Logo SitusEnergi
Reaktor Nuklir Mini, Ambisi Maksimal: SMR dan Ketahanan Energi yang Masih Dalam Draft Reaktor Nuklir Mini, Ambisi Maksimal: SMR dan Ketahanan Energi yang Masih Dalam Draft
Oleh: Andi N Sommeng(Guru Besar UI, Pemerhati Kebijakan Invensi Teknologi dan Energi-Mantan Kepala BPH Migas dan Dirjen Gatrik) Di tengah tuntutan transisi energi dan... Reaktor Nuklir Mini, Ambisi Maksimal: SMR dan Ketahanan Energi yang Masih Dalam Draft

Oleh: Andi N Sommeng
(Guru Besar UI, Pemerhati Kebijakan Invensi Teknologi dan Energi-Mantan Kepala BPH Migas dan Dirjen Gatrik)

Di tengah tuntutan transisi energi dan kecemasan akan krisis energi yang akan rutin hadir bahkan saat cadangan pasokan diklaim aman, para pemangku kepentingan sektor energi, kembali melirik satu teknologi lama yang dibungkus dengan jargon baru: Small Modular Reactor, atau yang akrab disingkat SMR.

Teknologi reaktor nuklir skala kecil ini disebut-sebut sebagai solusi masa depan: aman, efisien, modular, dan—yang paling menarik—pasif keselamatannya. Artinya, SMR dirancang sedemikian rupa agar bisa “mendinginkan diri” tanpa intervensi manusia dan tanpa bantuan listrik eksternal. Cukup konveksi alami, gravitasi, dan sedikit keberuntungan teknis.

Namun, seperti banyak teknologi energi lainnya di Indonesia, SMR tampaknya lebih dulu dibangun di atas panggung seminar ketimbang di atas tapak tanah. Presentasi demi presentasi memamerkan gambar NuScale dari Amerika, desain SMART dari Korea Selatan, hingga sistem floating reactor ala Rusia, namun pembangunan nyatanya masih berada di zona “kajian lintas kementerian”.

Potensi Strategis, Bukan Sekadar Slide

BACA JUGA   Teknologi Pisau Bermata Dua, Menyongsong Blokchain, Web3, NFT, dan Kontrak Pintar di Bawah PP No. 28 Tahun 2025

Padahal, secara teknis dan strategis, SMR memiliki potensi yang signifikan untuk memperkuat ketahanan energi nasional:

  1. Dapat ditempatkan di wilayah terpencil, pulau-pulau kecil, dan kawasan industri tanpa ketergantungan pada jaringan transmisi raksasa.
  2. Bersifat rendah karbon, mendukung target net zero emission tanpa perlu menutup PLTU semalam.
  3. Mampu beroperasi mandiri selama bertahun-tahun tanpa isi ulang bahan bakar, menjadikannya sangat cocok untuk daerah rawan logistik.
  4. Multifungsi: selain listrik, dapat digunakan untuk desalinasi air laut, pemanasan distrik, hingga produksi hidrogen.
    Jika dikelola dengan baik, SMR bisa menjadi pelengkap penting bagi energi terbarukan yang bersifat intermiten. Ia bisa menjadi tulang punggung pasokan dasar (base-load) yang bersih dan stabil—sesuatu yang tidak bisa dijanjikan oleh angin dan matahari sepanjang tahun.

Dari Rusia hingga Korea, SMR Sudah Bergerak

Beberapa negara telah memanfaatkan SMR dengan hasil nyata:

  1. Rusia telah mengoperasikan Akademik Lomonosov, reaktor nuklir terapung pertama di dunia yang menyuplai listrik ke wilayah Kutub Utara. Efektif dan stabil hingga hari ini.
  2. Amerika Serikat, melalui NuScale, telah mendapat lisensi desain penuh, dengan tingkat keselamatan yang mampu bertahan 72 jam tanpa intervensi manusia atau daya eksternal.
  3. Korea Selatan, dengan SMART, telah memasarkan desain IPWR ke negara lain, dengan validasi keselamatan tinggi.
  4. Cina sedang menyelesaikan ACP100 di Hainan, sebagai pilot proyek SMR berbasis teknologi PWR terintegrasi.
  5. Argentina masih melanjutkan pembangunan CAREM, desain SMR generasi awal di Amerika Latin.
BACA JUGA   Artisanal Migas, Antara Kearifan Lokal dan Legalitas Negara

Sementara itu, Indonesia masih menimbang. Bappenas mengkaji, Bapeten mengharmonisasi, Kemenko memetakan, dan Kementerian ESDM, ‘insyaallah akan menjadwalkan’ studi banding ke negara-negara tadi. Semua berjalan, tapi belum sampai ke tiang pancang.

Bukan Soal Teknologi, Tapi Niat dan Tata Kelola
Jika teknologi SMR sudah terbukti, mengapa Indonesia belum membangunnya?

Masalah utamanya bukan pada reaktornya, tetapi pada ekosistem pendukungnya: regulasi yang belum adaptif, kurangnya kerangka pembiayaan, dan ketiadaan kepemimpinan teknokratik yang visioner. Kita kerap terjebak dalam euforia wacana tanpa keberanian mengeksekusi. Dalam hal energi, kita terlalu sering mengganti strategi, tapi tidak pernah mengganti kebiasaan menunda.

Ketahanan energi bukanlah hasil dari slogan atau simulasi PowerPoint. Ia lahir dari keberanian mengambil keputusan berbasis ilmu dan risiko yang dikendalikan, bukan risiko yang didiamkan.

Pengimbang Logis
SMR, jika ditempatkan dengan tepat, dapat menjadi peluru kendali bagi visi kemandirian energi nasional. Ia bukan solusi tunggal, tapi bisa menjadi pengimbang logis di tengah polarisasi antara energi fosil dan EBT.

Namun bila terus-menerus diperlakukan sebagai materi seminar, SMR hanya akan menjadi bagian dari parade teknologi yang melintas tanpa pernah menyentuh tanah.
Dan saat itu terjadi, SMR kita hanya akan dikenal sebagai Slide Modular Rencana, atau Semua Menunggu Regulasi atau bisa juga Semua Masih Ragu bukan sebagai Small Modular Reactor. Sebab energi yang kuat bukan soal siapa yang punya reaktor, tapi siapa yang berani menyalakannya. [•]

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *