


Jakarta, Situsenergi.com
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengapresiasi langkah Pertamina Patra Niaga yang menaikkan harga BBM Non Subsidi Pertamax, masih di bawah harga keekonomian. Pasalnya, jika mengikuti acuan harga minyak dunia saat ini, harga keekonomian Pertamax yang merupakan BBM dengan RON 92 itu bisa mencapai harga Rp 15.000 – Rp 16.000 per liter.
Dalam hal ini Pertamina Patra Niaga masih mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga harga BBM Pertamax RON 92 Non Subsidi hanya dinaikkan dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 – 12.750 per liter saja.
“Saya sangat mengapresiasi langkah Pertamina dengan kenaikan harga Pertamax dimana masih di bawah keekonomian sehingga sebenarnya Pertamina masih merugi meskipun adanya kenaikan harga Pertamax seperti saat ini,” ujar Mamit dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (01/04/2022)
Dengan jumlah kenaikan itu, Mamit yakin tidak akan memicu terjadinya migrasi dari pengguna Pertamax menjadi pengguna Pertalite.
“Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, kenaikan jangan sampai menyentuh faktor psikologis konsumen, dimana angkanya adalah di atas Rp 15.000 per liter. Dengan kenaikan menjadi Rp 12.500 per liter, saya kira tidak akan mendorong migrasi secara besar-besaran ke pertalite. Hal ini dikarenakan pengguna pertamax ini segmented, golongan menengah ke atas yang paham akan pentingnya serta manfaat dari menggunakan bahan bakar dengan ron tinggi,” papar Mamit.
Tak hanya itu, lanjut Mamit, dengan angka kenaikan yang menjadi Rp 12.500 per liter, SPBU Pertamina masih lebih kompetitif ketimbang SPBU swasta. Diketahui, SPBU Swasta seperti Shell, BP dan Vivo telah menaikkan harga jual BBM RON 92 sejak awal tahun lalu. Sementara Pertamina, sejak 3 tahun terakhir belum sekalipun merevisi harga Pertamax.
“Kenaikan ini juga masih bersaing dan lebih murah dibandingkan dengan SPBU swasta dan harganya juga sebenarnya swasta sudah berada di angka tersebut,” tuturnya.
Pertamina Patra Niaga, kata Mamit, tidak perlu khawatir terjadi migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite. Menurut perkiraannya, migrasi ke Pertalite hanya diantara 20-25 persen saja.
“Migrasi ke Pertalite saya perkirakan diantara 20-25 persen saja, itupun akan terjadi di awal-awal kenaikan. Setelah itu, pola konsumsi akan kembali lagi dengan menggunakan Pertamax,” tuturnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa akan terjadi perbedaan yang cukup signifikan untuk mesin kendaraan saat beralih dari Pertamax ke Pertalite. Yang paling terasa adalah performa mesin menjadi menurun, konsumsi bahan bakar menjadi lebih banyak dan jarak tempuh menjadi berkurang. Selain itu, biaya perawatan mesin akan meningkat jika dibandingkan dengan menggunakan Pertamax.
“Pengalaman saya, mesin mobil jadi “ngelitik” wakt saya coba menggunakan Pertalite sehingga mobil tidak bisa lari maksimal. Selain itu, jadi lebih sering isi BBM jika dibandingkan dengan menggunakan Pertamax. Akhirnya, saya melihat biaya yang dikeluarkan jauh lebih banyak saat menggunakan Pertalite,” pungkasnya.(SL)
No comments so far.
Be first to leave comment below.