Logo SitusEnergi
Pemberlakuan Power Wheeling Akan Membebani APBN dan Konsumen Pemberlakuan Power Wheeling Akan Membebani APBN dan Konsumen
Oleh : Agus Pambagio. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU-EBET) yang sedangdifinalisasi oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR-RI, rencananya akan di Paripurnakan... Pemberlakuan Power Wheeling Akan Membebani APBN dan Konsumen

Oleh : Agus Pambagio.

Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU-EBET) yang sedang
difinalisasi oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR-RI, rencananya akan di Paripurnakan bulan September 2024 ini untuk mempercepat transisi energi dari fosil ke Energi Baru Energi Terbarukan (EBET). Salah satu kebijakan yang menonjol dalam RUU ini adalah penerapan power wheeling, untuk memberi ruang lebih besar kepada Independent Power Producers (IPP) dalam
penyediaan listrik EBT. Namun, kebijakan ini mengandung risiko yang serius terhadap keamanan energi nasional dan APBN atau Konsumen. Untuk itu rencana pengesahan RUU EBET ini perlu ditinjau ulang dengan seksama sebelum di paripurnakan.

Penerapan power wheeling dapat memperparah oversupply listrik di Indonesia, di mana sebagian besar listrik masih berasal dari energi fosil. Saat ini, PT PLN (Persero) telah menanggung beban besar akibat take or pay dalam perjanjian jual beli listrik, yang mencapai sekitar Rp 180 triliun. Kebijakan power wheeling berpotensi menambah beban ini karena akan mengurangi permintaan listrik yang dikelola PT PLN (Persero), sekaligus memicu peningkatan kerugian
finansial yang ditanggung negara dan/atau konsumen.

BACA JUGA   PLN Gaet Ribuan Relawan, Berhasil Angkut 170 Ton Sampah Lewat Zero Waste Warriors!

Selain itu, EBET membutuhkan investasi dan biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan energi fosil. Memaksakan transisi yang terlalu cepat melalui power wheeling dapat mengorbankan keamanan energi dalam jangka panjang. Ingat kelemahan EBET ada di keamanan energi (energy security) karena sangat bergantung pada kondisi cuaca dan harga. Investasi yang dibutuhkan untuk infrastruktur EBET juga besar dan bisa membebani Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan/atau ditanggung langsung oleh konsumen melalui kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) serta mengganggu stabilitas ekonomi.

Salah satu isu utama yang perlu mendapat perhatian serius adalah ketidakselarasan data antara Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) terkait ketersediaan listrik. Misalnya, Kementerian ESDM optimis tentang potensi ekspor listrik ke negara tetangga setelah pembangunan pembangkit listrik EBET, sementara kenyataannya Indonesia justru terus
meningkatkan impor listrik dari Malaysia. Perbedaan data ini harus disinkronkan untuk menghindari kebijakan yang salah arah dan merugikan keamanan energi nasional.

Ada rencana disisa waktu kerja DPR-RI periode 2019 – 2024, RUU EBET akan segera disahkan sebagai UU EBET.
Untuk itu sebaiknya jangan terburu buru karena sebelumnya telah ada Putusan MK NO. 001-021-22/PUU-1/2003 dan Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 yang melarang adanya praktik unbundling, seperti pada power wheeling.

Menghadapi berbagai risiko dan potensi kerugian yang mungkin timbul, kebijakan power wheeling dalam RUU EBET perlu ditinjau kembali secara mendalam.
Berikut adalah beberapa
poin yang perlu dipertimbangkan:
1.Power wheeling adalah bentuk kebijakan unbundling ketenagalistrikan, yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, upaya untuk menghidupkannya kembali terlihat dilakukan melalui pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Undang-
Undang baru.
2.Urgensi menggantikan energi fosil dengan EBET belum mendesak, mengingat PT. PLN (Persero) saat ini mengalami oversupply listrik di beberapa lokasi. Tambahan daya 1 GW akan menjadi beban tambahan bagi PT. PLN (Persero), yang diperkirakan menambah
biaya sebesar Rp 3,44 triliun, sementara cadangan batu bara masih melimpah.
3.Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sudah mencakup bauran energi EBET, dan PT PLN (Persero) telah mampu memenuhi permintaan listrik “hijau” tanpa perlu melalui skema power wheeling.
4.Listrik EBET dari IPP kemungkinan besar akan menjadi bagian dari permintaan organik PLN di wilayah kerja PT PLN (Persero), bukan hanya untuk pelanggannya sendiri.
5.Pendapatan PT PLN (Persero) dari menyewakan jaringan kepada IPP jauh lebih kecil dibandingkan dengan menjual listriknya sendiri, yang berpotensi merugikan keuangan PT. PLN (Persero). [][][]

BACA JUGA   Strategi Baru! PLN dan Lemhannas Siap Kawal Energi RI dari Balik Layar

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *