


Jakarta, Situsenergi.com
Indonesia Petroleum Association (IPA) menyoroti berbagai regulasi pemerintah yang masih memberatkan dan tumpang tindih pada industri hulu migas. Akibatnya banyak investor yang enggan masuk ke Indonesia karena beban sulit akibat kebijakan yang tidak kondusif itu.
Sebagai contoh kebijakan terkait product sharing contract (PSC) yang awalnya berupa cost recovery kemudian diubah menjadi gross split. Perubahan yang begitu cepat ini menjadikan sektor hulu migas menjadi semakin berisiko bagi investor. Kemudian dukungan fiskal pemerintah yang terkesan setengah-setengah. Kemudian beban pajak yang harus dipenuhi oleh investor sejak awal berinvestasi padahal belum berproduksi.
Semua beban itu menjadikan investor tidak tertarik untuk masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan minimnya minat perusahaan atau investor yang ikut lelang wilayah kerja (wk) yang ditawarkan pemerintah sehingga lelang beberapa kali harus dibuka lantaran sepi peminat.
“Begitu dapat produksi kena pajak macam-macam, bisa kena pajak karbon yang sekarang. Nah kita lihat ini pajak karbon diberlakukan, itu tidak pernah diperhitungkan sebelumnya,” ujar Legal Indonesia Petroleum Association (IPA) Ali Nasir dalam sebuah webinar, Rabu (13/4/2022).
Dijelaskan Ali bahwa di dalam industri hulu migas yang paling penting bagi investor adalah kepastian hukum. Perubahan kebijakan dan aturan yang begitu cepat menjadikan investor kesulitan. Kemudian yang kedua yang dinantikan investor adalah insentif fiskal yang diberlakukan secara menyeluruh.
“Kalau kita melihat di bid arround lalu, angka suci itu kan nggal boleh PSC dapat lebih besar bagi hasilnya. Sekarang sudah mulai diperbaiki. Itu sudah cukup positif menurut saya,” tutur Ali. (DIN/RIF)
No comments so far.
Be first to leave comment below.