Logo SitusEnergi
Bahaya, RI Bisa Terseret Krisis Energi Inggris-China, Minimal APBN Bengkak Gara-Gara Ini Bahaya, RI Bisa Terseret Krisis Energi Inggris-China, Minimal APBN Bengkak Gara-Gara Ini
Jakarta, Situsenergi.com Indonesia disebut berpeluang ikut terseret dalam krisis energi yang terjadi di Inggis dan China. Pasalnya, Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung dengan... Bahaya, RI Bisa Terseret Krisis Energi Inggris-China, Minimal APBN Bengkak Gara-Gara Ini

Jakarta, Situsenergi.com

Indonesia disebut berpeluang ikut terseret dalam krisis energi yang terjadi di Inggis dan China. Pasalnya, Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung dengan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun Liquified Petroleum Gas (LPG). 

Kerugian Indonesia bukan saja akan lebih sulit mendapatkan pasokan BBM dan LPG, namun juga harga beli kedua produk itu berpotensi melambung sangat tinggi dan itu tentu saja bisa membebani keuangan negara. 
“Ketika terjadi gejolak di luar negeri, maka ini akan berdampak pada harga komoditas impor, dalam hal ini BBM dan LPG,” ujar Pengamat Migas Widhyawan Prawiraatmadja, dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (8/10/2021). 

Menurut Widhyawan, perbedaan Indonesia dengan CHina dan Inggris yakni, mereka memiliki cadangan energi yang cukup baik untuk bertahan, sedangkan Indonesia tidak bisa seperti China yang bisa membeli BBM dalam kapasitas besar ketika harga minyak sangat murah.  

“Negara yang punya cadangan strategis secara relatif bisa menggunakan cadangan tersebut untuk mengatasi kondisi emergency. Jadi Indonesia mau tidak mau harus siap impor dengan harga pasar yang sedang meningkat,” papar Widhyawan. 

Di saat harga minyak terus meningkat, namun di dalam negeri harga jual BBM dan LPG kepada masyarakat tidak bisa dinaikkan karena harga diatur negara, maka kondisi ini menurutnya bakal membebani subsidi. PT Pertamina (Persero) juga akan terbebani jika harga BBM non subsidi tidak bisa dinaikkan.

BACA JUGA   Perusahaan Distributor BBM Ini Tambah Modal Ke Anak Usaha Rp96 Miliar

“Sementara di dalam negeri harga tidak bisa dinaikkan, artinya pemerintah akan terbebani dengan subsidi yang semakin meningkat, dan juga Pertamina akan sangat terbebani jika tidak bisa melakukan penyesuaian harga BBM non subsidi,” tuturnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mengatakan, adalah hal yang wajar ketika menjelang akhir tahun, negara-negara di eropa dan Amerika membutuhkan energi yang lebih banyak ketimbang biasanya, karena negara-negara itu menghadapi situasi musim dingin. Terlebih kondisi saat ini, pandemi menyebabkan adanya pengetatan pasokan minyak dari negara-negara OPEC masih terjadi. 

“Menurut saya biasanya dalam kondisi normal saja harga minyak anak naik pada musim begini karena di kawasan Eropa akan memasuki musim dingin. Perlu banyak energi untuk memanaskan atau menghangatkan orang di rumah masing-masing. Apalagi ditambah kondisi seperti ini, bahwa memang peralihan kita dari energi fosil ke energi baru di seluruh dunia saat ini masih belum tampak menggembirakan karena belum sekali yang belum memenuhi target, termasuk di negara kita,” ujar Ferdinand kepada Situsenergi.com, dikutip Jumat (8/10/2021). 

Ia menambahkan, dalam situasi seperti ini, menjadi sangat wajar jika negara-negara Eropa dan Amerika melirik kembali energi fosil seperti batu bara. Itulah yang kemudian juga menyebabkan harga batu bara naik cukup tinggi. 

“Saya pikir sangat rasional karena orang saat ini dengan permasalahan ekonomi global akibat pandemi global ini, tentu orang akan mencari sumber energi yang lebih murah dibanding energi baru yang harganya lebih mahal. Maka orang kembali mengejar batu bara, minyak mentah dan energi konvensional lainnya. Maka sangat mungkin ini akan memicu kenaikan harga dan BBM, harga minyak mentah saya kira akan merangkak naik harganya dan bisa jadi tidak rasional juga harganya untuk akhir tahun ini sampai awal tahun depan,” pungkas Ferdinand 

Sebagai informasi saja, dikutip dari laporan Reuters, Harga minyak mentah berjangka Brent patokan internasional, Kamis (7/10/2021) atau Jumat (8/10/2021) pagi WIB, melonjak 87 sen, atau 1,1 persen, menjadi USD81,95 per barel. Sementara itu, patokan Amerika, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), melesat 87 sen, atau 1,1 persen, menjadi menetap di posisi USD78,30 per barel. Di awal sesi, harga kedua tolok ukur tersebut anjlok USD2 per barel. (SNU)

BACA JUGA   Luar Biasa, Minyak Melonjak Lebih dari 4 Persen Karena Varian Omicron

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *