

Hentikan Produksi dan Peredaran BBM Tak Ramah Lingkungan
ENERGI October 22, 2020 Editor SitusEnergi 0

Oleh : Sofyano Zakaria
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI)P
Jakarta, situsenergy.com
Pemerintah sebagai regulator, seharusnya tidak boleh ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kebijakan penghentian izin produksi dan perdagangan BBM Premium, karena sejatinya standar penggunaan BBM di dunia sudah meningkat pada standar EURO IV, yang mana hal itu tidak bisa dipenuhi dari BBM jenis Premium.
Ada beberapa sudut pandang yang bisa dijadikan alasan agar kepada Pertamina tidak diizinkan lagi memproduksi dan memperdagangkan BBM berkadar Research Octane Number (Ron) 88 tersebut.
Pertama, peredaran BBM jenis Premium, bertolak belakang dengan program langit biru yang dicetuskan oleh Pemerihtah sendiri dan juga tak sejalan dengan UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sebagaimana diketahui, pada sejak Juli 2020 lalu, Pertamina MOR V Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara (Jatimbalinus) telah meluncurkan implementasi dari program langit biru Pertamina, dimana di Provinsi Bali, harga BBM jenis Pertalite yang mengandung RON 90 diturunkan mendekati harga Premium. Hal itu dilakukan agar masyarakat bisa dengan mudah beralih dari Premium ke jenis BBM yang lebih ramah lingkungan seperti Pertalite atau Pertamax CS.
Melalui program tersebut, harga BBM RON 90 itu turun menjadi Rp 6.450 per liter untuk kendaraan bermotor roda dua, roda 3, angkot plat kuning dan taksi plat kuning. Program ini berlaku di 50 SPBU mulai tanggal 5 Juli 2020 sampai dengan 31 Agustus 2020.
Dari data Pertamina, di Kabupaten Gianyar, program tersebut berjalan lebih dari dua pekan, kepedulian masyarakat akan hadirnya udara bersih ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar yang lebih berkualitas dari Pertamina. Jumlah konsumsi produk BBM jenis Premium menurun drastis menjadi tinggal 3 persen dari yang sebelumnya masih sebesar 18 persen.
Sebaliknya, untuk BBM jenis Pertalite dengan RON 90, konsumsinya meningkat dari 67 persen menjadi 83 persen.
Di Kota Denpasar yang sudah lebih awal dimulai Program Langit Biru (sejak Bulan Juli), tren konsumsi BBM masyarakat akan pemilihan produk BBM yang lebih ramah lingkungan masih terus meningkat.
Proporsi konsumsi produk Premium sebelum bergulirnya program ini sebesar 28 persen dari total seluruh produk gasoline (Premium, Pertalite, Pertamax dan Pertamax Turbo) atau sekitar 114 Kilo Liter (KL) dari konsumsi keseluruhan produk yang sebanyak 408 KL perhari.
Setelah Program Langit Biru bergulir, perbandingan konsumsi produk Premium di Kota Denpasar hanya tinggal 8,5 persen atau sebanyak 42 KL dari total konsumsi seluruh produk gasoline di wilayah tersebut yang perharinya dilayani oleh Pertamina sebanyak 490 KL. Hal ini seiring dengan meningkatnya konsumsi produk Pertalite yang naik proporsinya dari 53 persen menjadi 75 persen sampai dengan pekan kedua di Bulan Oktober.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, sebenarnya bisa saja Pemerintah Daerah (Pemda) khususnya Pemda di kota-kota besar yang padat penduduk untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan peredaran BBM tak ramah lingkungan di daerahnya untuk mengurangi polusi udara.
Pertamina pun sebetulnya sudah mengakui bahwa program langit biru yang dijalankan di Provinsi Bali itu akan dijadikan pilot Project dan bisa saja nantinya diduplikasi ke daerah-daerah lain.
VP Corporate Communications Pertamina, Fajriyah Usman juga sudah pernah mengungkapkan bahwa saat ini baru Denpasar yang dijadikan sebagai pilot project karena sejalan dengan program Pemda setempat. Menurut dia, program-program edukasi dan promosi di marketing juga sejauh ini sudah berjalan baik.
Di Jakarta sendiri, sebagai Ibu Kota Negara, sebenarnya kampanye-kampanye penggunaan BBM ramah lingkungan juga sudah dilakukan, meski kebijakan penghentian penjualan Premium belum dilakukan seperti di Bali. Program sosialisasi tersebut baru sebatas mengajak konsumen berkontribusi menciptakan udara bersih dengan memberikan uji emisi gratis bagi pelanggan SPBU bekerja sama dengan pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
Hal itu juga sebagai pilot project, sebagai upaya Pertamina dalam mendorong masyarakat untuk senantiasa memperhatikan kondisi emisi gas buang kendaraan yang dimiliki, dan animo masyarakat cukup baik.
Kedua, sudut pandang konsumen bahwa sebenarnya harga jual BBM jenis Premium jauh lebih tinggi ketimbang kualitas yang didapatkan. Hal ini bukan berarti bahwa Pertamina memproduksi Premium dengan kualitas yang buruk, namun seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, dimana kendaran berbahan bakar bensin sudah diproduksi dengan sedemikian canggihnya dan bahkan bisa memenuhi standar EURO IV, maka tentu saja Premium yang hanya memiliki kadar RON 88, menjadi BBM yang tidak layak dikonsumsi.
Bahkan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang mewakili sudut pandang dari sisi konsumen, dalam beberapa kesempatan pernah menyampaikan bahwa kualitas BBM jenis premium sudah tidak layak jual, terutama di Jakarta.
Tak hanya YLKI, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) saja ikut menyoroti hal tersebut. Mereka ikut mendorong pemerintah untuk tidak lagi memproduksi dan menjual bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sesuai dengan standar ramah lingkungan. KPBB bahkan juga telah menyarankan kepada pemerintah untuk segera mengganti BBM jenis tersebut dengan Bensin RON 92 dan RON 95 serta Solar 51. Beberapa negara lain sudah mengadopsi hal tersebut, salah satunya adalah Malaysia.
Ketiga, mengurangi ketergantungan impor Premium. Sudut pandang ini merupakan cerminan dari kehadiran Pemerintah, dalam hal ini kaitannya dengan ketahanan energi nasional.
Permasalahan soal impor Premium sebenarnya pernah mencuat pada pertengahan 2018 lalu, dimana ketika itu produksi dan distribusi Premium dikurangi agar masyarakat mulai beralih menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik. Ketika itu, impor Indonesia terhadap BBM jenis Premium turun drastis.
Anggapan masyarakat bahwa seluruh BBM premium diproduksi dari kilang dalam negeri adalah keliru. Sebab faktanya, sekitar 50% dari kebutuhan nasional yang mencapai 23-25 KL per hari, harus dipenuhi melalui impor. Parahnya lagi, seluruh Premium impor tersebut tidak diproduksi melalui kilang, melainkan hanya merupakan produk oplosan atau blending.
Impor BBM RON 88 yang dilakukan dari Singapura tersebut memang hanya barang oplosan. Sebab, saat ini di dunia, hanya kilang Pertamina saja yang masih menghasilkan Premium. Selain kilang Pertamina tersebut, tidak satupun kilang minyak luar negeri yang memproduksi BBM RON 88.
Pengoplosan tersebut dilakukan hanya di storage-storage dan yang lebih parah, juga dilakukan di atas kapal. Bahkan menurut anggota DPR RI wakil ketua Komisi VI kala itu, Inas N Zubir, pengoplosan dilakukan melalui pencampuran (blending) antara 85-90 persen RON 92, yang di Indonesia dikenal sebagai Pertamax dengan Nafta sebanyak 10%-15%. Itupun, jenis RON 92 yang dipakai adalah yang berkualitas rendah, yaitu RON 92 destilate 70.
Penggunaan destilasi rendah sebagai bahan baku sangat mungkin, karena adanya selisih harga antara Ron 92 destilate 70 dan 75, yakni US$ 0,50 ketika itu ditahun 2018.
Maka itu, jika dilihat dari tiga sudut pandang Diatas, memang sudah selayaknya tidak perlu lagi BBM jenis Premium dijual lagi di Indonesia. Masyarakat pun sebenarnya sudah mulai ‘melek” bahwa semakin tinggi kadar RON dalam BBM yang digunakan, maka performa mesin akan semakin baik dan awet. Terlebih saat ini ada BBM lain yang bisa dijadikan “jembatan” bagi masyarakat yang ingin meningkatkan kualitas penggunaan BBM-nya, yakni dengan mengkonsumsi Pertalite.
Pertalite sendiri sebenarnya telah menjadi BBM favorit masyarakat Indonesia. Hal itu dibuktikan dari tingkat konsumsi jeni BBM itu dalam kesehariannya.
Berdasarkan catatan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tren penurunan konsumsi Premium telah terekam selama beberapa tahun terakhir. Pada 2015, realisasi konsumsi Premium tercatat 12,23 juta kl atau 89,66 persen dari kuota yang mencapai 13,64 juta kl.
Pada 2016, konsumsi Premium menurun menjadi 10,62 juta kl dari kuota 13 juta kl. Tahun 2017, konsumsi Premium tercatat hanya 7,04 juta kl atau hanya 56,37 persen dari kuota. Penurunan impor Premium itu terjadi karena masyarakat banyak yang sudah beralih ke penggunaan Pertalite maupun Pertamax CS.
Lalu, dengan sederet fakta tersebut, mengapa Premium tidak segera “disuntik mati” saja, agar langit Indonesia menjadi biru?
Dan mengapa Pemerintah ,untuk tahap pertama , setidaknya melarang saja instansi dan lembaga pemerintah yang menggunakan Premium untuk Tidak lagi menggunakan bbm premium yang tidak ramah lingkungan tersebut.
Kuncinya , keberhasilan program langit biru tergantung kepada sikap Pemerintah sendiri dan jika memang ingin berhasil maka laksanakanlah penghentian produksi dan perdagangan bbm premium! [•]
No comments so far.
Be first to leave comment below.