Logo SitusEnergi
ReforMiner Institute: Soal PLTS Atap Perlu Pemahaman Utuh ReforMiner Institute: Soal PLTS Atap Perlu Pemahaman Utuh
Jakarta, Situsenergi.com Upaya pemerintah mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65 persen menjadi 100... ReforMiner Institute: Soal PLTS Atap Perlu Pemahaman Utuh

Jakarta, Situsenergi.com

Upaya pemerintah mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65 persen menjadi 100 persen akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero).

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai para pihak perlu pemahaman utuh jangan sampai pengembangan PLTS atap hanya didorong upaya mencapai target 23 persen EBT tanpa disertai informasi lain yang utuh.

Komaidi tak memungkiri bahwa PLTS memang paling cepat prosesnya, tetapi risiko biaya yang tinggi juga harus dipahami.

“Risiko biaya yang timbul karena sifatnya yang intermiten karena hanya mampu berproduksi sekitar 4-6 jam per hari sehingga sisanya memerlukan bantuan dari jenis pembangkit yang lain yang kalau dijumlahkan biayanya tentu lebih mahal bagi PLN,” kata Komaidi.

Ia berharap, regulasi terkait PLTS atap harus klir dengan memperhatikan banyak aspek. Apalagi saat ini sebagian besar komponennya masih sangat bergantung pada impor.

“Pengembangan PLTS atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN agar manfaat ekonominya lebih besar lagi,” ujarnya.

BACA JUGA   Bye Batubara! RUPTL Baru Fokus ke Energi Hijau, Surya Paling Diandalkan

Sebelumnya, pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Nanang Hariyanto menilai, upaya pemerintah mengubah regulasi harga beli listrik PLTS atap menjadi 100 persen akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PLN.

“Karena jika dipasang PLTS atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS atap,” kata Nanang melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (15/8/2021).

Menurutnya, sisa dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN yang kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp 1.440,7 per KWh.

“Saya melihat ini tidak adil. Sebab waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” papar Nanang.

Lebih jauh ia mengatakan, bahwa harga jual listrik dari PLTS atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS nonatap.

“Contohnya PLTS nonatap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah 4 sen dolar AS per KWh atau setara Rp 600 per KWh. Sedangkan PLTS atap dijual ke PLN seharga Rp 1.440 per KWh. Akibatnya, tentu saja biaya pokok produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB itu.

BACA JUGA   Potensi Bisnis CCS/ CCUS Menjanjikan, Meski Sejumlah Tantangan Menghadang

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS atap.

Hal ini kata dia, mengakibatkan operasi PLTU ditekan ke bawah. Dan ini menyebabkan PLTU yang biasanya beroperasi 70-80 persen malah drop hingga 50-60 persen akibat ada PLTS atap.

“Karena turun, keberadaan PLTS atap menekan operasi PLTU hingga 50-60 persen. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ucap Nanang.

Akibat dua faktor itu, BPP listrik PLN dari pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia PLTS rooftop jumlahnya hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara dan menjadi beban APBN.

“PV (Photovoltaic Rooftop) yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.

Dia mengakui saat ini penggunaan energi terbarukan (renewable energy) adalah sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS atap mencapai 2.000 megawatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergeser ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS atap.

BACA JUGA   Adhi Karya Tanam ‘Pohon Angin Surya’ Pertama di RI, Listrik Hijau Mengalir!

“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65 persen harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100 persen,” pungkas Nanang.(ERT/RIF)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *