Logo SitusEnergi
Dihantam Pandemi, Ternyata Bukan Hanya Pertamina yang Rugi Dihantam Pandemi, Ternyata Bukan Hanya Pertamina yang Rugi
Jakarta, situsenergy.com Baru saja publik tanah air diramaikan dengan Laporan Keuangan PT Pertamina (Persero) Semester 1 yang mengalami kerugian, ternyata hal itu tidak saja... Dihantam Pandemi, Ternyata Bukan Hanya Pertamina yang Rugi

Jakarta, situsenergy.com
Baru saja publik tanah air diramaikan dengan Laporan Keuangan PT Pertamina (Persero) Semester 1 yang mengalami kerugian, ternyata hal itu tidak saja dialami BUMN terbesar ini. Industri migas seperti sedang mengalami masa yang buruk akibat pandemic Covid-19 ini. Banyak perusahaan migas dunia yang mengalami kerugian sepanjang semester 1 2020 ini.

Misalnya Exxon Mobil, yang dalam laporannya yang diterbitkan tanggal 31 Juli 2020 menyampaikan kerugian US $ 1.1 miliar selama semester 1 2020 karena over supply minyak dunia akibat melemahnya permintaan yang disebabkan pandemi Covid-19. Akibat kerugian ini, nilai saham Exxon terdilusi sebesar US $ 0.26 per lembarnya.

Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan minyak asal Inggis BP. Berdasarkan laporan keuangan yang dikeluarkan sepanjang semester 1 2020, mereka harus mengalami kerugian sebesar US$ 6.7 miliar berbanding terbalik dengan periode tahun lalu dimana BP mendapatkan keuntungan sebesar US$ 2.8 miliar.Penyebab meruginya BP adalah lemahnya harga minyak dan gas dunia, margin yang rendah dari produk kilang, pemangkasan produksi minyak dan gas, serta rendahnya permintaan untuk bahan bakar dan juga pelumas.

BACA JUGA   Trade-Off Penambangan Nikel di Kepulauan Raja Ampat: Antara Ekonomi, Sosial, Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan

Chevron, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat dalam laporan keuangannya di semester 1 2020 juga mengalami kerugian sebesar US$ 8.3 miliar, dengan saham yang terdilusi sebesar US$ 4.44 per lembarnya. Capaian ini berbeda dengan semester 1 2019, dimana Chevron mendapatkan keuntungan sebesar US$ 4.3 miliar. Dalam laporan tersebut, CEO Chevron Michel K Wirth mengatakan bahwa melemahnya ekonomi karena pandemik Covid-19 ini berdampak pada melemahnya harga produk dan juga melemahnya permintaan.

Sementara Pertamina sendiri, berdasarkan Laporan Keuangan semester 1 2020, mengalami kerugian sebesar US$ 767.2 juta atau setara dengan Rp 11.33 triliun yang berarti jauh lebih kecil jika dibanding dengan perusahaan migas dunia yang lain. Namun perlu diakui bahwa pandemik Covid-19 ini bisa dikatakan kondisi force majeure dimana tidak ada satupun pihak yang siap akibat dampak dari Covid-19 ini.

Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Seriawan, jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina saat ini sudah sangat sigap dan tanggap dalam menjalankan perusahaan di tengah kondisi pandemik ini.

“Kita tidak bisa membandingkan satu periode kepemimpinan dengan kepemimpinan saat ini, karena permasalahan, kendala dan tantangan yang dihadapi pasti berbeda. Yang pasti semua yang pernah dan sedang menduduki jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina pasti melakukan usaha yang terbaik dalam rangka memajukan Pertamina,” kata Mamit di Jakarta, Selasa (25/8/2020).

BACA JUGA   Investor PTBA Senyum Lebar, Dividen Rp3,82 Triliun Siap Dicairkan!

Ia mengatakan, bahwa dengan kondisi yang dialami saat ini, Pertamina mengalami tekanan yang luar biasa terutama dari sisi keuangan. Ada beberapa point yang menyebabkan beban keuangan Pertamina bertambah, diantaranya turunnya pendapatan dan penjualan yang mencapai 20%.

Penurunan ini, mengkoreksi pendapatan Pertamina dari US$ 25,5 miliar pada semester 1 (satu) 2019 hanya menjadi US$ 20.4 miliar. Dampak dari Covid-19 dimana harga minyak dunia mengalami penurunan yang drastis sehingga ICP juga terkoreksi sangat dalam menyebabkan pendapatan dari domestik migas Hulu terjun 21% menjadi US$ 16.5 miliar dari US$ 20.9 miliar pada 2019.

Selain itu, kata dia, pergerakan mata uang rupiah yang terdepresiasi cukup dalam sepanjang semester 1 membuat Pertamina merugi selisih kurs sebesar US$ 211.8 juta atau minus 428% jika dibanding periode 2019 yang membukukan keuntungan sebesar US$ 64.5 juta.

“Penjualan sektor hilir yang terpukul sampai 13% dari periode sebelumnya. Saat ini secara nasional konsumsi BBM hanya mencapai 117 ribu KL jauh lebih rendah dibandingkan 2019 dimana konsumsi BBM sebesar 135 ribu KL,” paparnya.

BACA JUGA   BAg Gandeng HDF Energy Indonesia untuk Kaji Potensi Kapal Bertenaga Hidrogen

Tidak hanya itu, lanjut dia, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73 juga menambah beban keuangan Pertamina. “Melalui implementasi PSAK 73 ini, semua barang yang disewa dalam waktu jangka panjang harus di treatment sebagai aset sehingga angka depresiasi yang ditanggung Pertamina angkanya jauh lebih tinggi dari harga sewanya. Beban keuangan yang sudah terdampak akibat implementasi PSAK 73 ini berkisar di angka US$ 400 juta,” katanya.(ERT/rif)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *