


Jakarta, Situsenergy.com
Peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia), Salamudin Daeng mengungkapkan, bahwa sejaa awal publik sudah mencurigai Holding BUMN Migas antara Pertamina dan PGN akan kisruh. Pasalnya, Holding tersebut sarat dengan permainan oligarki yang bertarung dalam sektor migas.
“Muara dari konflik ini nantinya pasti merugikan masyarakat karena harus membayar gas dengan harga mahal,” kata Salamudin dalam keterangan resminya yang diterima Situsenergy.com di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, sebenarnya sehat awal publik sudah mengingatkan bahwa pendirian holding harus dimulai dengan regulasi atau perundang-undangan yang kuat dan jelas. “Jadi tidak boleh didasarkan pada keinginan sesaat pemerintah. Karena peraturan yang lemah yang mendasari Holding BUMN akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak tertentu. Jika dilandasi oleh UU Holding maka peluang moral hazard dapat diminimalisir,” paparnya.
Dalam sistem yang ada sekarang, kata dia, bisnis gas memiliki rantai yang panjang untuk mencapai end user. “Dalam rantai bisnis dari hulu sampai ke hilir itu akan banyak aktor-aktor politik bermain. Mereka membentuk oligarki untuk mengambil keuntungan bagi koneksi dan jaringan bisnis mereka.
Oligarki ini adalah orang-orang yang berkuasa baik di pemerintahan maupun di DPR,” ungkap Salamudin.
Lebih jauh Ia mengungkapkan, permainan oligarki yang paling menonjol di dalam BUMN gas adalah peran para trader swasta.
“Mereka memgambil keuntungan cukup besar dalam proses distribusi gas yang yang dihasilkan oleh BUMN baik oleh Pertamina Gas (Pertagas), maupun oleh Perusahaan Gas Negara (PGN),” ujarnya.
“Sekarang PGN dan Pertagas tengah digabungkan dalam skema yang tidak clear, cenderung tumpang tindih dan mekanisme yang berubah ubah dari rencana awal. Jadi secara tehnis dan detail hanya pemerintah yang tau,” tambah dia.
Tapi intinya, kata dia, akan terjadi bongkar pasang BUMN baik organisasinya maupun orang-orangnya. “Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa bongkar pasang dalam perusahaan BUMN semacam ini pasti akan menimbulkan gesekan keras. Karena akan membawa konsekuensi pergantian pemain khususnya trader gas,” tukasnya.
Menurut dia, trader pemain gas bisa ada di tubuh mana pun. Para trader pemain gas ini akan sangat bergantung oleh penguasa pada badan usaha masing-masing.
“Sementara di Pertagas para pemainnya bisa ditentukan oleh pemerintah sendiri sebagai pemegang saham 100 persen Pertagas,” ujarnya.
“Tentu saja kedua belah pihak akan mempertahankan kepentingannya masing-masing, sehingga kondisi kedua BUMN ini jelas akan chaos. Kalau berdamai maka BUMN migas akan jadi lahan jarahan rame -rame. Itulah akibat dari kebijakan yang tidak dilandasi oleh tujuan yang jelas,” ketusnya.
Sebetulnya, kata dia, jika memiliki tujuan yang benar seharusnya pemerintah fokus mengatasi kurang efektif dan efisiennya distribusi gas ke end user. “Sumber masalahnya adalah peran para trader yang sangat dominan. Jadi kalau mau memperbaiki sistem pengelolaan gas maka peran trader dalam rantai bisnis ini diminimalisir. Seharusnya BUMN bisa mengerjakan sendiri distribusi gas sampai ke hilir. Namun semua itu harus didasarkan pada UU,” tukasnya.
“Kalau menggunakan sistem yang ada sekarang, ditambah mekanisme akuisisi yang tidak jelas, maka hanya akan menjadi pertarungan antara oligarki, yang paling kuat akan menyingkirkan yang lain. Demikian dengan yang menolak dan menerima berpotensi ditunggangi oleh kepentingan yang bermain,” pungkasnya.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.