

Soal Desakan Turunkan Harga BBM, Pemerintah Harus Ambil Kebijakan Arif
ENERGI April 16, 2020 Editor SitusEnergi 0

Jakarta, Situsenergy.com
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif harus mengambil kebijakan yang arif dan bijaksana terhadap adanya permintaan atau desakan publik berkaitan dengan penurunan harga minyak mentah dunia dan pengaruhnya atas harga BBM yang berlaku saat ini atau harus diikuti pula dengan menurunkan harga jual BBM di dalam negeri.
‘Kalaupun “terpaksa” menurunkan harga jual BBM, maka sebaiknya opsi kebijakan energi yang sehat dan bersih lingkungan harus diambil, yaitu dengan mendekatkan jarak harga BBM yang memiliki RON tinggi kepada RON yang rendah, agar terjadi migrasi konsumen yang memakai BBM subsidi,” kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori di Jakarta, Rabu (15/4).
Jika dicermati, kata Defiyan, fluktuasi harga minyak dunia telah sering terjadi secara simultan. Misalnya penurunan harga minyak dunia Tahun 2020, terjadi pada bulan Januari 2020 US$63-65 per barrel dari sebelumnya US$60,84-65 per barrel pada bulan September 2019.
“Selanjutnya pada bulan Februari dan Maret 2020 harga minyak dunia kembali turun menjadi US$ 32-35 per barrel. Artinya, selama 6 (enam) bulan terakhir fluktuasi harga minyak dunia berada pada interval US$30 per barrel, yang kemudian menjadi US$20-23 per barrel pada awal bulan April 2020,” tukasnya.
Ia juga meminta Pemerintah untuk memperhitungkan defisit migas yang selalu terjadi serta mengkaji betul dan mengkalkulasi secara cermat dan tepat, apakah dengan fluktuasi harga minyak yang terjadi hanya dalam sebulan dapat diterima menjadi alasan menurunkan harga BBM?
“Lebih dari itu, adalah pemerintah juga harus memperhatikan trade off (imbal balik) penurunan harga minyak dunia ini dengan fluktuasi kurs US dollar terhadap mata uang Rupiah yang berada pada kisaran Rp 14.000-17.000 (berpotensi berubah lagi) atas pembelian minyak mentah yang berasal dari impor. Terbukti, pada tanggal 3 April 2020, harga minyak mentah dunia kembali mengalami kenaikan sangat signifikan dalam beberapa hari,” papar Defiyan.
Hal ini, kata dia, terjadi pada minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) yang melonjak naik sebesar 24,67 persen menjadi USD 25,32 per barel, hanya untuk kenaikan persentase satu hari, dan merupakan kenaikan harga terbesar dalam sejarah. “Benchmark harga internasional lainnya adalah, minyak mentah Brent yang melonjak sebesar 17,8 persen, atau USD 4,40, diperdagangkan pada harga US$29,14 per barrel,” ujarnya.
Sebagai contoh, kanjut Defiyan, jika harga minyak mentah dunia pada bulan Januari 2020 adalah US$63 per barrel, maka pembelian sejumlah 700.000 barrel akan membutuhkan sekitar Rp 617,4 Miliar (kurs US$1 = Rp 14.000). Pada bulan Maret 2020, terjadi penurunan harga menjadi US$32 per barrel, tapi dengan kurs dollar terhadap Rupiah menjadi rata-rata Rp 16.000, maka dengan jumlah barrel yang sama total harga pembelian menjadi Rp 358,4 Miliar.
“Artinya ada selisih pengaruh penurunan harga minyak dan fluktuasi nilai Dollar atas Rupiah sejumlah Rp 259 Miliar. Namun, kenaikan pada tanggal 3 April 2020 yang begitu cepat juga akan merubah alokasi anggaran untuk rencana pembelian jumlah barrel tertentu per hari. Apalagi kalau kenaikan harga minyak mentah dunia secara tiba-tiba juga mengalami kenaikan kembali ke posisi harga di bulan Januari 2020,” paparnya.
“Kalkulasi ini harus menjadi pertimbangan penting pemerintah dalam mengambil kebijakan harga jual BBM di dalam negeri, agar tidak membebani keuangan negara dan merugikan BUMN sektor minyak dan gas bumi serta dunia usaha atas fluktuasi harga tersebut ” tambah dia.
Selain itu, lanjut Defiyan, fluktuasi harga minyak mentah dunia ini harus menjadi perhatian pemerintah dan negara-negara penghasil minyak dunia agar kestabilan ekonomi antar kawasan dan dunia tidak terganggu. Dunia memang membutuhkan keseimbangan baru, akan tetapi “mempermainkan” harga dengan motif mengganggu kestabilan perekonomian dunia dan kemaslahatan hidup bersama adalah sebuah tindakan kejahatan juga.
“Oleh karena itu organisasi negara-negara pengekspor minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), harus memahami kondisi negara lain yang bukan penghasil minyak mentah dan pengekspor minyak dunia,” pungkasnya.(adi)
No comments so far.
Be first to leave comment below.