemasan (AMDK) dengan 1 liter premium adalah 1:2, sedang saat ini perbandingannya menjadi 5:7, maka penurunan harga BBM menjadi tidak relevan jika harga AMDK tidak ikut turun. Apalagi, upaya menghasilkan 1 liter BBM jauh lebih besar dibanding 1 liter AMDK.
Dana Ketahanan Energi: Petroleum Funds
Saat ini kebutuhan minyak Indonesia sekitar 1,5 juta barel per hari (bph) dengan produksi sekitar 800.000 bph (bagian negara sekitar 550.000 bph). Sehingga impor minyak mentah/BBM mencapai 700.000-900.000 bph. Dengan pertumbuhan konsumsi rata-rata 5% per tahun, maka pada akhir 2020 konsumsi dapat mencapai 2 juta bph. Sementara, karena kondisi lapangan migas menua dan tingkat penggantian cadangan (reserve replacement ratio, RRR) rata-rata hanya 0.6, maka produksi minyak 2020 diperkirakan tinggal 700.000 bph. Sehingga kebutuhan impor dapat mencapai 1,3-1,5 juta bph. Tingginya impor minyak telah membuat carrent account defisit (CAD) terus naik dan nilai tukar Rp terus melemah.
Di sisi lain pengembangan EBT stagnan. Rencana pengembangan EBT dimulai dengan terbitnya Perpres No.5/2006 tentang KEN. Saat itu porsi EBT dalam bauran energi nasional hanya sekitar 6%. Ternyata setelah 9 tahun berjalan, saat pemerintah menerbitkan PP No.79/2014 tentang KEN, pengganti Perpres No.5/2006, porsi EBT dalam bauran energi tetap 6%. Dalam Perpres No.9/2014 ditetapkan bahwa target porsi EBT pada 2025 akan naik menjadi 23%. Ternyata pemerintah telah bersikap abai dan gagal menjalankan KEN.
Dalam kondisi impor minyak/BBM yang tinggi dan EBT yang tidak berkembang maka ketahanan energi Indonesia semakin rapuh, sehingga skema petroleum/saving funds sangat mendesak diterapkan. Karena itu, rencana pemerintah membentuk DKE patut diapresiasi. Namun untuk itu sebelumnya perlu disusun langkah-langkah strategis secara komprehensif, baik di sisi penerimaan dana (DKE) maupun pemanfaatan/penggunaan dana. Aspek-aspek penting yang perlu dipersiapkan meliputi landasan legal, kelembagaan, tata kelola/GCG, peta jalan/cetak-biru pengembangan energi berkelanjutan, dan perkiraan kebutuhan anggaran. DKE akan efektif jika cetak biru pengembangan energi berkelanjutan telah tersedia.
Sumber penerimaan DKE, pertama berasal dari pemotongan sekian perser (5-10%) penerimaan migas negara dari sektor migas berupa depletion premium (World Bank, 1995). Kedua dari kontraktor swasta sektor hulu berupa depletion premium dan pajak lingkungan. Ketiga dari konsumen dan swasta sektor hilir berupa depletion premium dan pajak karbon. Untuk yang pertama dan kedua, pemerintah perlu menyiapkan ketentuannya dalam UU Migas baru. Sedang untuk yang ketiga, pemerintah dapat saja membuat PP turunan Pasal 30 UU Energi No.30/2007. Penerapan depletion premium kepada swasta/kontraktor di sektor hulu perlu dipertimbangkan dengan cermat agar tidak mengganggu iklim investasi eksplorasi dan eksploitasi migas.
Khusus untuk pengelolaan dan akuntabilitas pengelolaan DKE, pemerintah perlu membentuk lembaga terpisah, berbeda dengan dana stabilisiasi yang cukup dikelola bersama oleh Pertamina dan KESDM. Hal yang juga sangat mendesak adalah disusunnya program-program yang kredibel, akuntabel, transparan dan berkelanjutan untuk apa DKE diterapkan. []
No comments so far.
Be first to leave comment below.