

Memahami Posisi BUMN Pertamina Dan Menyoal Kontribusi Korporasi Swasta
ENERGI August 28, 2020 Editor SitusEnergi 0

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Pada Semester I Tahun 2020, Pertamina memang mengalami kerugian sejumlah Rp 11,13 Triliun atau setara US$ 767,92 Juta setelah pada tahun-tahun sebelumnya (paling tidak kurun waktu 6 tahun) memperoleh laba dalam kegiatan operasi yang normal. Sejak pemerintahan Orde Baru dan dalam aturan per-Undang-Undangan yang lebih mendukung BUMN Pertamina, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara yang memberikan kewenangan cukup besar kepada Pertamina dalam mengusahakan minyak dan gas bumi di Indonesia: Yaitu, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, hingga pengangkutan dan penjualan serta dapat menjadi solusi membangkitkan kembali Pertamina sebagai perusahaan yang besar.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah entitias ekonomi dan bisnis yang dibentuk oleh negara dengan latar belakang sejarah panjang perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme yang didahului penguasaan ekonomi oleh swasta (asing) melalui korporasi VOC atau Kapitalisme. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan (stakeholders) dan publik harus memahami betul tugas pokok dan fungsi BUMN ini dalam konteks logis sejarah kolonialisme ini dan adanya perintah konstitusi, UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Bahwa, BUMN yang merupakan penguasaan negara di sektor ekonomi dan bisnis ini tidak saja merupakan sebuah korporasi dengan tujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk memperluas cakupan ruang gerak bisnis perusahaan BUMN saja, melainkan juga untuk memberikan pelayanan publik serta kemakmuran bagi semua orang, bukan orang per orang. Posisi BUMN sangat berbeda secara diametral dengan perusahaan atau korporasi swasta yang hanya mengejar untung, dan itu dapat dibuktikan saat wabah pandemi covid 19 dialami oleh bangsa dan negara Indonesia. Korporasi swasta nyaris tidak terlihat kontribusinya pada masyarakat yang terdampak oleh pandemi covid 19, malah korporasi mendesak pemerintah mengeluarkan stimulus untuk mereka
Beban BUMN Dan Swasta
Kinerja Pertamina tidak perlu diragukan dalam situasi dan kondisi yang normal dengan perolehan laba yang terus menerus dihasilkannya. Pada Tahun 2019, Pertamina memperoleh laba bersih sebesar US$2,53 Miliar atau setara Rp 35,8 Triliun, dan pada Tahun 2018, Pertamina juga membukukan laba sebesar US$ 2,53 Miliar atau setara Rp 35,99 Triliun. Sementara, laba Pertamina Tahun 2017 dibukukan sejumlah US$ 2,54 Miliar (kurs US$1 r= Rp 14.000), dan perseroan berhasil mencatatkan laba bersih pada Tahun 2016 sebesar US$3,15 Miliar atau Rp 42 Triliun (dengan kurs Rp 13.344 per dollar AS). Bahkan, saati anjloknya harga minyak dunia sepanjang Tahun 2014, PT Pertamina (Persero) masih mampu mencetak laba bersih senilai US$ 1,42 Miliar atau setara Rp 18,9 Triliun (estimasi kurs Rp 13.500 per dolar AS) pada periode 2015 serta menyetor dividen ke negara senilai Rp 6,8 Triliun.
Setidaknya, kerugian yang dialami oleh Pertamina terdapat pada pengaruh harga keekonomian minyak dunia yang terus fluktuatif ditambah serangan pandami covid 19 serta ketiadaan kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak akomodatif dengan beban penugasan yang diberikan oleh pemerintah. Kerugian yang dialami Pertamina bisa dimaklumi, sebab beban-beban diluar operasionalnya yang terlalu besar dibanding korporasi swasta. Salah satu kewajiban yang tidak terdapat pada korporasi swasta, yaitu tidak menyerahkan hasil labanya kepada negara, tidak mengikuti ketentuan harga BBM secara mutlak yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. Sementara itu, Pertamina sebagai BUMN harus menyetorkan berbagai kewajibannya sesuai ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2003. Sebagaimana ketentuan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation) dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN, termasuk dalam hal ini adalah kajian kelayakan (feasibility) finansial atau margin bagi BUMN, jika kebijakan harga tersebut tak layak, maka Pemerintah harus mengkompensasi intervensi politik dalam penetapan harga BBM sebagai misal.
