


Jakarta, Situsenergi.com
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) membukukan kerugian bersih sebesar USD264,77 juta pada 2020. Realisasi ini jauh lebih rendah dibanding laba bersih yang didapatkan perseroan pada 2019 yang sebesar USD67,58 juta.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai penurunan penyerapan gas dari segmen industri dan komersial memicu penurunan pendapatan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menetapkan harga gas industri sebesar USD6 per MMbtu, yang berlaku sejak 1 April 2020.
Meski kebijakan harga gas rendah itu baik untuk mendorong sektor industri agar dapat bersaing di pasar dalam dan luar negeri namun, kebijakan itu sesungguhnya lebih besar madharat (biaya) daripada manfaat (benefit). Dan praktiknya di lapangan juga sering berbeda dimana industri dari segmen yang sama yang seharusnya mendapatkan keringanan namun ternyata tidak semuanya mendapatkan.
“Biaya itu harus ditanggung Pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh Pemerintah adalah melepas pendapatan Pemerintah dari sektor Hulu sebesar USD2,2 per MMBtu, yang akan menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak ( PNBP ) dalam jumlah yang besar,” jelas Fahmy.
Penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan Pemerintah Daerah dari pendapatan bagi hasil, yang besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP. Biaya yang akan ditanggung oleh oleh sektor Hulu adalah pemangkasan harga jual, yang menjadi potential lost hingga mengurangi margin yang sudah ditargetkan pada saat penyusunan POD saat awal investasi di Hulu Migas.
Sedangkan biaya yang ditanggung oleh sektor midterm adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi serta biaya pemeliharaan, yang berpotensi menjadikan PT PGN tidak hanya merugi dan merontokan harga saham, tetapi juga menghambat dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir.
Sedangkan benefit penetapan harga USD6 per MMbtu belum menaikkan daya saing industri. Alasannya, beberapa variabel biaya lainnya, termasuk pajak, masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah. Apalagi penyerapan gas sektor industri menurun drastis, akibat pandemi Covid-19, menyebabkan kerugian PT PGN semakin membengkak.
Berhubung lebih besar biaya ditanggung oleh Pemerintah, sektor Hulu dan PT PGN ketimbang manfaat dalam penciptaan keunggulan bersaing industri yang tidak kunjung terwujud, Pemerintah seharusnya meninjau ulang kebijakan penetapan harga gas USD6 per MMbtu.
“Kalau kebijakan itu tetap diberlakukan, penetapan harga gas sebesar USD6 per MMbtu seharusnya hanya diperuntukan untuk 7 industri strategis saja, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi,” tutup Fahmy.(DIN/RIF)
No comments so far.
Be first to leave comment below.