Home ENERGI Program Pengembangan Biofuel Terkendala Bahan Baku Dan Harga Produk Akhir
ENERGI

Program Pengembangan Biofuel Terkendala Bahan Baku Dan Harga Produk Akhir

Share
Program Pengembangan Biofuel Terkendala Bahan Baku Dan Harga Produk Akhir
Share

Jakarta, situsenergi.com

Upaya pemerintah untuk memaksimalkan penggunaan biofuel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan terkendala oleh ketersediaan bahan baku. Selama ini harga bahan baku untuk memproduksi biofuel masih tinggi, bahkan lebih dari BBM fosil sehingga masih sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah.

Arie Rachmadi, Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan minimnya bahan baku ini menyebabkan pengembangan biofuel masih kurang optimal. Bahkan dari sisi harga akhir produk juga tergolong masih mahal.

Arie menilai CPO menjadi jadi salah satu bahan baku terbanyak untuk memproduksi biofuel 50 juta ton CPO per tahun dan lahan seluas 17 juta hektar (ha). Skema untuk memastikan ketahanan pasokan bahan baku sebenarnya sudah diinisiasi dengan baik melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Lewat BPDPKS, dana hasil ekspor dimanfaatkan untuk program biodiesel membuat Indonesia sebenarnya tidak mengeluarkan dana untuk pengembangan biofuel. “Skema BPDPKS itu menarik untuk memastikan harga kompetitif, selain memberikan penetrasi bioenergi,” kata Arie dalam keterangannya, Jumat (11/10/2024).

Masalah feedstock dapat diatasi melalui program food estate di Indonesia Timur. Jika ditelisik program tersebut juga berpotensi bisa menciptakan feedstock baru untuk program biofuel di masa depan.

“Pemerintah ke depan mau membuka food estate. Di Papua itu ada potensi sekitar 12 juta hektar akan hasilkan sekitar 50 juta ton CPO,” ungkap Arie.

Ali Achmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), menyatakan tantangan terbesar untuk bisa mendorong program biofuel selain pasokan bahan baku adalah harganya yang masih tinggi. Ini g karena energi baru terbarukan masih dianggap energi mahal karena penggunaannya tidak sebanyak energi fosil.

“Harus ada kemauan baik dari pemerintah caranya dengan memberikan insentif untuk memastikan ketersediaan feedstock. Feed in tariff harus dikeluarkan,” ungkap Ali.

Terkait wacana penerapan berbagai fasilitas program penurunan emisi karbon seperti carbon trading, carbon tax maupun carbon insentif, Ali menilai itu sangat baik namun pemerintah lagi-lagi harus serius dalam penerapannya. Regulasi harus disiapkan dan disosialisasikan sampai ke daerah baru bisa bergerak.

“Selama ini kita bicara carbon trading, carbon tax carbon insentif, tapi apakah sampai ke daerah? Kalau itu diterapkan pasti akan lebih baik,” ujar Ali. (DIN/SL)

Share

Leave a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles

Elnusa Perkuat Produksi Migas Nasional Lewat Teknologi Coiled Tubing

Jakarta, Situsenergi.com PT Elnusa Tbk terus menunjukkan peran strategisnya dalam mendukung peningkatan...

Waskita Karya Infrastruktur Lepas Saham di Waskita Sangir Energi Rp179,9 Miliar

Jakarta, situsenergi.com PT Waskita Karya Infrastruktur (WKI) resmi melepas kepemilikan sahamnya di...

ESDM Bekukan 190 Izin Tambang, ESG Jadi Syarat Mutlak di Industri Minerba

Jakarta, situsenergi.com Penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin mendapat perhatian...

Astra Perkuat Transisi Energi, Targetkan 50 Persen Energi Terbarukan pada 2030

Jakarta, Situsenergi.com Astra melalui PT Energia Prima Nusantara (EPN), yang bergerak di...