


Oleh : Marwan Batubara, IRESS
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) baru saja mengeluarkan rekomendasi izin tambahan ekspor solar bagi PT ExxonMobil Lubricant Indonesia untuk periode Januari-Desember 2019. Pelaksana Tugas Dirjen Migas KESDM Djoko Siswanto mengatakan rekomendasi tersebut berisi tambahan kuota impor dari semula 226.100 kiloliter (kl) menjadi 800.320 kl, atau bertambah 574.220 kl (17/7/2019). Selama ini hak impor dan penyaluran BBM solar ada di tangan BUMN, yakni Pertamina. Apakah kebijakan tersebut tepat dan pro-rakyat? Tentu saja tidak!
Pemerintah harus menyadari bahwa publik tidak akan membiarkan terus merajalelanya perusahaan asing dan aseng untuk semakin mendominasi bisnis dan cabang-cabang usaha yang seharusnya dikuasai negara melalui BUMN, sesuai Pasal 33 UUD 945. Monopoli alami oleh BUMN dengan harga dikendalikan oleh pemerintah, merupakan hal yang konstitusiona dan lumrah terjadi di seluruh dunia. Oleh sebab itu, kebijakan di atas sangat pantas digugat dan harus segera dibatalkan. Di samping melanggar konstitusi, kebijakan di atas juga berpotensi merugikan rakyat dan mengancam ketahanan energi nasional.
Kita tidak tahu apakah pemerintah menyadari adanya pelanggaran peraturan dan potensi kerugian negara dan bangsa yang sangat besar atas dikeluarkannya kebijakan tersebut. Minimal kita bertanya, apakah Presiden Jokowi sudah diberi tahu, tidak tahu (ada oknum yang menyembunyikan) atau malah terlibat dalam penerbitan kebijakan buruk tersebut. Kita berharap Presiden memang belum tahu atau sengaja tidak diberi tahu. Akan sangat fatal kalau Presiden justru tahu dan terlibat dalam penerbitan kebijakan tersebut. Mengapa?
Pertama, BUMN/Pertamina merupakan perusahaan negara yang bisnisnya harus dilindungi agar tetap tumbuh berkembang guna menjamin ketahanan energi nasional. Melalui BUMN, berbagai program perintisan, cross-subsidy antar wilayah (kaya-miskin) dan BBM satu harga dapat terlaksana. Jika peluang bisnis Pertamina terus dikurangi atau digrogoti dengan memberi kesempatan kepada asing dan swasta untuk menjual solar, membangun SPBU di wilayah “gemuk” atau menjual avtur yang captive, maka kemampuan bisnis dan strategis Pertamina tersebut akan berkurang. Lambat laun Pertamina akan berubah menjadi perusahaan yang hanya bias hidup dari APBN, sebagaimana layaknya TVRI!
Kedua, dengan memberi peluang kepada asing dan swasta menggrogoti bisnis Pertamina, terutama pada sektor-sektor usaha yang menguntungkan, maka potensi Pertamina untuk dicaplok asing menjadi besar. Pemerintah mestinya mengoreksi kebijakan yang berpotensi membangkrutkan BUMN seperti terjadi pada Krakatau Steel yang siap-siap dicaplok China. Pemerintah telah memberi insentif pajak/tax holiday kepada asing China membangun pabrik baja di Indonesia, dan pada saat yang sama membiarkan dumping baja oleh China tanpa bea masuk guna membunuh Krakatau Steel! Pemerintah boleh bangga dengan massifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun saat yang sama bahan baku untuk itu, terutama baja dan semen diimpor dari China, telah menggiring BUMN kita ke jurang kebangkrutan.
Ketiga, dengan impor solar bertambah besar yang diberikan kepada asing Exxon, maka Pertamina harus menanggung beban biaya kelebihan produksi solar dari kilang sendiri dan bio solar yang terakumulasi akibat adanya kebijakan pemerintah menggalakkan penggunaan BBN dalam Program B-20. Pemerintah pun telah mencanangkan pengembangan Program B-20 menjadi B-30, B-40, dst. Jika pada saat yang bersamaan, pemerintah membiarkan asing mengimpor solar dari luar negeri, maka kebijakan BBN dengan berbagai tingkat porsi bio fuel tersebut menjadi tidak efektif, untuk tidak mengatakan hanya omong kososng.
