Logo SitusEnergi
Konsumsi Listrik Menurun, Skema Take Or Pay Jadi Beban PLN Konsumsi Listrik Menurun, Skema Take Or Pay Jadi Beban PLN
Jakarta, Situsenergi.com Isu tentang utang PT PLN (Persero) kembali muncul dan jadi pembicaraan publik. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir, sangat mencemaskan jika nasib PLN... Konsumsi Listrik Menurun, Skema Take Or Pay Jadi Beban PLN

Jakarta, Situsenergi.com

Isu tentang utang PT PLN (Persero) kembali muncul dan jadi pembicaraan publik. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir, sangat mencemaskan jika nasib PLN sama dengan Garuda Indonesia, karena utang PLN yang terus menggunung.

Situasi tersebut, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan membenarkan bahwa PLN saat ini sedang dalam tekanan luar biasa. Tak hanya utang saja, PLN juga menghadapi penurunan penjualan listrik karena situasi pandemi yang tak kunjung berhenti.

Menurut Mamit, pemerintah harus segera turun tangan, utamanya membenahi sistem yang selama ini sangat memberatkan yaitu skema Take Or Pay (TOP) dari listrik yang dihasilkan Independent Power Producer (IPP).

“Mengapa IPP menjadi beban, karena kebutuhan akan listrik saat sedang mengalami penuruan. Jauh di bawah perkiraan dari konsumsi listrik saat program 35GW dijalankan. PLN harus tetap menerima listrik dari IPP kita sudah COD (Commercial on Delivery). Jika tidak, maka ada denda yang harus diterima oleh PLN,” ungkap Mamit dalam sebuah diskusi, Jumat (9/7/2021).

Masalah lainnya, kata Mamit, ditengah situasi penurunan penjualan listrik, justru penyesuaian tarif listrik tidak pernah dipuji oleh pemerintah. Padahal, anggaran subsidi yang diberikan pemerintah kepada PLN juga terbatas.

BACA JUGA   PLN Sukses Kawal Formula E 2025 di Jakarta Tanpa Kedip Listrik

“Ini yang jadi masalah. Ditambah tidak ada adjustment terhadap tarif listrik. Dana subsidi yang di bayarkan pemerintah juga terbatas. Jadi melalui pinjamanlah usaha PLN untuk bisa bernapas,” tuturnya.

Senada dengan Mamit, Direktur Eksekutif Indonesia Resourcess Study (IRESS), Marwan Batubara juga membenarkan bahwa skema TOP menjadi beban yang sangat berat bagi PLN. Menurutnya, tidak ada cara lain kecuali skema TOP diubah menjadi Delivery On Pay (DOP).

“Skema TOP kayaknya masih jadi beban. Dampak beban proyek 35 GW pada sisi transmisi/distrbusi/gardu, meski rescheduled, tetap harus ditanggung pula. Padahal yang bikin rencana pemerintah,” ujar Marwan.

Menurutnya, reserve margin listrik Jawa-Bali pada 2020 sudah mencapai 30,2 persen, hal ini jelas sangat mempengaruhi keuangan PLN.

“Manajemen harus berani bicara. Salah satunya, skema TOP yang masih berlaku harus dihentikan, ganti dengan skema DOP,” pungkasnya. (SNU/RIF)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *