Logo SitusEnergi
Indonesia Terancam Krisis Energi, Menko Airlangga: Transisi Energi Jadi Kunci Indonesia Terancam Krisis Energi, Menko Airlangga: Transisi Energi Jadi Kunci
Jakarta, Situsenergi.com Ketahanan energi menjadi suatu faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara. Energi tak hanya merupakan faktor produksi yang penting untuk kegiatan dan... Indonesia Terancam Krisis Energi, Menko Airlangga: Transisi Energi Jadi Kunci

Jakarta, Situsenergi.com

Ketahanan energi menjadi suatu faktor penting dalam keberlanjutan kehidupan sebuah negara. Energi tak hanya merupakan faktor produksi yang penting untuk kegiatan dan pertumbuhan ekonomi, namun juga menjadi komoditas strategis yang dapat mengancam kegiatan ekonomi pada saat kondisi krisis, terutama pada saat kondisi harga yang tidak terkendali akibat terbatasnya pasokan

Kondisi yang terjadi saat ini pada pasar energi dunia yaitu meroketnya harga gas dan batu bara, disusul kenaikan harga minyak. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis energi di Eropa, khususnya Inggris, serta di Tiongkok.

Krisis energi di Inggris diakibatkan terjadinya “perfect storm” yakni kondisi musim panas yang sangat panas (dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan musim dingin yang sangat dingin menjelang akhir tahun ini di Eropa), lalu keterbatasan pasokan dari Rusia (sebagai salah satu pemasok utama bagi Eropa), serta investasi infrastruktur penyimpanan (storage) gas yang terkendala. Dalam konteks Eropa, aturan emisi CO2 yang semakin ketat juga menyebabkan harga karbon menjadi sangat tinggi.

Pulihnya ekonomi di negara Tirai Bambu saat ini menyebabkan permintaan energi yang tinggi, dan telah membuat harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah melebihi USD 230 per ton di awal Oktober 2021. Dengan keterbatasan pasokan gas di Eropa, banyak pasokan yang tadinya untuk tujuan pasar Asia beralih ke Eropa, sehingga harga di Asia, yang direpresentasikan oleh harga spot LNG meningkat sangat tinggi mencapai lebih dari US$ 25 per mmbtu.

“Kondisi ketidakpastian yang semakin tinggi tersebut mewarnai sektor energi dunia yang berdampak kepada semua negara, termasuk Indonesia. Untuk itu, Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan daya saing investasi di sektor energi melalui berbagai insentif. Hal itu akan meningkatkan penerimaan negara yang dapat dipergunakan sebagai modal pembangunan nasional,” papar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dikutip Kamis (7/10/2021). 

Saat ini dunia sedang memasuki masa transisi energi sejak adanya Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim untuk menjaga agar pemanasan global tidak naik lebih dari 2 atau bahkan 1,5 derajat Celcius, yang ditindaklanjuti oleh pernyataan dari berbagai negara yang akan berada pada posisi net-zero emission (NZE) di 2050.

BACA JUGA   Ultah Ke-17, PDSI Rayakan dengan Donor Darah: Biar Nggak Cuma Tiup Lilin

Pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, contohnya dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim. Hal ini akan berdampak pada keharusan semua negara untuk melakukan transisi energi. Konsumsi energi ke depan perlu memperhatikan emisi karbon, sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan. Lalu, di saat yang sama juga membuat kebijaksanaan disinsentif, bahkan menghentikan atau moratorium penggunaan energi fosil, khususnya yang beremisi karbon relatif lebih tinggi.

Pembangunan ke depan diarahkan untuk mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, target penurunan emisi, dan kapasitas daya dukung sumber daya alam. Pemerintah akan membuat kebijakan yang mengakomodasi nilai ekonomi karbon yang implementasinya akan dilakukan secara bertahap.

Pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, namun akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean menganggap wajar jika harga komoditas penunjang energi saat ini naik signifikan dan bahkan hal itu mengancam ketahanan energi di kawasan Asia.

BACA JUGA   Women’s Inspiration Awards 2025: Dua Pemimpin Perempuan PLN Cetak Sejarah

Diluar situasi pandemi saja, kata dia, negara-negara Barat dan Eropa saat ini tengah berjuang untuk menutupi kebutuhan energi merekas yang meningkat pada musim dingin. Terlebih kondisi pandemi ini, dimana negara-negara produsen minyak atau OPEC memang tengah membatasi pasokan. 

“Menurut saya sangat masuk akal, ini akan menaikkan harga dan mungkin saja negara-negara Asia akan kalah bersaing dengan negara-negara barat yang memang memiliki tingkat kemajuan ekonomi lebih daripada negara-negara di Asia,” ungkap Ferdinand kepada Situsenergi.com, Kamis (7/10/2021).

“Maka persaingan harga akan dimenangkan oleh negara-negara yang mampu membeli lebih mahal dan ini akan membuat negara-negara di Asia yang tingkat ekonominya lebih rendah dari Eropa bisa kalah bersaing dalam harga dan mengalami krisis energi. Karena hampir seluruh negara di Asia ini masih menggunakan energi konvensional dan energi fosil,” pungkasnya.(SNU)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *