ICW: Ada Indikasi Kerugian Negara Rp 365,3 T di Ekspor Batubara
ENERGI November 20, 2017 Editor SitusEnergi 0
Jakarta, situsenergy.com
Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas mengatakan, pihaknya menemukan indikasi kerugian negara terkait dugaan ekspor batubara yang tidak dilaporkan yang tersinyalir dari adanya perbedaan data di dalam negeri dari sejumlah instansi terkait.
Hal ini disampaikan Firdaus dalam diskusi bertajuk “Kerugian Negara dari Unreporting Ekspor Batubara Indonesia 2006-2016” di Jakarta, Senin (20/11).
“Kami menemukan indikasi transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan hingga sebesar US$ 27,06 miliar (setara Rp 365,3 triliun). Nilai ini tentu memiliki implikasi terhadap penerimaan negara,” katanya.
Menurut Firdaus Ilyas, indikasi tidak dilaporkannya ekspor batubara itu berdampak kepada indikasi kerugian negara baik dari kewajiban perusahaan batubara untuk pajak penghasilan, maupun royalti hingga mencapai Rp 133,6 triliun.
Berdasarkan data ICW, kata dia, transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan pada periode 2006-2016 disinyalir yang terbesar ke China dengan nilai sekitar US$ 5,31 miliar, kemudian ke Jepang (US$ 3,80 miliar) dan Korea Selatan (US$ 2,66 miliar).
“Terkait besarnya indikasi kerugian negara, maka sudah seharusnya pemerintah menaruh perhatian sangat serius dan segera membenahi celah yang berindikasi kepada kerugian negara dari batubara,” tukasnya.
Dia berpendapat bahwa indikasi tidak dilaporkannya transaksi batubara itu juga dapat timbul dari adanya satu persoalan mendasar, yaitu dari sisi administratif negara adanya celah besar pendataan produksi batubara antara kementerian teknis dengan kementerian atau lembaga lainnya.
“Data-data ini akan menjadi acuan kita. Dalam konteks kekayaan negara, ini bagian dari pencatatan berapa sih kekayaan Indonesia. Kalau berbeda-beda, kita tidak memiliki nilai yang valid berapa nilai kekayaan kita,” katanya.
Firdaus mencontohkan, perbedaan data penjualan batubara antara institusi seperti Kementerian Perdagangan, BPS, dan Kementerian ESDM, di mana dalam periode 2006-2016, terdapat perbedaan hingga sekitar 520 juta ton.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi “loophole” atau lubang sehingga berimplikasi terhadap potensi penerimaan negara.
Menurutnya, indikasi kerugian negara sebesar Rp 133,6 triliun itu sangat signifikan digunakan untuk infrastruktur seperti tol dan pelabuhan, juga untuk anggaran kesehatan hingga pendidikan.
“Untuk itu kita minta aparat penegak hukum khususnya KPK untuk melanjutkan koordinasi dan supervisi sumber daya alam dengan menitikberatkan pada sisi penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara,” pungkasnya.
Sementara pembicara lainnya Direktur Penegakan Hukum Dirjen Pajak Yuli Kristiono menyatakan, isu ini bukanlah hal yang baru dan sedang diaudit karena pihaknya juga membutuhkan dukungan data dari berbagai instansi terkait lainnya.
Yuli Kristiono mengemukakan, pihaknya sudah turun ke sejumlah provinsi dalam rangka memberikan sosialisasi kepatuhan pengusaha pertambangan dan setelah sosialisasi ada peningkaan penerimaan negara dalam sektor batubara.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.