


Jakarta, situsenergy.com
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8/2020 dinilai hanya akan menjadikan PT PGN sebagai sapi perahan untuk menyusui industri-industri yang dianak emaskan dalam Permen ESDM tersebut.
Penilaian ini disampaikani mantan anggota Komisi VI DPR RI 2014-2019, Inas Nasrullah Zubir saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (27/4) malam. “Pasal 3 Permen tersebut menetapkan harga gas menjadi USD 6 per MMBTU di plantgate. Dan itu artinya bahwa biaya transmisi dan distribusi ditanggung oleh badan usaha penyalur gas bumi,” kata Inas.
Menurut dia, Permen ESDM tersebut akan menjadikan PGN yang bukan lain adalah BUMN beserta anak usaha-nya yang menguasai 97% usaha penyaluran gas bumi di Indonesia, sebagai sapi perahan untuk menyusui industri-industri yang dianak emaskan dalam Permen ESDM dimaksud. “Ini tidak adil, karena Pemerintah seperti mau menjadikan PGN dan anak usahanya menjadi sapi perahan,” katanya.
“Perlu diketahui bahwa panjang pipa yang dimiliki PGN dan anak usahanya, antara lain pipa transmisi sepanjang 4751 km (98% dari pipa transmisi gas bumi nasional) dan panjang pipa distribusi 5.418 km (89 % dari pipa distribusi gas bumi Nasional). Sisanya 11% dimiliki swasta,” tambah dia.
Ia mengatakan, jika nanti biaya transmisi dan distribusi ini tidak lagi dapat ditutupi dari harga di plantgate yakni USD 6, maka dipastikan PGN dan anak usahanya akan mengalami kerugian besar apalagi dengan kondisi pamdemi covid-19 pada saat ini. “Dan ini akan membuat PGN dan anak usahanya tidak akan mampu lagi merawat pipa transmisi dan pipa distribusi yang cukup panjang tersebut,” tandas Inas.
Menurut Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Hanura ini, jangan sampai PGN dan anak usahanya tidak mampu melaksanakan perawatan pipa-pipa tersebut yang pada akhirnya justru menjadi mimpi buruk karena terjadi kerusakan pipa-pipa secara masif. “Selain itu jangan lagi berharap ada pertumbuhan pipa distribusi dan transmisi karena anggaran yang minus,” katanya.
Lebih jauh ia mengatakan, dalam pengelolaan bisnis Gas Bumi perlu diperhatikan keekonomiannya dan keberlangsungannya. “Karena badan usaha harus melaksanakan kegiatan operation and maintenance terhadap infrastruktur gas bumi serta pengembangan infrastruktur gas bumi sesuai target yang ada di dalam Renduk Infrastruktur gas bumi nasional,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan juga menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, aturan tersebut akan membuat industri hilir gas bumi semakin tertekan. “Saya memikirkan keberlangsungan bisnis hilir khususnya gas bumi, kalau pemain migas melihat investasi di sektor ini sudah tidak menarik karena penuh intervensi kebijakan yang kurang menarik, tentunya akan mengganggu investasi dan pencarian cadangan gas baru,” ujar Mamit di jakarta, Senim.
Selain itu, kata dia, Permen ESDM No 8 Tahun 2020 tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 40 Tahun 2016 dimana dalam Perpres tersebut menetapkan harga sebesar US$ 6 MMBtu di Hulu, bukan di plant gate sebagaimana yang ditetapkan dalam Permen ESDM No 8 Tahun 2020. “Saya kira Ombudsman harus turun tangan dan melihat ini sebagai maladministrasi penyelenggaraan Negara,” ujar Mamit.
Jika membaca KepMen ESDM No 89.K/10/MEM/2020 sebagai turunan dari Permen ESDM No 8 Tahun 2020, lanjut Mamit, bisa dipastikan industri hilir migas akan terpuruk dan merugi karena pemangkasan biaya transportasi yang cukup signifikan.
“Sebagai contoh, untuk wilayah Jawa Timur yang melalui pipa milik PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN) untuk industri tertentu biaya transportasi adalah sebesar US$ 1.19 per mmbtu untuk tahun 2020 – 2022, US$ 0.49 per mmbtu untuk tahun 2023 dan US$ 0.27 per mmbtu tahun 2024,” kata Mamit.
“Bisa dibayangkan betapa kecil penghasilan yang didapatkan PGN setelah dikurangi biaya yang harus dibayarkan ke transporter, sedangkan disisi lain biaya untuk maintenance pipa dan pembangunan infrastruktur harus tetap berjalan,” tambah Mamit.
Yang jadi pertanyaan, kata dia, dengan pengurangan biaya distribusi tersebut, siapa yang akan menanggung skema integrator subsidi antar wilayah, karena antara pasokan dan demand gas di Indonesia terpisah-pisah lokasinya termasuk keekonomian lapangan hulunya
“Siapa yang akan menanggung resiko di hilir gas bumi ini? Apakah badan usaha hilir yang akan menanggung beban ini sendiri? Padahal di hulu, Pemerintah sama sekali tidak mengambil porsi badan usaha dan hanya berencana mengurangi porsi Pemerintah. Menurut saya ini standard ganda,” pungkasnya.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.