Skema Pembentukan BUK Migas Itu Sudah Kuno
ENERGI August 24, 2017 Editor SitusEnergi 0
Jakarta, situsenergy.com
Mantan Anggota Komite BPH Migas Qoyum Tjandranegara menilai, skema pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) hulu dan hilir migas sudah jadi konsep kuno. Bahkan, lembaga agregator migas yang pernah masuk pembahasan pemerintah bertahun-tahun tersebut, dianggap tidak masuk akal.
BUK sendiri rencananya akan memiliki lima unit yang terdiri dari unit hulu operasional mandiri, unit hulu kerja sama, unit hilir kerja sama, unit usaha hilir minyak bumi, dan unit usaha hilir gas bumi. “Ada badan usaha yang bisa mengatur badan usaha lainnya, sebetulnya tidak ada kayak gitu. Jadi, konsep ini rasa-rasanya sudah lama ditinggalkan. Bahkan, diskusi terakhir di Kementerian ESDM sudah dilupakan,” jelas Qoyum, di Jakarta, Rabu (23/8).
Menurutnya, konsep lembaga agregator melalui BUK migas sempat disebut agak menyimpang, mengingat sifatnya yang berbentuk badan usaha yang bisa mengatur badan usaha lainnya.
Makanya, ada kekhawatiran bahwa wewenang BUK migas sebagai regulator nanti tidak akan berdaya apabila nantinya ada sengketa dengan badan usaha mitranya.
Berdasarkan draf revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi per April 2017, rencananya pemerintah akan memberikan kuasa pertambangan migas kepada BUK migas.
Seharusnya masih menurut Qoyum, pemerintah tetap menjaga kehadiran badan regulator hulu maupun hilir migas. Sehingga, ada baiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak jadi memasukkan isu BUK migas ke dalam revisi UU Migas dan tetap menghadirkan peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan BPH Migas.
Bahkan, karena perannya yang penting, maka status badannya pun harus diperkuat dengan melepaskan diri dari naungan Kementerian ESDM.
“Seharusnya, regulator ini berada di bawah kendali presiden langsung. Di UU Migas memang disebut bahwa seharusnya badan regulator ini harus di bawah presiden, tapi entah mengapa di Peraturan Pemerintah turunannya menjadi di bawah Menteri ESDM,” katanya.
Senada dengan Qoyum, Pengamat Energi dari Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kholid Syeirazi menuturkan, revisi UU Migas nantinya harus membuat badan regulator menjadi lebih independen. Pasalnya, kini SKK Migas dan BPH Migas hanya badan yang diatur oleh kementerian (ministry dominated body).
Meski demikian, ia berharap, regulator ini bisa memiliki bentuk hukum yang lepas dari pemerintahan. Sebab, jika kontrak pengusahaan migas dilakukan oleh pemerintah, maka akan mengerdilkan kedaulatan negara.
Secara rinci ia beralasan bahwa kedudukan pemerintah dan badan usaha nantinya masih bisa sederajat di dalam kontrak tersebut. Padahal, seharusnya, kedudukan pemerintah wajib di atas keabsahan kontrak yang berlaku agar pemerintah tetap bisa mengimplementasikan kebijakan yang bertentangan dengan kontrak kerja sama pemerintah dan badan usaha.
“Coba lihat saja kasus PT Freeport Indonesia dengan pemerintah. Karena di dalam kontrak status pemerintah dan badan usaha setara, maka mereka sewaktu-waktu bisa saja menggugat ke arbitrase internasional karena pemerintah dianggap menyalahi kontrak. Padahal, pemerintah itu harus lebih kuat dibanding kontrak,” pungkasnya.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.