Selain mengikuti ketentuan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah dan menjadi bagian yang mendukung penyelenggaraan fungsi kemanfaatan umum tersebut, maka BUMN juga terikat dengan ketentuan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 yang mengharuskan Pertamina untuk mengikuti kaidah-kaidah organisasi korporasi. Artinya, selain tugas PSO di satu sisi, Pertamina juga harus mampu memenuhi tuntutan pemegang saham dalam memenuhi sasaran (target) komersial, menghasilkan laba, membagi hasil laba (dividen), membayar pajak ke negara dan mengalokasikan dana sebagai bagian dari tangggungjawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR).
Dengan 2 (dua) tanggungjawab yang tidak ringan itu, dibanding korporasi swasta yang hanya terikat pada UU PT, maka posisi BUMN Pertamina selalu dalam posisi beban lebih berat apabila adanya intervensi politik dalam penetapan harga jual produk atau jasa. Dalam konteks opini harga jual BBM Pertamina yang lebih mahal (walau faktanya lebih murah) dan menjadi salah satu komponen biaya yang menyebabkan harga produk lain terpengaruh atau menjadi mahal, telah dijawab Pertamina dengan berkorban untuk sesama BUMN, bahkan untuk kepentingan darurat atau musibah secara nasional. Pertamina telah menjadi solusi bagi terbangunnya sinergi BUMN yang patut diapresiasi oleh publik karena mampu menghilangkan ego korporasinya dalam membantu rakyat Indonesia seluruhnya dan juga “saudara”nya sesama, seperti dalam kasus BUMN Garuda Indonesia (walau tak 100 persen lagi milik negara) dan mendukung Presiden Republik Indonesia dalam melayani masyarakat konsumen supaya tidak terbebani harga tiket pesawat yang mahal.
Pertamina juga rutin menyetorkan dividen sebagai bagian laba yang diperoleh secara periodik ke kas negara pada Tahun 2019 sejumlah Rp 181,5 Triliun. Bahkan, dan ini lebih tidak bisa diterima akal sehat, yaitu Pertamina yang notabene perusahaan milik negara harus membayarkan bonus tanda tangan (signature bonus) kepada pemerintah untuk mendapatkan blok-blok terminasi. Pertamina sudah melunasi sudah melunasi bonus tanda tangan (signature bonus) pengelolaan Blok Rokan sebesar US$ 784 juta. Pembayaran bonus tanda tangan dilakukan pada 21 Desember 2018 lalu. Termasuk pengelolaan Blok Mahakam pasca-2017 dengan pembayaran signature bonus dari PT Pertamina (Persero) kepada negara, yang besarnya mencapai US$ 41 juta.
Namun demikian, ada baiknya pula Pertamina “belajar” pada sebagai contoh misalnya, Sinopec (kependekan dari China Petroleum and Chemical Corporation) yang merupakan perusahaan minyak, dan kimia Republik Rakyat China. Sinopec juga salah satu perusahaan minyak terbesar di Republik Rakyat China, kemudian membentuk Grup Sinopec, yang bergerak dalam usaha atau bisnis sektor minyak dan kimia. Sinopec saat ini, raksasa migas nomor satu dunia, pada kuartal I 2020 membukukan pendapatan total sebesar 555,50 juta yuan China atau sekira US$ 80,3 juta. Padahal, pada periode yang sama di Tahun 2019, perseroan itu mendapat 717,57 juta yuan China.
Dalam kondisi mengalami penurunan penjualan sebesar 22,6 persen, Sinopec tetap meraih laba bersih, dan lebih mengejutkan, laba bersih yang diterima perusahaan mengalami peningkataan dari 14,76 juta menjadi 19,78 juta yuan China. Perusahaan minyak dan gas lainnya, yaitu perusahaan Inggris-Belanda, Royal Dutch Shell yang melaporkan laba bersih sebesar US$638 Juta untuk Kuartal II 2020. Sementara laba bersih perusahaan sebesar US$3,5 Miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya (2019), sementara, pada Kuartal I di tahun yang sama, Shell membukukan laba US$2,9 Miliar.
Walaupun begitu, tidak bisa kemudian menyimpulkan bahwa kerugian yang dialami Pertamina sebagai perusahaan negara sebagian besar dan semata-mata oleh kinerja manajemennya. Sangat mungkin kerugian yang dialami pada Semester I-2020, sangat mungkin oleh beban-beban tak masuk akal serta diperburuk oleh faktor penjualan yang menurun drastis, sehingga BUMN ini memikul beban terlalu besar dan berat. Hal mana, posisi ini tidak dialami oleh korporasi swasta yang hanya mementingkan kepentingan perusahaan semata dan kemakmuran para pemilik modal, bukan rakyat dan negara.[•]
No comments so far.
Be first to leave comment below.