Logo SitusEnergi
Waspada Saja, “Jebakan Batman” Itu Bernama EBT Waspada Saja, “Jebakan Batman” Itu Bernama EBT
Isu soal pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) makin kencang sejak adanya UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The UNFCC... Waspada Saja, “Jebakan Batman” Itu Bernama EBT

Isu soal pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) makin kencang sejak adanya UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The UNFCC (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim). UU tersebut merupakan pengejawantahan dari komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada COP 21 Desember 2015 di Paris, dimana Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan mencapai 41 persen dengan bantuan dukungan internasional. 

UU tersebut sebenarnya hanya penguatan saja setelah adanya pertemuan di Paris tersebut, namun sebelumnya pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai melakukan bauran EBT. Berbagai regulasi mengenai ini pun sudah diterbitkan, contohnya PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Hal itu diperkuat lagi dengan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Inti dari aturan-aturan itu adalah memaksimalkan penggunaan energi bersih/terbarukan, minimalkan penggunaan minyak bumi, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan energi baru, serta memanfaatkan Nuklir sebagai pilihan terakhir. 

Pemerintah pun terus berupaya meningkatkan bauran EBT dari konsumsi energi primernya. Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Bahkan Pembangkit Listrik Biomassa, Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTSA) hingga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terus ditingkatkan kapasitasnya seiring dengan pembangunan bendungan yang kian masif di Indonesia.  

Sampai disini tidak ada hal yang salah, semua masih berjalan normal dan berfokus pada target bauran energi primer 2025, dimana penggunaan energi minyak bumi berkurang dari yang mencapai 38 persen di 2018 menjadi hanya 25 persen di 2025. Begitupun Batubara, dari yang mencapai 32,97 persen di 2018 menjadi hanya 30 persen di 2025. Selanjutnya penggunaan gas ditingkatkan dari yang semula 19,67 persen di 2018 menjadi 22 persen di 2025. Terakhir penggunaan EBT dari yang hanya 8,55 persen di 2018 menjadi 23 persen di 2025. 

BACA JUGA   Pertamina Dukung Sertifikasi Ribuan UMKM Rumah BUMN Demi Kesejahteraan Berkelanjutan

Meski demikian, tetap ada pertanyaan kritis yang sah-sah saja dipertanyakan, utamanya terkait apakah bauran EBT itu bisa diikuti oleh kemampuan industri dalam negeri dalam mempersiapkan komponennya? lalu, bagaimana dengan kemampuan teknologinya?, kemudian apakah bauran EBT benar-benar disesuaikan dengan potensi yang ada di Indonesia atau hanya mengikuti kemauan investor dengan dalih ramah lingkungan? dan yang paling penting, apakah EBT itu ramah bagi 10 persen lebih penduduk yang masih berada di garis kemiskinan di Indonesia? 

Ini fakta, dengan kondisi Indonesia yang kaya akan batubara saja, bahkan Indonesia menjadi pengekspor utama batubara untuk China, raksasa industri di dunia, ternyata masih banyak faktor X yang menyebabkan harga jual listrik Indonesia masih lebih mahal dibanding negara lain di dunia, bahkan dibanding negara tetangga sekalipun seperti Singapura yang notabene tidak mempunyai sumber daya alam. 

Mengacu pada data Global Petrol Price, tarif per kWh listrik rumah tangga di Indonesia per Juli 2021 sebesar Rp1.450. Tarif ini lebih mahal dibandingkan dengan China, Malaysia, Argentina, Vietnam, India, Rusia, Pakistan, Nigeria dan Laos. Di China tarif listrik rumah tangga sebesar Rp1.218 per kWh, Vietnam Rp1.189 per kWh, India Rp1.117 per kWh, Rusia Rp914 per kWh, Argentina Rp870 per kWh, Nigeria Rp856 per kWh, Malaysia Rp841 per kWh, Pakistan Rp812 per kWh dan Laos Rp783 per kWh. Bukan menyalahkan PLN, tapi ini pasti ada faktor X yang menyebabkan PLN harus memproduksi listrik dengan biaya yang tinggi meski harga batubara DMO saat ini terpaut jauh dengan harga ekspor batubara. 

Ya, pasti ada kebijakan-kebijakan lain yang menjadi Faktor X, sebut saya kebijakan Take Or Pay (TOP), dimana PLN berkewajiban off taker listrik hasil produksi IPP (Swasta), meski sejatinya hal itu belum perlu karena PLN masih memiliki kemampuan memenuhi dari pembangkit miliknya sendiri. Ini jelas kebijakan yang keliru, meski dalihnya mendorong minat swasta untuk berpartisipasi (Baca: Berinvestasi) di pembangkit listrik. Belum lagi jika sudah berbicara unsur EBT lainnya seperti Geothermal dll, dimana untuk hal itu investasinya tinggi sekali dan hingga kini masih menjadi polemik soal harga jual listriknya yang harus dibeli PLN. Ya, lagi-lagi PLN. Semua beban ada di PLN, konsekuensi dari single buyer. 

BACA JUGA   Dirut Pertamina Tinjau Kesiapan Satgas, Pastikan Pasokan BBM dan LPG di Jatimbalinus Aman

Tapi, lagi-lagi hal ini menjadi pemakluman, karena balik lagi memang masih ada hal yang menjadi dasar pemakluman karena memang BUMN-BUMN energi di Indonesia seperti PLN dan Pertamina terlibat langsung dengan dengan investasi Geothermal, pemerintah pun masih men-support dengan turunnya Penyertaan Modal Negara (PMN). Mudah-mudahan saja tidak ada masalah lain selain Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor ini. 

Namun demikian, yang tak habis pikir, ada-ada saja beban yang lagi-lagi harus ditanggung BUMN PLN dengan adanya rencana revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang tentang PLTS Atap. Dalam Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor listrik dari PLTS Atap atau net-metering dari yang semula 0,65:1 menjadi 1:1. Hal ini jelas sangat merugikan karena memangkas pendapatan PLN sekaligus memicu masyarakat untuk berbondong-bondong memasang PLTS Atap dan berbisnis dengan PLN.

Di saat penggunaan PLTS Atap semakin massal dan PLN memproduksi sekaligus membeli listrik dari pembangkit energi baru terbarukan, akan timbul risiko kelebihan pasokan listrik dan kenaikan biaya pokok listrik. Padahal, posisi saat ini, PLN tengah mengalami over capacity yang luar biasa karena penurunan konsumsi listrik, ditambah juga pembelian listrik secara TOP dari IPP. Apalagi, beban PLN terhadap pembangunan infrastruktur saat ini luar biasa, mulai dari target rasio elektrifikasi 100 persen hingga kontribusi di pembangunan pembangkit listrik 35 GW. 

Mengutip pernyataan Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, ia menyebut bahwa revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 soal tarif ekspor-impor listrik itu tidak adil secara sistemik. Banyaknya pihak yang menggencarkan penggunaan PLTS Atap untuk mengincar keuntungan membuat potensi pendapatan PLN menjadi berkurang. Akibatnya, tarif dasar listrik bisa membengkak, yang pada akhirnya menjadi beban seluruh pelanggan.

BACA JUGA   Bye BBM! Nias Siap Pakai Gas Bersih, PLN EPI Tancap Gas!

Atau, sebagaimana tercermin melalui Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang mengatur tentang feed in tariff, kelebihan biaya itu akan ditanggung negara melalui APBN.

Di sisi lain, perubahan skema tarif ekspor-impor net metering menjadi 1:1 akan menguntungkan pemilik PLTS Atap yang umumnya merupakan golongan mampu dan merugikan PLN serta masyarakat non-pemilik PLTS Atap.
Nah, jika sudah melihat fakta-fakta tersebut, apakah negara masih akan “Ngotot” dan “Membabi buta” untuk mengejar bauran EBT tanpa terukur dan terencana dengan baik hingga menyebabkan PLN rugi?

Padahal faktanya, negara asing yang “gembar-gembor” mengajak negara lain “berlari” mengejar bauran EBT, malah rasio penggunaan EBT nya standar-standar saja, alias masih tergantung dengan energi fosil. Contohnya di Amerika Serikat (AS), berdasarkan catatan BP Statistical 2021, penggunaan minyak di AS masih dominan yaitu 32,54 persen, penggunaan gas 29,95 persen, batubara 9,20 persen, nuklir 7,39 persen, hydro 2,56 persen, dan EBT 6,15 persen. Harusnya, sebagai pencetus, mereka dahulu yang berlari kencang, bukan negara berflower (Berkembang) yang berlari duluan. Lalu jika sudah seperti ini, masih mau terjebak dalam “Jebakan Batman” EBT? Hanya Pemerintah dan Tuhan yang tahu. (Sigit Nugroho, Redaktur Pelaksana Situsenergi.com)

No comments so far.

Be first to leave comment below.

Your email address will not be published. Required fields are marked *