Logo SitusEnergi
Posisi Batubara Belum Bisa Tergantikan EBT Sebagai Sumber Utama Energi Posisi Batubara Belum Bisa Tergantikan EBT Sebagai Sumber Utama Energi
Jakarta, Situsenergi.com Tren penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik (PLTU) di dunia termasuk di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung lama dan masih akan... Posisi Batubara Belum Bisa Tergantikan EBT Sebagai Sumber Utama Energi

Jakarta, Situsenergi.com

Tren penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik (PLTU) di dunia termasuk di Indonesia diperkirakan masih akan berlangsung lama dan masih akan mendominasi. Meskipun dunia saat ini sedang gencar mengkampanyekan pemanfaatan energi bersih (energi baru terbarukan / EBT). Oleh sebab itu tak heran jika kini harga batubara kembali melonjak signifikan di pasar internasional.

Menanggap hal itu, Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan tren harga batubara yang melonjak akhir-akhir ini salah satunya dipicu oleh meningkatnya demand di pasar internasional. Sementara dari sisi produksi sangat terbatas akibat kondisi cuaca yang kurang baik. Hal ini memang menjadi berkah bagi negara-negara berstatus produsen batubara seperti Indonesia.

“Kami memproyeksikan tren harga tinggi kemungkinan akan bertahan sampai awal tahun 2022. Terdapat dua faktor utama yaitu persiapan natal/ tahun baru dan musim dingin yang akan menjadi pendorong. Jadi paska tahun baru 2022 dan sejalan dengan bertambahnya produksi batubara saya kira harga akan kembali normal,” kata Komaidi saat dihubungi Situsenergi.com, Jumat (8/10/2021).

Dijelaskan Komaidi bahwa salah satu negara yang kini kembali mengandalkan batubara sebagai sumber energi primer adalah Tiongkok. Kondisi cuaca yang mulai masuk musim dingin mengakibatkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) banyak yang tidak bisa diandalkan. Sehingga batubara menjadi tumpuan utama agar kebutuhan listrik terpenuhi.

“Memang ada satu kondisi di Tiongkok dimana pembangkit tenaga airnya mengalami penurunan signifikan padahal sebelumnya mereka menyatakan akan hijrah ke EBT lebih cepat, tapi kemudian keadaan memaksa untuk kembali ke batubara,” lanjut Komaidi.

Lebih lanjut, permintaan pasar yang sedang tinggi terhadap batubara ini harus direspon oleh pelaku usaha domestik untuk meningkatkan aktifitas produksinya. Momentum yang sangat baik ini harus dimanfaatkan dengan baik agar kinerja usaha mereka ikut terdongkrak. Namun yang menjadi catatan para produsen harus mengutamakan pasar domestik terlebih dahulu sebelum mengirimnya sebagai komoditas ekspor.

BACA JUGA   Petrosea Raup Kontrak Tambang Rp3,5 Triliun, Ekspansi Agresif ke Sumsel

Dikatakan Komaidi, di Indonesia sendiri upaya mengurangi dominasi PLTU dalam bauran energi nasional masih butuh waktu cukup lama. Selain kelengkapan infrastruktur untuk EBT belum tersedia secara masif, harga untuk pengadaan EBT kini masih relatif mahal. Dilihat dari data bauran energi nasional (sektor kelistrikan) pada tahun 2020 lalu PLTU masih mendominasi hingga 85-87 persen.

Dalam proyek fastrack I dan II serta mega proyek 35.000 mw diketahui 60 persennya masih mengandalkan batubara. Dengan melihat fakta itu pemerintah tak perlu memaksakan diri untuk melakukan percepatan secara ekstrim mengalihkan ke EBT. Selain alasan infrastruktur pendukung belum siap, konsekuensi dari pemanfaatan EBT juga akan membuat tarif listrik yang sampai ke masyarakat akan jauh lebih mahal.

“Kalau batubara itu perannya dihilangkan tentu akan naik signifikan (tarif listrik). Tagihannya akan melonjak seperti yang terjadi di Inggris hingga naik 4 kali lipat. Padahal mereka bilang akan menjadi contoh dunia untuk meninggalkan batubara lebih awal dan menggeser ke transisi energi EBT tapi karena kondisi yang ada mereka kembali ke batubara,” pungkas dia. (DIN/RIF)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *