Oleh: Sofyano Zakaria
Pengamat Kebijakan Energi
Bencana alam yang melanda sebagian wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh beberapa waktu terakhir , kembali mengingatkan kita bahwa sektor ketenagalistrikan merupakan urat nadi masyarakat.
Ketika jaringan listrik terputus, bukan hanya rumah tangga yang terdampak, tetapi juga layanan vital seperti rumah sakit, fasilitas pendidikan, pusat pemerintahan, dan pos-pos evakuasi.
Dalam konteks inilah, saya memandang langkah cepat PLN bukan sekadar tindakan teknis, melainkan bagian dari kebijakan pelayanan publik yang sangat strategis.
Sejak awal bencana, PLN bergerak melakukan pemetaan kerusakan, menurunkan personel tambahan, serta mengerahkan peralatan berat dan mobile generator ke titik-titik kritis.
Respons cepat ini menunjukkan bahwa PLN telah menempatkan aspek keandalan layanan sebagai prioritas dalam kerangka manajemen kebencanaan. Kecepatan ini tentu tidak muncul begitu saja; ia merupakan hasil pembenahan internal yang telah dilakukan bertahun-tahun, termasuk peningkatan kapasitas SDM teknik, penyediaan armada pemulihan, dan penguatan komunikasi dengan pemerintah daerah serta BNPB.
Di banyak daerah terdampak, akses menuju lokasi kerusakan sangat sulit akibat longsor, banjir, dan jalan yang terputus.
Namun petugas PLN tetap hadir di lapangan, bekerja siang dan malam. Hal ini menunjukkan bahwa layanan kelistrikan bukan hanya persoalan bisnis, tetapi juga bentuk kehadiran negara dalam situasi darurat. Masyarakat membutuhkan kepastian, dan dalam kondisi seperti ini, kehadiran petugas PLN sering kali menjadi simbol pulihnya harapan.
Ini perlu dipahami banyak pihak terhadap keberadaan bumn energi di wilayah yang terkena bencana alam.

Saya menilai langkah cepat PLN memulihkan sistem kelistrikan di Sumut, Sumbar, dan Aceh perlu diapresiasi karena memenuhi tiga indikator penting: respons operasional, aspek kemanusiaan, dan efektivitas kebijakan publik.
Pertama, dari sisi operasional, pemulihan bertahap yang memprioritaskan fasilitas publik menunjukkan proses kerja yang sistematis dan berbasis risiko.
Kedua, dari aspek kemanusiaan, penyalaan listrik di posko evakuasi dan fasilitas kesehatan berperan langsung dalam penyelamatan nyawa.
Ketiga, dari perspektif kebijakan publik, tindakan PLN memperlihatkan bahwa BUMN tetap mampu menjalankan mandat pelayanan meski dalam tekanan bencana.
Namun, apresiasi bukan berarti menutup mata terhadap kebutuhan penguatan sistem ke depan. Justru dari setiap bencana kita memperoleh pelajaran berharga.
Saya berpendapat bahwa Indonesia perlu memiliki roadmap ketahanan energi yang lebih komprehensif, terutama untuk wilayah rawan gempa, banjir bandang, dan longsor seperti di Sumatera dan Aceh. Penguatan jaringan, pemanfaatan teknologi smart grid, peningkatan cadangan pembangkit bergerak (mobile power unit), serta kesiapan logistik seharusnya menjadi bagian dari kebijakan nasional yang terintegrasi.
Selain itu, koordinasi antara PLN, pemerintah daerah, TNI–Polri, dan BPBD harus selalu ditingkatkan.
Bencana tidak hanya membutuhkan respons cepat, tetapi juga komunikasi efektif sehingga pemulihan dapat berlangsung secara presisi.
Dalam beberapa kasus, petugas PLN membutuhkan dukungan alat berat atau akses jalur alternatif, dan sinergi lintas lembaga inilah yang menentukan kecepatan proses pemulihan.
Meski demikian, di lapangan kita melihat bagaimana koordinasi tersebut relatif berjalan baik. Hal ini patut dicatat sebagai modal penting bagi Indonesia untuk membangun sistem energi yang lebih resilien. Respons cepat PLN bukan hanya memulihkan listrik, tetapi juga memperkuat rasa percaya masyarakat terhadap layanan publik di sektor energi.
Sebagai pengamat kebijakan energi, saya menegaskan bahwa komitmen dan kerja keras PLN dalam memulihkan listrik di wilayah terdampak bencana merupakan wujud nyata transformasi BUMN energi yang semakin profesional dan sigap. Di tengah tekanan dan keterbatasan, PLN tetap hadir sebagai garda terdepan pemulihan layanan vital bagi masyarakat.
Harapan saya, keberhasilan penanganan di Sumut, Sumbar, dan Aceh ini harus dijadikan momentum untuk mempercepat perbaikan sistem ketenagalistrikan nasional. Bukan hanya untuk merespons bencana, tetapi untuk membangun ketahanan energi yang lebih kuat, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. []
Leave a comment