


Jakarta, Situsenergy.com
Peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud menyatakan, penurunan harga gas industri dalam jangka pendek dinilai dapat mengurangi penerimaan negara. Namun, dalam jangka panjang, diyakini akan memberi manfaat lebih besar bagi negara seperti dari tambahan pajak seiring pertumbuhan sektor industri.
Oleh sebab itu Zakir berharap pemerintah serius untuk mengupayakan penurunan harga gas industri sesuai amanat dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2016. Menurut Zakir, harga energi yang tidak kompetitif akan membuat harga hasil produksi industri menjadi tidak dapat bersaing. Upaya menurunkan harga gas industri dilakukan agar produk yang dihasilkan industri manufaktur dalam negeri bisa kompetitif termasuk saat harus bersaing dengan produk impor
“Harga input yang tidak kompetitif adalah isu utama di industri manufaktur. Salah satu input itu adalah energi, termasuk gas industri,” kata Zakir di Jakarta, Senin (2/3).
Zakir menuturkan, penurunan harga gas diharapkan memperbanyak transaksi seiring harga produk jadi industri yang turun. Dengan demikian, perolehan yang diterima negara melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih tinggi. Jika masih ada perusahaan yang tidak mau menurunkan harga produknya kendati harga gas sudah turun, setoran Pajak Penghasilan (PPh) badan perusahaan itu harus naik karena marginnya tinggi.
“Jadi, enggak perlu khawatir. Ujung-ujungnya tetap bisa ditangkap sama pajak. Bisa melalui PPh badan, PPN, bisa juga melalui PPh orang yang bekerja di situ, tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemicals Indonesia (Apolin), Rapolo Hutabarat, meyakini penurunan harga gas industri akan mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen dan terwujudnya aktivitas hilirisasi di Indonesia. Dia menyebutkan bahwa pada Perpres No 40/2016 menyebutkan, tujuh sektor yang mendapatkan ketetapan harga gas industri sebesar 6 dollar AS per MMBTU, yakni industri oleokimia, pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Berdasarkan data Apolin, kebutuhan gas industri oleokimia mencapai 11,7-13,9 juta per MMBTU dari 11 perusahaan anggota Apolin. Saat ini, industri oleokimia harus membayar harga gas industri rerata 10-12 dollar AS per MMBTU. Variasi harga gas untuk industri oleokimia itu bergantung lokasi dan jarak.
“Selama empat tahun lamanya, pelaku industri oleokimia menantikan regulasi itu bisa terlaksana dan dapat diimplementasikan. Apalagi, industri oleokimia termasuk tujuh sektor industri yang masuk dalam Perpres,” paparnya.
Dalam struktur biaya produksi, biaya gas berkontribusi sekitar 10-12 persen untuk produksi fatty acid dan sebesar 30-38 persen dalam menghasilkan fatty alcohol beserta produk turunan di bawahnya. Apabila Perpres No 40/2016 bisa dijalankan untuk industri oleokimia, dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp14.300 per dollar AS, disebutkan akan ada penghematan 47,6-81,8 juta dollar AS per tahun atau Rp0,68-1,1 triliun per tahun.
“Selain itu, penurunan harga gas dinilai akan berdampak pada peningkatan investasi baru, penambahan kapasitas produksi, perluasan kesempatan kerja, dan ikut terpacunya daya saing produk-produk oleokimia lndonesia ke negara tujuan ekspor sehingga akan lebih besar perolehan devisa,” pungkas dia. (DIN/rif)
No comments so far.
Be first to leave comment below.