Logo SitusEnergi
Carut Marut Persoalan Harga Energi, Dari Mulai Subsidi Tak Tepat Sasaran Hingga Kebijakan yang Merugikan Pertamina Carut Marut Persoalan Harga Energi, Dari Mulai Subsidi Tak Tepat Sasaran Hingga Kebijakan yang Merugikan Pertamina
Jakarta, Situsenergi.com Direktur Eksekutif Indonesia Resources Study (IRESS), Marwan Batubara menyoroti persoalan harga energi di Indonesia. Carut marut persoalan harga energi disebut Marwan bermula... Carut Marut Persoalan Harga Energi, Dari Mulai Subsidi Tak Tepat Sasaran Hingga Kebijakan yang Merugikan Pertamina

Jakarta, Situsenergi.com

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Study (IRESS), Marwan Batubara menyoroti persoalan harga energi di Indonesia. Carut marut persoalan harga energi disebut Marwan bermula dari Pemerintah yang tidak menjalankan aturan dengan baik, hingga menyebabkan subsidi tidak tepat sasaran hingga merugikan BUMN Pertamina sebagai penyedia energi.

Marwan menjelaskan, pemerintah memiliki beberapa rujukan terkait penetapan harga energi, baik Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga Liquified Petroleum Gas (LPG) atau Elpiji, yaitu Perpres No.191/2014, Perpres 43/2018 dan sejumlah Peraturan/Keputusan Menteri ESDM. Meski demikian, sederet aturan itu tidak bisa dijalankan dengan baik oleh Pemerintah.

Ia mencontohkan, seperti halnya harga minyak dunia sepanjang 2021 yang menunjukkan tren meningkat. Harga minyak dunia berubah dari USD 50 per barel (6/1/2021), mencapai level tertinggi USD 85 pada (26/10/2021) dan turun ke USD 73 pada (20/12/2021). Secara rerata harga minyak mentah naik sekitar 43 persen. Hal yang sama terjadi untuk gas alam yang naik dari sekitar USD 2,7 per MMBTU pada (6/1/2021), lalu menyentuh level tertinggi USD 5,8 per MMBTU pada (4/10/2021) dan turun lagi menjadi USD 3,8 per MMBTU pada (20/12/2021). Secara rerata selama 2021, harga gas naik sekitar 37 persen.

“Naiknya harga minyak dunia pasti membuat harga dasar (perolehan) BBM dan gas dalam negeri juga naik. Namun kenaikan harga perolehan ini tidak selalu diiringi kenaikan harga eceran BBM,” terang Marwan kepada awak media di Jakarta, Rabu (22/12/2021).

Namun, meskipun aturan main sudah tersedia, ternyata praktik di lapangan bisa berbeda.

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

“Misalnya, untuk BBM jenis umum, badan usaha boleh menaikkan harga BBM sesuai perubahan harga minyak dunia. Syaratnya harus merujuk formula dari Kementerian ESDM dan rencana kenaikan tersebut “diberitahukan” kepada pemerintah. Badan usaha seperti Shell dengan mudah dapat melakukan penaikan harga eceran BBM Shell Super (RON 92) dan Shell V-power (RON 95), seperti yang terjadi sejak April 2021,” tuturnya.

Namun demikian, perlakuan berbeda diperoleh Pertamina. BUMN ini tidak bisa langsung menaikkan harga produknya seperti Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92), meskipun dua jenis BBM itu adalah BBM umum.

“Pertamina tidak mendapat persetujuan pemerintah sebagaimana Shell. Perbedaan perlakuan ini bisa saja menjadi beban (kerugian) Pertamina, yang minimal harus menanggung cost of money sebelum kelak memperoleh kompensasi dari APBN. Jika kompensasi dibayarkan, maka pemerintah telah menggunakan uang negara mensubsidi konsumen BBM yang umumnya adalah golongan masyarakat mampu. Kompensasi ini jelas merupakan subsidi yang tak tepat sasaran,” tegasnya.

Hal yang sama juga terjadi pada penjualan LPG oleh Patra Niaga. Harga beli LPG (Contract Price Aramco, CPA) yang mayoritas diimpor dari Saudi Arabia, dalam setahun telah naik sekitar 57 persen, yakni dari USD 538 per metrik ton (MT) menjadi USD 847 per MT.

BACA JUGA   Gandeng INPEX Masela, Badak LNG Siap Panaskan Proyek Gas Raksasa di Indonesia

Untuk produk LPG 3kg, kenaikan harga CPA tidak dirasakan oleh konsumen, karena harga ecerannya selalu disubsidi APBN. Namun untuk LPG non-subsidi, meski Pertamina mempunyai “wewenang” menaikkan harga, karena belum mendapat persetujuan pemerintah, maka harga LPG non-subsidi tidak dapat dinaikkan.

“Karena tidak mendapatkan kompensasi APBN sebagaimana BBM Umum, maka selisih harga beli CPA dengan harga eceran LPG non-subsidi menjadi tanggungan Pertamina,” tuturnya.

Berdasarkan perhitungan sederhana, kata Marwan, kerugian Patra Niaga dari bisnis LPG non subsidi ini sekitar Rp 291 miliar per bulan, dan bisa lebih dari Rp 3 triliun per tahun.

“Karena itu, ke depan penyelenggara negara antara lain perlu membuat kebijakan komprehensif berupa subsidi tepat sasaran, bebas politik pencitraan, menjunjung prinsip GCG, dan menjamin pengelolaan oleh BUMN, serta membuat peraturan sesuai konstitusi dan konsisten diterapkan,” pungkas Marwan. (SNU)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *