

Tafsir Atas Permen ESDM Nomor 13 Tahun 2018 Berbahaya Bagi Program Toll Laut Dan Masyarakat Kepulauan
ENERGIOPINI November 16, 2019 Editor SitusEnergi 0

Oleh : Sofyano Zakaria
Tak lama lagi , bisa jadi akan ada hal yang bisa membikin heboh masyarakat yakni hal yang sedang ramai dibahas para pelaku distribusi bbm umum di negeri ini .
Peraturan Menteri ESDM nomor 13 tahun 2018 Tentang Kegiatan Penyaluran BBM, BBG dan LPG sedang menjadi sorotan para pelaku distribusi bbm umum non subsidi jenis solar untuk keperluan industri di darat dan bbm untuk keperluan laut (marines fuel ) .
Masalahnya , Permen esdm nomor 13 tahun 2019 tersebut , “bisa” ditafsirkan melarang para penyalur bbm umum pertamina yang ada selama ini untuk tidak lagi bisa melakukan penjualan langsung ke pengguna termasuk dilarang pula mengeluarkan faktur penjualan bbm oleh perusahaan mereka .
Oleh Permen ESDM 13/2018 tersebut ditafsirkan hanya Badan Usaha yang punya ijin Niaga Umum atau Izin Niaga Migas seperti PT Pertamina , PT Pertamina Patra Niaga , AKR , SHELL dan lain lain saja yang bisa berdagang bbm umum , langsung ke pengguna dan boleh mengeluarkan faktur penjualan.
Pemberlakuan ketentuan ini tentu akan sangat berdampak khususnya terhadap pemenuhan kebutuhan BBM Umum khususnya BBM jenis solar non subsidi (marines fuel) untuk keperluan kapal kapal Perahu Perahu Nelayan dan juga bagi penggunaan masyarakat didaerah pelosok kepulauan yang bertebaran di 17.000 pulau.
Selama ini kebutuhan bbm mereka dipenuhi oleh para pelaku bisnis yang dominan adalah perusahaan, agen-agen dari BUMN Pertamina dan Anak perusahaan nya , Pertamina Patra Niaga.
Adanya ketentuan yang melarang para agen bbm untuk tidak bisa menjalankan perananannya lagi tentunya untuk Masyarakat Pengguna bbm umum non subsidi di daratan , seperti di pulau jawa yang daratan nya tersambung dari barat sampai timur, tentu tidak akan mengalami kendala yang cukup berarti mengingat di daratan ini banyak terdapat depo bbm pertamina.
Jika para agen bbm umum yang selama ini telah menjalankan perannya termasuk berperan dalam membantu program toll lautnya Jokowi , dan hanya pemegang Izin Niaga Umum ,misalnya pertamina , yang boleh berdagang dan mengeluarkan faktur pada saat berjualan ,sementara para agen atau penyalur hanya difungsikan sebagai transportir, maka ini akan menimbulkan masalah yang bisa menghambat distribusi bbm umum .
Masalah nya , pola transaksi bisnis yang ada mulai dari menunggu customer membayar bbm ke INU lalu soal waktu pengeluaran faktur dikeluarkan INU seperti BUMN Pertamina , hingga BBM diangkut oleh penyalur dan diserahkan ke konsumen , berdasarkan pengalaman yang ada selama ini , paling cepat prosesnya memakan waktu 2 hari kerja.
Dengan hal ini saja, konsumen sudah dipusingkan karena harus membayar terlebih dahulu barulah DO keluar dan minyaknya dikucurkan ke kapal pengangkut atau truckuntuk diangkut ke konsumen.
Ini pasti menimbulkan persoalan dilapangan dan menjadi ganjalan bagi pengguna karena selama ini hal tersebut bisa diatasi oleh para agen yang membayar terlebih dahulu ke BUMN Pertamina atau “menalangi” pembayaran konsumen pengguna. Dan inilah model transaksi yang sudah menjadi kebiasaan di masa kini.
