

Begini Dampak Krisis Energi Inggris Dan China Bagi Indonesia
ENERGI October 9, 2021 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergi.com
Inggris dan China saat ini mengalami krisis energi akibat pasokan energi primer yang dibutuhkan mengalami ketersendatan. Lalu, apakah kondisi ini bisa merembet ke Indonesia?, jawabannya adalah Indonesia masih relatif aman, karena terbantu dengan potensi komoditas yang ada di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat Energi, Widhyawan Prawiraatmadja kepada Situsenergi.com, saat dihubungi pada Jumat (8/10/2021) kemarin.
Bagaimana bisa Indonesia relatif aman, begini penjelasan Widhyawan yang juga merupakan dosen praktisi di Program MBA, SBM-ITB.
Jika dilihat dari akar masalahnya, menurut Widhyawan, krisis energi di Inggris terjadi karena beberapa sebab. Namun pada intinya adalah terjadi karena adanya disrupsi pasokan, yaitu gas yang biasanya mengalir dari Rusia ke Eropa yang saat ini mengalami kendala.
“Kebetulan Infrastruktur untuk penyimpanan gas di Inggris terbatas, sehingga kondisi kekurangan pasokan (shortage) di Inggris lebih parah dibanding negara Eropa lainnya. Kebetulan musim panas di Eropa lebih panas dari biasanya, jadi kebutuhan energi meningkat (untuk pendinginan/AC),” jelas Widhyawan.
Kemudian karena pasokan gas dari Rusia melalui pipa berkurang, maka secara otomatis gas diimpor dalam bentuk LNG dari daerah lain, termasuk dari kawasan Asia Pasifik. Sementara pada saat yang sama, China yang dalam proses pemulihan ekonomi juga membutuhkan sumber energi primer yang besar.
“Masalah bilateral antara China dan Australia juga telah membatasi impor batubara dari negara tersebut,” ungkapnya. .
Dengan kondisi di atas, maka harga LNG di Asia pun kemudian menjadi naik karena LNG dijadikan energi alternatif untuk pengganti pasokan batubara yang saat ini masih menjadi energi primer bagi China.
“Jadi sebenarnya ini adalah masalah pemenuhan pasokan yang demand nya melonjak. Semua tercermin dengan naiknya harga. Tentunya pasar akan bereaksi dan pasokan pun akan bertambah tapi butuh waktu,” tuturnya.
Menurut Widhyawan akan terjadi penyesuaian, bahkan harga batubara juga saat ini sudah terkoreksi secara relatif, walaupun masih cukup tinggi. Pada saat nanti pasokan bisa kembali pulih, harga akan kembali terkoreksi.
“Kapan? Tidak ada yang bisa memperkirakan dengan pasti. Ada beberapa isu yang menyebabkan ketidakpastian. Misal, apakah musim dingin nanti cuaca lebih dingin dari biasanya. Kalau iya, kebutuhan energi akan tetap tinggi,” jelas Widhyawan.
Sementara itu, dengan harga gas yang tinggi, mau tidak mau hal ini akan berimbas juga pada harga minyak. Harga minyak akan sangat tergantung juga pada OPEC+ (Negara-negara produsen minyak + Rusia).
“OPEC+ belajar dari kejadian sebelumnya, dimana pada saat mereka menaikkan pasokan, harga minyak langsung turun relatif tajam. Jadi kali ini mereka cukup hati-hati. Tapi harga minyak USD80 per barel tidak setajam tingginya harga spot LNG (Liquified Natural Gas). Harga minyak USD80 per barel setara dengan harga LNG sekitar USD10-12/mmbtu. Tapi saat ini harga LNG sudah di atas USD20/mmbtu. Jadi kalau menurut saya harga LNG sudah kelewat tinggi, dan seharusnya akan terkoreksi. Kapan? Sekali lagi tidak yang secara pasti bisa meramalkan,” ujar Widhyawan merinci.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Widhyawan, sebagai negara eksportir batubara yang cukup besar, tentu Indonesia sangat diuntungkan dengan adanya kenaikan harga. Sementara itu, sebagian dari LNG Indonesia juga ada yang di ekspor, tentunya hal ini juga menguntungkan. Namun demikian, tekanan berat memang tak bisa dihindari dari komoditas minyak mentah, kenaikan harga BBM, dan LPG, karena sebagian besar kebutuhan Indonesia memang masih masih impor.
“Terutama LPG yang ketergantungan impornya sudah mendekati 70 persen. Impor sekitar 6 juta ton per tahun untuk kebutuhan sekitar 8,8 juta ton per tahun. Untuk kepentingan nasional, kita berharap harga minyak tidak terlalu tinggi, karena akan meningkatkan beban Pemerintah berupa subsidi yang lebih tinggi, karena ada harga yang ditentukan Pemerintah, yang tidak mudah untuk disesuaikan, terutama di tengah kondisi Covid-19 ini,” kata dia.
Sebagai tambahan, karena kinerja ekspor Indonesia belakangan cukup kuat, maka neraca dagang surplus sudah berlangsung cukup lama dan cadangan devisa Indonesia mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah, lebih dari USD140 miliar. Hal ini kemudian membuat rupiah cukup kuat, sehingga kondisi ini cukup menolong di tengah kondisi Indonesia yang masih ketergantungan untuk impor BBM dan LPG.
“Jadi harga energi yang diimpor sedikit tertolong dengan rupiah yang kuat,” pungkasnya. (SNU)
No comments so far.
Be first to leave comment below.