


Jakarta, Situsenergi.com
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan Jaffee A Suardin menyampaikan kesiapan PT PHR untuk alih kelola operasional Blok Rokan. Dalam pertemuan dengan Gubernur Riau Syamsuar, Senin lalu, Jaffee mengatakan PHR siap untuk masuk dan mengelola Blok Rokan.
Menurutnya, sejumlah persiapan transisi sudah dilakukan, termasuk terkait dengan pekerja PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang menjadi pekerja PT PHR.
“Sebanyak 2.691 pekerja CPI telah setuju untuk bergabung dengan PHR. Jadi nanti operasional Blok Rokan akan dikerjakan oleh tim lama juga. Kemudian untuk kontrak kerja kami juga sudah lakukan mirrorring dengan CPI dan sudah mencapai 100 persen,” katanya.
Terkait rencana seremoni alih kelola Blok Rokan dari CPI ke PHR yang akan dilakukan pada pergantian hari tanggal 8 ke 9 Agustus 2021, Jaffee mengatakan, bahwa .kegiatan tersebut akan dilakukan secara daring (online) dengan mengundang Forkopimda Provinsi Riau dan 7 kepala daerah wilayah kerja Blok Rokan.
“Persiapan untuk seremoni sudah dilakukan baik oleh SKK Migas, CPI maupun PHR, sembari kami juga memastikan proses alih kelola nanti bisa berlangsung mulus dan semua pekerjaan di Blok Rokan bisa berjalan dengan lancar,” ujar Jaffee.
Sementara Gubernur Riau Syamsuar mengapresiasi kehadiran Direktur PHR. Dia berharap proses alih kelola Blok Rokan dari CPI ke PHR bisa berjalan dengan mulus.
“Selamat kepada PHR. Harapan kami semoga alih kelola ini berjalan dengan lancar, pekerjaan di Blok Rokan terus berlangsung dan produksinya juga terus meningkat,” kata Syamsuar.
“Kami juga sudah menyiapkan BUMD untuk berpatisipasi dalam pengelolaan participating interest (PI) ini, yang tentunya kita harapkan bisa berimbas baik untuk pembangunan di Riau dan kesejahteraan masyarakat Riau,” tambah dia seraya berharap kehadiran PHR di Blok Rokan bisa berdampak baik bagi masyarakat Riau.
Waspadai Intervensi Oligarki
Sementara Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara menilai, agar pengelolaan Blok Rokan bermanfaat bagi sebesar-besar kemamuran rakyat sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, Pemerintah dan DPR harus menangkal atau mengeliminasi intervensi oligarki pemburu rente, GCG ditingkatkan dan fungsi pengawasan internal & ekternal dioptimalkan.
“Jika tidak, maka bukan benefit maksimal yang dicapai, tetapi seberapa besar akhirnya penerimaan negara menurun dibanding sebelumnya. Ini akibat maraknya intervensi oligarki dan perburuan rente,” kata Marwan dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (04/8/2021).
Lebih jauh ia mengatakan, dari sisi operasional alih kelola Blok Rokan tampaknya akan baik-baik saja. Simana target PHR mempertahankan lifting Blok Rokan sekitar 165.000 barel per hari (bph), sama seperti saat dikelola CPI, tampaknya dapat tercapai, terutama karena PHR menempuh pola mirroring kontrak.
“Tapi kita tidak tahu apakah dalam pola tersebut terkandung pula maksud “mengamankan” kepentingan “para sub-kontraktor lama” yang biasa berkontrak dengan CPI. Yang jelas, untuk bisnis migas sebesar Blok Rokan, maka akan lebih baik jika pemimpinnya adalah figur yang juga berasal dari induknya, yakni Pertamina sebagai pemegang 100% Blok Rokan,” paparnya.
Menurut dia ke depan, Pertamina/PHR juga harus segera menangani kontrak/sub-kontrak secara mandiri. Sebab, bisa saja kontrak existing CPI (yang di-mirror PHR) bernilai sangat mahal, sehingga agar efisien dan efektif harus direview sesuai kebutuhan rencana pengembangan jangka pendek dan panjang.
“Dengan demikian akan diperoleh manfaat maksimal bagi BUMN dan negara. Kalau tidak mandiri, apa gunanya Pertamina menjadi operator pengelola Rokan?” Tanya Marwan.
Selain itu, kata dia, maksimalisasi benefit bisa saja gagal tercapai mengingat kontrak Blok Rokan menggunakan skema gross split, di mana peran pengawasan SKK migas menjadi sangat minimalis untuk tidak mengatakan hilang sama sekali.
“Kondisi menjadi lebih parah karena fungsi pengawasan dan audit internal BUMN belum berjalan optimal. Manajemen BUMN selama ini pun tidak berjalan independen, prinsip GCG tidak optimal, kepentingan politik penguasa cukup dominan, serta intervensi oligarki dan perburuan rente pun cukup kental,” paparnya.
Selain aspek operasional, lanjut pria yang pernah duduk sebagai anggota DPD asal daerah pemilihan DKI ini, aspek bisnis pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang berpotensi merugikan negara adalah terkait kewajiban divestasi atau share down pemilikan saham.
“Dalam hal ini PHR telah diminta melakukan divestasi atau pengalihan saham, participating interest (PI) maksimal 39%. Karena 10% PI sudah menjadi milik Pemda/BUMD terkait, maka saham yang dimiliki Pertamina kelak hanya akan tinggal 51%,” ujarnya.
“Hal yang tak kalah penting adalah, berapa besar dana yang akan dibayar sang mitra untuk mengakuisisi saham tersebut,” pungkasnya.
PHR akan mengambil alih pengelolaan Blok Rokan mulai 9 Agustus 2021 setelah sebelumnya dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Blok Rokan yang memiliki luas 6.453 km2 ini tercatat menghasilkan sekitar 165.000 barel minyak per hari atau sekira 24% produksi minyak nasional.(SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.