Bagaimana dengan menangani penyaluran ke 17.000 pulau pulau yang tersebar di seluruh wilayah NKRI yang pada kenyataannya terletak di wilayah terluar, Terpencil dan Terjauh.
Sudah puluhan tahun pelayanan bbm umum bagi wilayah 3T , sudah memakai pola distribusi dengan mengangkat/menunjuk agen dan penyalur yang tugasnya mendekatkan diri ke customer dengan moda transport kapal laut.
Agen /penyalur boleh mengeluarkan faktur penjualan karena bbm yang dijual bbm industri dan marines yang tidak ada hubungannya dengan subsidi
Agen/ penyalur membeli dalam jumlah banyak dan diangkut dengan kapal milik sendiri UNTUK MENDEKATKAN DIRI KE KONSUMEN dan ini bukan nya seperti pola pada spbu yang menunggu pembeli datang ke spbu .
Artinya, para agen INU Pertamina dan Patra niaga telah melakukan peran sebagai mitra bisnis Pertamina yang menangani langsung penjualan dengan cara mengecer ke pengguna dipulau pulau dan ini pada dasarnya adalah pelayanan untuk mendekatkan diri ke masyarakat pengguna secara langsung yang bermakna mewujudkan peran pemerintah dalam melayani rakyatnya yang didaerah terpencil.
Selain itu para agen /penyalur menjual bbm umum dengan cara memberikan hutang ke konsumen. Cara ini sangat menekan cost dan efisien dan konsumen tetap mendapatk an harga terjangkau dengan harga yang masih sesuai dengan harga publish yang ditetapkan bumn Pertamina.
Dengan diberlakukannya permen esdm nomor 13 tahun 2018 yang bisa ditafsirkan yang boleh mengeluarkan faktur penjualan hanya pemegang INU , ini pasti berdampak terhadap jaminan supply ke masyarakat pengguna bbm umum .
Apalagi jika ditafsirkan bahwa agen tidak boleh lagi berjualan bbm umum langsung ke konsumen , ini bisa membuat timbulnya permasalahan serius termasuk kemungkinan timbulnya kelangkaan BBM karena :
1. Konsumen harus membayar tunai pembelian bbm nya ke INU ( pertamina) baru dibuatkan DO nya utk diangkut oleh kapal para penyalur.
2.Konsumen tidak akan bisa lagi mendapatkan hutang dari pertamina krn INU /pertamina tidak saling kenal dengan konsumen
3. Konsumen akan mendapatkan harga yang sangat mahal karena pemilik kapal hanya akan mengangkut bbm dan menggerakkan kapalnya berdasarkan cost operasional seberapa jauh jarak antar bbm nya .
Misalnya Konsumen hanya membeli bbm solar sebanyak 5 KL di sorong dan bbm akan diantar ke pesisir agats. Maka untuk Ongkos angkut untuk 5 KL bbm saja bisa Rp.100 juta dan ini lebih mahal dari harga beli bbm nya .
4. Faktor waktu pengiriman BBM yang dibeli juga bisa menjadi persoalan karena bbm akan sampai kekonsumen paling cepat makan waktu 3 hari itupun jika konsumen membeli 5 KL dan mau bayar ongkos angkut 100 juta.
Sangat disesalkan pembuat kebijakan lalai melakukan kajian khususnya tentang distribusi ke pulau pulau .
Adanya Permen yang multi tafsir dan tanpa penjelasan yang mengikat secara hukum hanya akan membuat para pelaku distribusi bbm umum bekerja dengan perasaan dibayangi melanggar peraturan dan rasa ketakutan bahwa kapan saja mereka bisa menjadi sasaran penegakan hukum karena dianggap melanggar permen.
Apabila ini tidak di perbaiki secara hukum , maka dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak dan bisa membahayakan program toll laut juga ancaman bagi masyarakat di wilayah kepulauan . [•••]
No comments so far.
Be first to leave comment below.