Home MIGAS Dibalik Layanan NATARU IdulFitri Dan Ketika Keandalan Menjadi “Tak Terlihat” Minim Apresiasi
MIGAS

Dibalik Layanan NATARU IdulFitri Dan Ketika Keandalan Menjadi “Tak Terlihat” Minim Apresiasi

Share
Dibalik Layanan NATARU IdulFitri Dan Ketika Keandalan Menjadi “Tak Terlihat” Minim Apresiasi
Share

Oleh:
Sofyano Zakaria

Pengamat Kebijakan Energi

Setiap kali Negeri ini memasuki periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) maupun Idulfitri, ada satu kekhawatiran yang nyaris selalu muncul di ruang publik: apakah bahan bakar minyak (BBM) dan Elpiji 3”kilogram akan cukup? Kekhawatiran ini adalah hal wajar karena Mobilitas masyarakat melonjak drastis, konsumsi energi meningkat tajam, dan tekanan pada sistem distribusi nasional berada pada titik tertinggi sepanjang tahun.

Namun menariknya, hampir setiap tahun kekhawatiran tersebut berakhir dengan pola yang sama: pasokan BBM dan Elpiji 3kg tetap tersedia, antrean besar relatif terkendali, dan aktivitas masyarakat berlangsung normal. Di balik “kenormalan” itulah terdapat satu fakta penting yang sering luput disadari yakni keberhasilan kerja sistemik dan konsisten dari BUMN Pertamina.

Ironisnya, keberhasilan tersebut justru membuat layanan Pertamina nyaris dianggap sebagai sesuatu yang wajar, otomatis, bahkan sekadar kewajiban rutin yang tidak lagi membutuhkan apresiasi publik.

Ketika pasokan lancar, nyaris tak ada pujian. Namun ketika terjadi gangguan kecil sekalipun, kritik bahkan “bully” segera membanjir. Inilah paradoks pelayanan publik di sektor energi: sukses yang sunyi, kegagalan yang gaduh.

Natal, Tahun Baru, dan Lebaran bukanlah periode biasa bagi sektor energi. Pada masa-masa ini, konsumsi BBM,terutama bensin dan solar selalu meningkat signifikan seiring arus mudik, wisata, dan logistik.
Konsumsi Elpiji 3kg juga melonjak karena aktivitas rumah tangga dan UMKM meningkat tajam.

Dalam konteks kebijakan energi, periode ini dapat disebut sebagai “stress test” nasional. Tidak hanya soal ketersediaan stok, tetapi juga keandalan rantai pasok dari hulu ke hilir: kilang, impor, terminal BBM, depot LPG, transportasi darat dan laut, hingga ribuan SPBU dan pangkalan LPG di pelosok negeri.

Bahwa sistem ini nyaris selalu bekerja dengan baik menunjukkan dua hal penting. Pertama, perencanaan Pertamina berbasis data historis dan proyeksi permintaan yang matang. Kedua, kapasitas operasional dan manajerial Pertamina telah teruji menghadapi lonjakan konsumsi ekstrem dalam waktu singkat.

Ini bukan kerja reaktif. Tentunya, jauh sebelum Nataru dan Lebaran tiba, Pertamina pasti sudah melakukan build-up stock, pengamanan logistik, penambahan armada, hingga penguatan manajemen risiko. Bahkan skenario cuaca buruk, kemacetan jalur distribusi, hingga gangguan geopolitik global turut diperhitungkan.

KIta tentu paham bahwa diantara semua produk energi, Elpiji 3kg adalah yang paling sensitif secara sosial dan politik.
Tabung “melon” ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat kecil. Sedikit saja terjadi kelangkaan atau kenaikan harga di tingkat pengecer, gejolak sosial bisa muncul.

Keberhasilan Pertamina menjaga ketersediaan Elpiji 3 kg pada periode hari besar keagamaan sesungguhnya bukan hal sepele. Distribusinya melibatkan jutaan tabung, ratusan ribu pangkalan, dan pola konsumsi yang sering kali sulit diprediksi karena dipengaruhi tradisi lokal, budaya, dan aktivitas ekonomi informal.

Lebih jauh, elpiji 3 kg adalah produk penugasan negara. Margin bisnisnya sangat terbatas, bahkan secara komersial tidak menarik. Namun justru di sinilah letak nilai strategis peran Pertamina: menjalankan mandat pelayanan publik tanpa mengorbankan stabilitas pasokan nasional.

Dalam perspektif kebijakan energi, ini adalah contoh nyata “energy security” dan Kepedulian Sosial.
Ini juga adalah bukti bahwa Negara hadir melalui BUMN-nya, dan Pertamina menjadi instrumen utama kehadiran tersebut.

Yang Perlu dipertanyakan juga, mengapa selalu berhasil?
Keberhasilan Pertamina bukan hasil kebetulan. Ada setidaknya empat faktor kunci yang menjelaskan konsistensi tersebut.

Pertama, skala dan integrasi sistem. Pertamina menguasai hampir seluruh rantai nilai energi nasional. Integrasi ini memungkinkan koordinasi cepat lintas fungsi.

Kedua, pengalaman panjang. Puluhan tahun menghadapi siklus Nataru dan Lebaran membentuk pengalaman institusi yang kuat.
Dan tentunya, pola permintaan, titik rawan distribusi, hingga perilaku konsumen sudah terpetakan dengan baik.

Ketiga, dukungan kebijakan negara. Pemerintah, melalui regulator seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memberikan kerangka kebijakan yang memungkinkan Pertamina melakukan langkah antisipatif, termasuk penugasan khusus dan fleksibilitas operasional.

Keempat, sumber daya manusia di lapangan. Ribuan pekerja Pertamina tetap siaga saat masyarakat libur. Mereka bekerja di kilang, terminal, SPBU, dan jalur distribusi dalam kondisi tekanan tinggi. Aspek ini sering kali terlupakan dalam narasi publik.

Pertanyaan krusialnya: mengapa kerja sebesar ini nyaris tidak mendapat apresiasi?

Jawabannya terletak pada psikologi publik terhadap layanan dasar. Energi, seperti listrik, BBM, dan gas, dipersepsikan sebagai “hak istimewa publik” bukan “pencapaian” hasil dari kerja keras bumn Pertamina. Ketika tersedia, dianggap normal. Ketika terganggu, dianggap kegagalan.

Selain itu, Pertamina memikul beban ekspektasi ganda. Sebagai BUMN, ia dituntut melayani publik. Sebagai korporasi, ia dituntut efisien dan profesional. Kombinasi ini membuat keberhasilan pelayanan sering dianggap sekadar “sudah seharusnya”.

Di sisi lain, komunikasi publik tentang kompleksitas kerja energi juga masih terbatas. Publik jarang diajak memahami bahwa menjaga pasokan BBM dan LPG di negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau adalah pekerjaan raksasa yang penuh risiko.

Sejatinya , Apresiasi bukan soal pujian kosong, melainkan pengakuan rasional terhadap kerja sistemik yang berhasil. Tanpa apresiasi, ada risiko munculnya kelelahan institusional dan melemahnya kepercayaan publik terhadap BUMN strategis.

Sudah saatnya masyarakat dan pembuat opini melihat layanan energi tidak hanya dari kacamata konsumen, tetapi juga dari perspektif kebijakan publik dan ketahanan nasional. Ketika BBM dan LPG tersedia di Nataru dan Lebaran, itu berarti negara bekerja.

Keandalan Pertamina justru adalah aset nasional yang harus dijaga. Ia mungkin tidak selalu terlihat, tetapi dampaknya nyata: roda ekonomi berputar, tradisi mudik terjaga, dan kehidupan sosial berjalan normal.

Dalam dunia kebijakan energi, tidak ada keberhasilan yang benar-benar “biasa”. Jika selama ini layanan Pertamina terasa biasa, itu justru karena sistemnya bekerja luar biasa dengan senyap.

Dan mungkin, sudah waktunya keberhasilan yang senyap itu mendapatkan pengakuan yang layak. []

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Pertamina Tambah Ruang Baca Publik, Layanan Informasi Kini Lebih Edukatif dan Terbuka

Jakarta, situsenergi.com Akses informasi publik kini tidak lagi sekadar soal transparansi, tetapi...

BBM Tembus Takengon Lewat Jalur Darat, Pertamina Kejar Pemulihan Wilayah Terisolir Aceh

Aceh, situsenergi.com Di tengah tekanan pascabencana banjir dan longsor, distribusi energi akhirnya...

Libur Nataru Jalan Terus, 38 Rig PDSI Tetap Ngebut Jaga Produksi Migas

Jakarta, situsenergi.com Libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) tak menghentikan aktivitas hulu...

Tutup 2025, Pertamina Lepas Pengapalan Perdana 1 Juta Barel Minyak dari Aljazair ke RI

Jakarta, situsenergi.com Menjelang akhir 2025, PT Pertamina Internasional EP (PIEP) mencetak momen...