Negosiasi Freeport: Babak Baru Yang Semu?
ENERGI September 6, 2017 Editor SitusEnergi 0
Jakarta, situsenergy.com
Pemerintah maupun Freeport McMoran dalam konferensi pers Menteri ESDM pada 29 Agustus 2017 menyatakan telah mencapai kesepakatan dalam hal perubahan bentuk landasan hukum pengusahaan pertambangan dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Kemudian kewajiban pembangunan smelter paling lambat 2022, stabilitas penerimaan negara, serta persetujuan perpanjangan masa operasi hinggal maksimal 2×10 tahun hingga 2041 dengan syarat PTFI menyepakati klausul 1 sampai dengan 4 pada poin sebelumnya.
Menanggapi perkembangan tersebut, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah menyatakan poin kesepakatan tersebut masih perlu dirinci lebih lanjut, untuk memberikan kepastian yang lebih baik bagi pengelolaan dan kedaulatan pertambangan nasional.
“Ini mengingat bahwa kewajiban divestasi dan pembangunan smelter bukanlah hal baru, kedua hal tersebut telah tercantum di dalam Kontrak Karya dan persetujuan sebelum izin konsentrat diberikan Pemerintah,” kata Maryati kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (5/9).
Kedua kewajiban tersebut sejatinya sudah terpenuhi per 2017-tahun ini.
Menurutnya, yang sangat disayangkan, mengapa Pemerintah terkesan mengejar divestasi 51% di tengah kontrak yang menjelang habis per tahun 2021. “Bukankah per-2021 cadangan mineral Freeport di Papua menjadi milik Indonesia semua? Sedangkan upaya divestasi di awal tahun 2016 saja sulit mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak karena perbedaan penafsiran nilai divestasi 10,64 % antara Freeport vs Pemerintah (Rp 23,6 triliun vs Rp 8,19 triliun). Logikanya, bukankah ini hampir mirip dengan meminta Indonesia membiayai pembangunan smelter melalui divestasi hingga 51%,” papar Maryati.
Lebih lanjut Maryati menambahkan, banyak arena critical yang masih kosong dan rawan terjadinya perselisihan ataupun deadlock yang patut diwaspadai oleh Pemerintah dan memerlukan pengawasan publik, termasuk pengawasan oleh DPR. Titik kritis tersebut antara lain mekanisme penentuan nilai dan pelepasan saham, serta kerangka waktunya. Potensi deadlock akan terjadi pada metode pendekatan perhitungan dan pencakupan cadangan bawah tanah dalam valuasi
“Kemudian mekanisme penerbitan IUPK, tanpa penetapan kawasan pertambangan Freeport sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sebagai prasyarat IUPK-Pemerintah rawan melanggar ketentuan Undang-Undang,” tukasnya.
Yang terakhir rezim fiskal dalam skema IUPK, diperlukan kejelasan lebih detail mengenai ketentuan fiskal yang dianggap sebagai upaya stabilisasi dan menjamin penerimaan negara yang lebih besar dari skema KK saat ini. “Faktor volatilitas harga dan kecenderungan tren dan arah regulasi fiskal perlu menjadi variabel yang diperhitungkan dalam skema ini,” pungkasnya.(Fyan)
No comments so far.
Be first to leave comment below.