Keempat, impor migas merupakan kontributor utama atas terus meningkatnya defisit neraca perdagangan, defisit neraca berjalan dan defisit fiskal. Profil keuangan negara yang buruk ini akan semakin parah jika harga minyak naik. Dengan defisit yang terus membengkak, kita sudah “menikmati” turunnya nilai tukar US$/Rp dalam 4 tahun terakhir dari rata-rata Rp 11.200 menjadi rata-rata Rp 14.100. Akibatnya, tanpa membuat hutang baru, hutang lama NKRI otomatis naik sekitar 26% gara-gara depresiasi Rp yang dipicu oleh defisit-defisit tersebut! Karena itu, kita merasa senang ketika Presiden Jokowi “menyindir” Menteri ESDM dan Menteri BUMN pada Rapat Kabinet di Bogor (8 Juli 2019) yang “dianggap” bertanggungjawab (Presiden tidak ikut?) atas semakin tingginya impor migas yang menyebabkan masih tingginya defisit neraca perdagangan. Defisit neraca perdagangan periode Januari-Mei 2019 adalah US$2,14 miliar.
Apakah Presiden sungguh-sungguh concern atas kondisi defisit tersebut, sehingga harus secara khusus meminta perhatian kedua menteri kabinet? Did he really mean that? Kita tidak faham. Tapi kalau benar-benar memahami masalah, ingin mencari solusi dan berpikir logis terhadap hubungan sebab akibat, maka kebijakan pemerintah yang bersifat kontradiktif tidak akan pernah diambil! Kalau sudah tahu impor migas merupakan penyumbang terbesar defisit dan salah satu obatnya adalah dengan meningkatkan produksi domestik BBN yang nyatanya telah tersedia pula, mengapa izin impor solar malah ditambah? Pengimpornya pun asing dan swasta pula lagi! Saya tidak ingin mengatakan: sontoloyo…
Kelima, partner Exxon berbisnis eceran BBM di Indonesia adalah Indomobil Prima Energi (IPE) milik Grup Salim. Bersama IPE, Exxon akan memasok BBM ke sektor industri yang selama ini dipasok oleh Pertamina. Di samping itu, Exxon dan IPE juga akan membangun 10.000 SPBU mini dalam 2-5 tahun mendatang di seluruh Indonesia. Dengan rencana bisnis Exxon dan IPE yang demikian strategis dan massif, maka bersiaplah untuk menyaksikan terus melorotnya bisnis Pertamina dalam beberapa tahun ke depan. Ternyata Grup Salim ini sangat “sakti” sekaligus rakus. Bukan saja berhasil merampok uang rakyat dalam kasus BLBI: “nilai hutang Rp 52 triliun, tapi pengembalian hutangnya hanya Rp 28 triliun”, tetapi juga sedang bersiap untuk membunuh BUMN milik negara secara perlahan…
Keenam, ExxonMobil baru saja merayakan keberhasilan meningkatkan produksi kilang minyak di Singapore Juni 2019. Pada 2023, Exxon pun akan melanjutkan peningkatan kapasitas kilangnya menjadi lebih besar lagi. Di sisi lain, China, Malaysia, Thailand, Phillipine dan Vietnam pun berhasil meningkatkan produski kilang masing-masing. Dengan sebagian besar program Refinery Development Master Plan oleh Pertamina yang terus tertunda, maka tinggallah Indonesia sebagai pasar potensial produk kilang ExxonMobil yang kapasitasnya baru ditingkatkan tersebut. Apakah kondisi ini, termasuk gagalnya sebagian proyek RDMP Pertamina, suatu kebetulan? Silakan direnungkan!
Ketujuh, ternyata nestapa Pertamina, hasil dari kebijakan sesat dan manipulatif, bukan saja pada sisi market share bisnis utama yang terus dibiarkan digrogoti asing dan swasta, serta beban subsidi harga produk migas yang harus ditanggung. Pertamina pun harus tunduk untuk diperas membayar sinature bonus pengelolaan Blok Rokan sekitar Rp 11 triliun pada 2018 yang lalu. Padahal hak pengelolaan tersebut dijamin oleh konstitusi. Pertamina pun baru akan mengelola blok migas tersebut pada 2021 yang akan datang. Untuk membayar signature bonus tersebut, Pertamina pun harus menerbitkan obligasi, sehingga harus menanggung beban kupon!
Dengan tujuh alasan di atas, menjadi sangat jelas bagi kita untuk bersikap terhadap kebijakan pemerintah di atas. Sudahlah diperlakukan hampir layaknya seperti sapi perah, bisnisnya pun secara perlahan dikurangi dan dibonsai untuk lambat laun terkapar. Maka, sebelum itu terjadi, kita menuntut agar peran asing dan swasta yang semakin dominan menghabisi bisnis Pertamina harus diakhiri. Izin impor BBM oleh Exxon tersebut harus dibatalkan. Bisnis avtur harus dikembalikan kepada Pertamina. Namun, untuk mencegah KKN oleh oknum-oknum oligarki, Pertamina pun harus dikelola secara profesioanl sesuai prinsip good corporate governances. Segeralah jadikan Pertamina sebagai non-listed public company.[•••]
No comments so far.
Be first to leave comment below.