

Hulu dan Hilir, Dua Sisi Mata Uang Yang Berbeda Sikapi Kenaikan Harga Minyak
MIGAS August 4, 2021 manageweb01 0

Jakarta, Situsenergi.com
Indonesia merupakan negara penghasil, sekaligus pengimpor minyak. Hal ini terjadi karena meskipun Indonesia menghasilkan minyak, namun jumlahnya tidak mencukupi untuk kebutuhan domestik. Sehingga untuk memenuhinya, Indonesia harus mengimpor tambahan minyak dari negara lain.
Harga minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, pukul 08.29 WIB hari ini berada di angka USD72,19 per barel. Sementara, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), berada pada level USD70,23 per barel.
Harga kedua jenis minyak itu berbanding lurus dengan harga acuan minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dimana pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ICP dipatok pada angka USD45 per barel.
“Harga minyak yang masih cukup tinggi dari asumsi APBN 2021 sebesar USD45 per barel mempunyai 2 dampak yang berbeda bagi Indonesia. Meskipun mengalami penurunan, tapi masih jauh lebih tinggi dibanding asumsi APBN 2021,” demikian disampaikan Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Menurut Mamit, untuk sektor hulu, jelas ini menjadi keuntungan bagi negara karena harga minyak dunia yang tinggi berakibat pada naiknya harga ICP, sehingga bisa menyebabkan penerimaan negara dari sektor Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) meningkat tajam.
“Semester 1-2021 saja PNBP sektor migas sudah mencapai 91.7 persen dari target APBN. Hal ini disebabkan harga minyak yang tinggi. Selain itu, ini menjadi peluang bagi SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerjasama ( KKKS) dalam mengejar target lifting yang ditetapkan dalam APBN 2021 karena harga minyak yang sedang bagus,” ujarnya.
Selain itu, kata Mamit, hal ini juga kesempatan yang baik untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas.
“Kegiatan explorasi juga harus terus ditingkatkan, mengingat kita punya target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD pada 2030 yang akan datang,” tuturnya.
Namun demikian disisi hilir, kondisi ini justru menjadi permasalahan sendiri. Sebab kenaikan harga minyak dunia menyebabkan kenaikan harga minyak acuan MOPS/Argus yang digunakan dalam membeli produk maupun minyak mentah bagi Indonesia.
“Ini jadi beban bagi badan usaha dalam hal ini Pertamina karena tidak menyesuaikan harga produk BBM mereka. Padahal, badan usaha swasta lainnya sudah beberapa kali menaikan harga BBM,” ungkapnya.
“Selain menjadi beban bagi Pertamina, sebenarnya menjadi beban bagi pemerintah karena ke depan ada kompensasi yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada Pertamina. Kenaikan harga ini juga menyebabkan kenaikan impor migas nasional,” pungkasnya. (SNU)
No comments so far.
Be first to leave comment below.