Logo SitusEnergi
Artisanal Migas, Antara Kearifan Lokal dan Legalitas Negara Artisanal Migas, Antara Kearifan Lokal dan Legalitas Negara
Oleh : Andi N Sommeng Alkisah di negeri kaya sumber daya ini—yang lebih banyak seminar energi ketimbang sumur produktif—tersembunyi sebuah bab tak tercatat dalam... Artisanal Migas, Antara Kearifan Lokal dan Legalitas Negara

Oleh : Andi N Sommeng

Alkisah di negeri kaya sumber daya ini—yang lebih banyak seminar energi ketimbang sumur produktif—tersembunyi sebuah bab tak tercatat dalam buku-buku sejarah migas: yaitu peradaban tua bernama Artisanal Migas. Jangan terkecoh, ini bukan brand parfum baru dari Prancis, melainkan praktek eksplorasi minyak rakyat yang dilakukan dengan alat seadanya, kadang dengan cangkul dan semangat yang bahkan Exxon pun iri.

Pernahkah kita bayangkan bahwa sebelum industri migas modern hadir lengkap dengan rig pengeboran, logging seismik, dan laporan feasibility berbahasa Inggris, masyarakat di beberapa sudut Jawa dan Sumatra sudah terlebih dahulu menggali minyak—secara mandiri?

Fenomena ini dikenal luas sebagai artisanal migas atau pertambangan minyak rakyat. Sebuah praktik yang lahir dari insting ekonomi sekaligus ketahanan komunitas. Di banyak tempat, seperti Cepu dan Bojonegoro, sumur-sumur dangkal digali menggunakan peralatan sederhana. Dioperasikan bukan oleh insinyur lulusan luar negeri, melainkan oleh warga desa yang memegang warisan keterampilan turun-temurun.

Sayangnya, dalam waktu yang cukup lama, negara memosisikan aktivitas ini sebagai kegiatan liar. Meski nyatanya, minyak dari sumur rakyat mengalir menghidupi masyarakat desa, terutama di wilayah yang tidak tersentuh jaringan energi formal.

Ya, artisanal oil drilling ini sebenarnya adalah warisan budaya, seangkatan dengan wayang kulit dan bajak sapi. Sejak zaman kolonial, warga-warga di Cepu, Bojonegoro, dan sekitarnya sudah tahu, kalau minyak tumpah dari tanah, jangan tunggu tender—cukup ember dan niat.

Namun, seperti semua kisah rakyat yang terlalu jujur, kegiatan ini lama-lama dianggap “liar” oleh negara. “Tak berizin,” kata birokrat. Padahal, kadang izinnya justru yang bikin kegiatan jadi liar—bisa dua kali audit belum tentu keluar juga suratnya.

BACA JUGA   Teknologi Pisau Bermata Dua, Menyongsong Blokchain, Web3, NFT, dan Kontrak Pintar di Bawah PP No. 28 Tahun 2025

Lalu datanglah Permen ESDM No. 14 Tahun 2025, bak tokoh utama di sinetron ke-300, gagah, tampan, dan menjanjikan masa depan cerah. Ia menyapa rakyat dengan akronim formal “Peraturan Menteri tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Non-Konvensional oleh Masyarakat.”

Kini, melalui Peraturan Menteri ESDM ini, negara tampaknya ingin “menjemput bola” sekaligus berdamai dengan kenyataan tersebut. Regulasi ini memberi ruang legalitas bagi masyarakat untuk mengelola sumur migas skala kecil secara resmi, dengan pendekatan koperasi, kemitraan, dan pembinaan teknis.

Namun, sebagaimana regulasi-regulasi sebelumnya, pertanyaan kuncinya bukan sekadar niat baik di atas kertas, tetapi efektivitas di lapangan.

Apakah Permen ini hadir untuk mengangkat peran rakyat menjadi bagian dari sistem energi nasional? Ataukah hanya untuk merapikan laporan statistik agar tak ada lagi “produksi gelap” yang tak tercatat?

Kita patut waspada, jangan sampai legalisasi hanya menjadi formalitas untuk memungut pajak atau menarik retribusi, tanpa diimbangi dengan pemberdayaan yang nyata. Sebab, apabila semangat pemberdayaan kalah oleh semangat penertiban, maka regulasi ini hanya akan menjadi “kerangka administratif” tanpa roh pembangunan.

Mengelola sumur rakyat bukan sekadar soal mengubah mereka menjadi badan usaha. Ini tentang mengakui kearifan lokal sebagai bagian dari sejarah dan masa depan energi bangsa. Mereka adalah pelaku energi mikro yang berperan menjaga ketersediaan pasokan di luar jalur distribusi resmi.

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

Singkatnya, negara mencoba berdamai. Katanya, rakyat boleh menggali, asal rapi. Ada koperasi, ada pengawasan. Ada pajak, tentu saja. Tapi jangan salah sangka, pajak bukan kutukan, katanya, tapi “bukti cinta kepada negara.” Entah kenapa cinta selalu ditagih duluan, bukan dipupuk.

Permen ini—yang lebih cocok disebut “permen karet” karena bisa ditarik-tarik tafsirnya—ingin mengajak penambang rakyat masuk ke jalur resmi. Katanya akan dibina, didampingi, bahkan disalurkan hasilnya. Mungkin nanti ada juga pelatihan membuat sumur yang tak hanya dalam, tapi ramah lingkungan dan Instagramable.

Namun seperti biasa, implementasi di lapangan sering seperti drama Shakespeare. Di satu sisi rakyat bingung: “Kapan bimbingannya, Pak?” Di sisi lain, aparat sibuk menggelar rapat evaluasi teknis sambil ngopi di hotel bintang empat.

Dalam Permen ini, pemerintah seolah baru sadar bahwa sumur rakyat itu eksis. Padahal, dari dulu mereka sudah menyumbang tetes-tetes BBM untuk desa-desa yang tak pernah disentuh jaringan resmi. Bayangkan, negara telat menyapa anak kandungnya sendiri, yang sudah berdarah-darah menjaga kedaulatan energi dari balik semak.

Kini artisanal migas dilegitimasi. Tapi pertanyaannya: apakah dilegitimasi ini hanya agar bisa dipungut retribusi? Atau sungguh mau didorong jadi Migas Gotong Royong Nasional? Apakah rakyat akan diberi akses teknologi? Atau hanya diberi checklist evaluasi dan daftar larangan?

Jangan sampai Permen ini hanya menjadi alat formalisasi atas realitas rakyat, tanpa betul-betul mengangkat harkat mereka. Karena kalau niatnya cuma menyedot, lalu mengenakan sanksi jika tak setor, itu bukan pembinaan, tapi kolonialisme gaya baru—dengan kop surat Kementerian.

BACA JUGA   Ketahanan, Swasembada, dan Kemandirian Energi?

Sejarah telah mencatat: orang kampung bisa menggali minyak, meski tak lulus geologi. Tapi negara, dengan semua insinyur dan anggarannya, sering gagal menggali kepercayaan. Maka, jangan hanya bikin aturan. Bikin pula jalan bagi rakyat untuk tumbuh.

Untuk itu, Permen ESDM No.14/2025 harus diiringi dengan kebijakan turunan yang memudahkan: pelatihan teknis, akses teknologi pengeboran aman, dukungan permodalan, dan jaminan offtaker hasil produksi. Tanpa itu, rakyat hanya akan diminta untuk mengikuti aturan birokrasi tanpa mendapatkan daya ungkit untuk berkembang.

Rakyat telah menggali dari tanahnya sendiri. Kini negara perlu menggali rasa hormat dan kepercayaan dari rakyat. Jangan sampai artisanal migas hanya menjadi proyek legalisasi tanpa legitimasi sosial.

Sebagaimana minyak yang diambil dari perut bumi, kepercayaan rakyat juga bisa menguap—jika tak dikelola dengan bijak.

Akhir kata, artisanal migas ini bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi simbol keteguhan: rakyat mencari cahaya, bahkan dari dalam tanah.[•]

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *